Aku
sedang duduk di ruang tamu, menikmati sore dengan segelas teh hangat dan
sepiring kecil mendoan. Seseorang mengetuk pintu rumahku. Suara salam itu
bisa kudengar dengan baik. Suara itu mengingatkanku pada seseorang. Aku
berjalan menuju pintu depan sambil mencoba untuk mengingat siapa pemilik suara itu. Suara
yang sudah sering kudengar, sepertinya aku tahu pemilik suara itu.
Kubuka
pintu secara perlahan, kulihat seseorang sedang memegang tangan putri kecilnya,
sambil memegang tas berwarna putih berukuran sedang. Ia memakai baju gamis
panjang berwarna orange, memakai jilbab yang senada dengan warna gamisnya. Andita,
dialah wanita yang dulu pernah mengisi relung hatiku. Kemudian dia pergi membina
rumah tangga dengan Raka Sahabatku.
Aku
menjawab salam darinya, kemudian mempersilahkan dia dan putri kecilnya masuk ke
ruang tamu.
“Dita,
sudah lama sekali kita tidak bertemu. Aku masih tidak percaya yang ada di
depanku ini adalah kamu, Andita” ucapku.
Dia
tersenyum manis sekali, sama seperti senyum yang dulu pernah kudambakan akan
menemani hari-hariku.
“Alhamdulillah,
aku baik-baik saja Mas”
*
Andita,
wanita yang dulu pernah kudambakan cintanya, pernah kuiginkan hadirnya dalam
tiap hembusan nafasku, pernah kupuja sepenuh hati, dan pernah menggoreskan luka
di hati ini. Meski goresan itu bukanlah dia yang membuatnya, melainkan karena
cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Namun, goresan itu membekas di dalam
hatiku.
Beberapa
tahun yang lalu, aku, Raka, dan Andita adalah sahabat baik. Rasanya
persahabatan kami tidak akan pernah terpisahkan. Saling berbagi dalam suka
maupun duka, saling mendukung satu sama lain, dan saling mengingatkan agar
terus menjadi lebih baik dari hari ke hari. Indahnya sebuah persahabatan yang
berdasarkan atas saling percaya dan pengertian. Aku menikmati indahnya
persahabatan diantara kami bertiga.
Tidak
ada yang tahu akan hati seseorang selain dia dan Tuhan yang menilai hati.
Ketika cinta merayu hatimu, menimbulkan getar-getar rindu, dan menyesakkan
dada. Saat cinta sudah menguasai hatimu, dan tidak ada kemampuan untuk menahan,
saat itulah engkau akan merasakan betapa kuatnya rasa yang terus bergejolak di
dalam sana.
Layaknya
hati seorang insan, aku pun merasakan jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada
Andita sahabatku sendiri. Namun, aku mencoba untuk menahan semua rasa itu. Aku terus
mengadukan rasa itu kepada Dia yang menguasai hatiku. Ada air mata yang
mengalir tiap kali cinta itu memaksa untuk diucapkan. Cinta itu hanya mampu
untuk kutahan dalam diri, dan tidak mampu untuk kuucapkan.
*
“Kapan
datang ke Jakarta?” tanyaku.
“Tadi
pagi” jawabnya.
Reza,
ini Shaulla putriku.
Shaulla
kecil menjabat kedua tanganku sambil tersenyum.
Andita
tidak banyak berbicara, dia mengeluarkan kertas dari tasnya, kemudian
memberikannya kepadaku. Dahiku berkerut sambil memegang kertas tersebut. Aku
tidak segera membacanya. Kulihat Dita menangis, membersihkan air matanya dengan
sapu tangan berwarna biru. Dia hanya diam menundukkan pandangan.
“Kertas
apa ini Dita?”
“Mas
Reza silahkan baca sendiri” jawabnya sambil terisak. Dia menangis.
Perlahan,
kubuka dan kubaca.
Salam
sahabatku. Apa kabar? Aku berharap engkau selalu dalam keadaan sehat. Terus
semangat menggapai mimpi yang dulu pernah kita lukis bersama di pinggiran kali
“muara sambat” yang sering kita kunjungi. Kita memang sudah lama tidak bertemu
karena jarak yang memisahkan. Tapi jangan khawatir, aku masih ingat akan
dirimu. Ingat akan kebersamaan kita dalam meraih mimpi beberapa tahun yang
lalu.
Sahabatku,
maaf jika baru kali ini aku memberitahumu tentang hal ini. Dulu, sebenarnya aku
tahu akan getar-getar cintamu kepada Andita. Akan tetapi, aku pun merasakan
getaran yang sama. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku tidak ingin lama-lama
memendam rasa. Aku tidak ingin terus menimbang rasa, segera kulamar Andita.
Kami pun menikah. Kulihat air matamu saat mengucapkan selamat atas pernikahan
kami. Maafkan
aku.
Kawan,
saat engkau membaca surat ini, aku pastikan bahwa aku sudah tidak bisa bertemu
denganmu. Aku tidak bisa menjabat
tanganmu lagi. Aku titipkan surat ini kepada Andita. Dia yang akan membawa
surat ini kepadamu. Aku telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali.
Reza,
sore ini mendung. Aku menuliskan surat ini sambil menangis, menahan sakit yang
terus membuat tubuhku menjadi lemah. Aku sudah tidak sekuat dulu lagi,
Za. Aku sudah tidak mampu berlari bersamamu seperti dulu. Aku hanya bisa duduk
di kursi roda ini, Za.
Sahabatku,
kali ini izinkan aku meminta pertolonganmu. Aku berharap engkau akan mengerti
akan rasa yang sedang berkecamuk dalam hatiku. Coba engkau lihat wajah Andita
Istriku, dia masih cantik seperti dulu. Dia seorang istri yang sholehah. Dia
sangat berbakti kepadaku, mencintaiku apa adanya. Setia menemaniku meski
sekarang semua tidak seperti dulu lagi.
Reza,
aku ingin engkau menikahi Andita. Aku tidak tega melihatnya membesarkan Shaulla
putri kecilku sendirian. Aku ingin memastikan bahwa dia akan mendapatkan kasih
sayang seorang Ayah yang tulus mencintainya dengan sepenuh hati. Kasih sayang
yang tulus itu aku inginkan darimu. Namun, jika memang engkau sudah mempunyai
pendamping hidup, jangan paksakan untuk memadu istrimu. Aku tidak ingin ada
yang tersakiti karena permintaanku. Nikahi Andita jika memang kemungkinan itu
masih ada. Kutitipkan Andita dan Putriku kepadamu.
Sahabatmu
Raka
Hartono
Air
mataku menganak sungai. Bayang-bayang Raka terus hadir dalam benakku. Kenangan
demi kenangan satu persatu hadir mengingatkanku tentangnya. Aku menangis
mengetahui bahwa dia sudah pergi meninggalkanku. Pergi dan tidak akan pernah
kembali.
Kutatap
Andita yang masih menangis. Shaulla sedang tertidur pulas dipangkuannya.
Matanya memerah karena terus menangis.
“Apa
yang terjadi, Dita?”
*
Andita
memulai ceritanya.
Mas
Reza, aku bahagia menikah dengan Mas Raka. Dia adalah suami idaman. Dia
mencintaiku dengan tulus. Kebahagian kami semakin bertambah setelah kehadiran
Shaulla. Tangisnya, tawanya, membuat rumah kami bak surga. Aku benar-benar
bahagia.
Namun,
Tuhan memberi kami cobaan begitu berat. Aku tetap meyakini bahwa Tuhan tidak
akan mencoba hamba-Nya diluar dari batas kemampuan hamba-Nya. Aku menerima
semua cobaan itu dengan penuh kesabaran. Tidak pernah aku mengeluh atas semua
itu.
Saat
Shaulla berumur dua tahun, sedang lucu-lucunya, Mas Raka mengalami kecelakaan.
Kecelakaan yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa duduk di
kursi roda menahan sakit yang terus menyiksanya dari hari ke hari. Akan tetapi,
aku mencintainya, Mas. Aku tetap bersamanya. Aku rela kerja demi memenuhi
kebutuhan kami sehari-hari. Kerja serabutan. Aku masih bahagia.
Malam
itu, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Dia memanggil Mas Raka lebih cepat dari
yang kubayangkan. Aku ikhlas melepasnya. Karena tidak ada yang bisa mengetahui
kapan seseorang akan kembali ke sisi-Nya. Aku ikhlas.
Andita
berhenti bercerita, dia menundukkan kepalanya sambil memandangi wajah buah
hatinya yang sedang tertidur pulas di pangkuannya.
“Mas,
hanya itu yang bisa kuceritakan.”
“Aku
datang ke sini ingin menyampaikan surat yang ditulis oleh Mas Raka. Aku tidak
ingin memaksa Mas menjalankan amanat dari Mas Raka. Namun, jika memang Mas
bersedia untuk menikah denganku, aku rela menjadi Istrimu. Aku akan mencoba
untuk menjadi istri yang baik. Seorang Istri yang berbakti kepada suami.”
*
Aku
bersujud di hadapan-Nya. Meminta petunjuk dari Dia yang Maha Kuasa. Aku mengadu
akan jawaban apa yang akan kuberikan kepada Andita. Jujur, rasa itu masih ada.
Aku masih mencintainya. Namun, perasaanku kepadanya tidak seperti dulu lagi.
Hari
ini aku sudah berjanji akan memberikan jawaban. Aku berharap apapun jawabanku,
Dita akan menerima semua ini dengan lapang dada. Tidak lama kemudian, Dita datang.
Dia duduk di hadapanku. Shaulla
bergelayut manja di pangkuan Ibunya. Dia tersenyum menatapku. Ada ketenangan
melihat senyum buah hatinya. Beberapa saat kemudian, Shaulla menarik tanganku,
memanggilku dengan panggilan “Ayah”.
“Ayah
sudah lama menunggu?”
Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. Ada kebahagiaan mendengar panggilan itu.
“Ayah
Belum lama menunggu Nak Shaulla” jawabku.
Andita
meneteskan air mata mendengar pertanyaan Putrinya.
Andita,
perjalanan jauh telah engkau tempuh. Engkau rela menemuiku hanya untuk
mengantarkan surat wasiat yang ditulis oleh Raka suamimu, sekaligus sahabatku.
“Aku
bersedia menikah denganmu. Percayalah, aku bersedia menikah denganmu bukan
karena rasa kasihan, akan tetapi karena aku masih mencintaimu.” Ucapku dengan
penuh keyakinan.
Kutatap langit,
“Sahabatku, aku mengabulkan permintaanmu. Aku bersedia menikah
dengan Andita. Tuhan membantuku menjawab semua ini. Doaku menyertaimu.”
sumber gambar : disini
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan