Aku duduk di bagian ujung masjid, bersender ke dinding masjid
sambil membaca sebuah buku. Melepas lelah setelah seharian berkutat dengan
tugas-tugas yang membuatku lupa untuk meluangkan waktu membaca buku-buku yang
kubeli. Buku-buku itu tersusun rapi di lemari kamarku. Hanya tersusun dan belum
sempat untuk kubaca. Tidak apa, nanti kalau sudah ada waktu luang baru akan
kubaca satu persatu. Aku membaca lembar demi lembar buku yang berjudul “Notes
From Qatar” karya Muhammad Assad. Sebuah buku yang sangat inspiratif,
menarik dan bersahaja. Sebuah buku yang memotivasi tanpa maksud untuk
menggurui.
Aku sedang membaca bagian “My Spiritual Journey”, tiba-tiba
seseorang menghampiriku, dia duduk di depanku sambil memegang selembar kertas
dan sebuah bolpoint berwarna hitam. Penampilannya lusuh, sepertinya dia baru
selesai bekerja. Ada debu yang menempel di keningnya, serta butiran-butiran
keringat membasahi mukanya.
Aku masih terus membaca, dan membiarkan dia duduk di depanku.
Hening, aku melihat ke arahnya, dia tidak berucap apa-apa, dia hanya memainkan
bolpoint hitam itu dengan jari-jari tangannya. Sesekali dia melipat kertas
putih yang ada di tangannya.
Dia semakin mendekat, sekarang duduk di sampingku sambil
memperlihatkan selembar kertas yang tadi dia pegang, tidak ada goresan tinta di
kertas itu, hanya selembar kertas kosong.
“Mas, maaf mengganggu” ucapnya
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” jawabku
Aku menutup buku, kemudian melihat ke arahnya, dan mendengarkan
dengan baik apa yang mau dia ucapkan. Dia menarik nafas dalam-dalam, kemudian
memulai ceritanya.
“Saya seorang kuli bangunan, sekarang saya sedang kebingungan”
laki-laki paruh baya itu memulai ceritanya.
“Saya sedang kebingungan dengan status keyakinan saya saat ini,
apakah saya masih seorang muslim atau tidak? Saya ragu dengan ibadah yang
selama ini saya lakukan, apakah ibadah saya diterima atau tidak?” dia berhenti
berucap, kemudian mengambil nafas panjang.
“Apa yang membuat Bapak ragu?” tanyaku menelusuri
“Saya mendapat sebuah bisikan ghaib, entah dari siapa. Saya
tidak tahu pasti bisikan itu berasal dari siapa? Yang aku tahu bisikan itu terus
terdengar di telingaku dan menghantuiku.”
“Bisikan seperti apa yang Bapak maksud?”
“Beberapa waktu lalu, sebuah bisikan kerap terdengar di telingaku.
Sebuah bisikan yang mengatakan bahwa jika semua umat muslim di Indonesia ini
tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam, maka dipastikan mereka akan mati,
dan jasad mereka akan dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil, kemudian
potongan-potongan itu akan dijadikan makanan anjing-anjing dan hewan buas.”
Aku mengucapkan istighfar mendengar ceritanya.
“Lantas apa yang sudah Bapak lakukan? Sehingga Bapak sendiri tidak
yakin dengan keislaman yang bapak pegang” aku kembali bertanya.
“Semenjak mendengar bisikan itu, saya tidak pernah melaksanakan
shalat, saya tidak pernah berpuasa, akan tetapi saya tidak pernah menyatakan
keluar dari Islam. Saya hanya tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban saya
sebagai seorang muslim. Saya mulai meragukan Tuhan. Apakah saya murtad?
Haruskan saya kembali mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda bahwa saya
kembali memeluk Agama Islam?”
Aku mencoba untuk menjawab pertanyaannya,
“Banyak macam Seseorang bisa dikatakan murtad, bisa saja seseorang
dikatakan murtad karena mencela Allah, melakukan sujud kepada patung, meyakini
Allah memiliki sekutu, atau meragukan sesuatu yang sudah jelas keharamannya,
seperti meragukan haramnya syirik, khamr, dan zina.”
Jangan sampai kita mati
dalam keadaan murtad, karena ada ancaman yang Allah berikan. Sebagaimana
firman-Nya,
“Barangsiapa di antara kalian
yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah
orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah
penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)
Bapak itu menganggukkan kepala, entah apakah dia mengerti apa yang
baru saja kujelaskan atau tidak. Dia terus menganggukkan kepala, layaknya
seorang murid yang mengiyakan pendapat gurunya tanpa berkomentar. Dia
menuliskan beberapa kalimat di kertas kosong yang dibawanya, kemudian pergi
begitu saja.
*
Selepas shalat ashar, laki-laki paruh baya tadi kembali
menghampiriku yang sedang memasang sepatu, dan segera akan pergi meninggalkan
masjid.
“Mas, maaf menggangu” ucapnya persis seperti pertemuan pertama tadi.
“Ada apa, Pak” aku menunda kepulangan dan duduk di tangga depan
masjid, menunggu Bapak itu berbicara.
Bapak itu kembali menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan tadi,
dia kembali bertanya tentang keraguannya, dia kembali bercerita tentang
bisikan-bisikan aneh yang sering dia dengar. Persis seperti ceritanya di
pertemuan pertama tadi.
“Bukannya tadi Bapak sudah menanyakan hal ini?” tanyaku
“Saya baru sampai sini, Mas, ini kali pertama saya bertemu dengan
Mas” jawabnya sambil kembali mengeluarkan selembar kertas kosong dan sebuah
bolpoint hitam dari tas kecil yang ada di pinggangnya.
Dahiku berkerut, bukannya tadi dia ikut shalat ashar berjama’ah?
Pikirku. Aku kembali menjawab pertanyaannya, setelah selesai mendengarkan
jawabanku, dia pergi begitu saja, dia berjalan menyusuri jalanan tanpa
mengenakan alas kaki, kedua kaki keriput itu menyapu kerikil-kerikil kecil yang
tersembar di sepanjang jalan.
Aku menatapnya, Bapak itu sudah jauh dari pandanganku.
*
“Kamu tahu nggak siapa dia?” seorang teman menepuk pundakku.
“Nggak tahu” jawabku sambil terus melangkah.
“Laki-laki itu sudah sering datang kemari dan menanyakan hal yang
sama. Sudah beberapa orang yang diberi pertanyaan yang sama, diceritakan cerita
yang sama. Tadi dia cerita tentang bisikan aneh, kan?”
“Iya”
Ahh….Siapa Bapak itu?
Mengapa dia terus menanyakan hal yang sama?
Mengapa dia terus menceritakan cerita yang sama?
Entahlah, tidak ada yang tahu tentangnya. Aku meneruskan langkah
menuju rumah. Selama di perjalanan pulang, bayang-bayang Bapak itu kembali
hadir, kasihan dia. Aku hanya berharap dia selalu dalam lindungan-Nya.
fol bek gan http://anak-solo.tk/
ReplyDelete