Lelah, mungkin itu yang ada dibenak Kakek itu. dia berjalan membawa
sebuah karung berukuran besar. Mencari sesuatu dari tumpukan sampah, sesuatu yg
bisa dia jual kembali. Botol aqua gelas, kertas-kertas, semuanya bak mutiara di
tengah lautan sampah. Dia mengumpulkan satu demi satu bekas botol minuman,
menumpuk lembar demi lembar kertas bekas, kemudian dijual ke tempat penampungan
barang bekas yang akan menggantinya dengan jumlah uang tertentu.
Kakek itu duduk di samping tong sampah besar di depan sebuah rumah
makan, dia menghisap sebatang rokok pelepas penat. Dia menunggu orang-orang
membuang botol bekas minuman ke dalam tempat sampah, dia menunggu
makanan-makanan sisa yang masih mungkin untuk dia makan. Satu persatu botol
bekas minuman ringan, bekas mie gelas ia dapatkan. Botol-botol bekas itu dia
masukkan ke dalam karung berwarna putih, lusuh, dan kotor.
*
Aku duduk di depan sebuah rumah makan, bus yang kutumpangi sedang
beristirahat. Kurang lebih tiga puluh menit kami akan berhenti di sini. Para
penumpang turun, mengisi perut yang sudah keroncongan. Sebagian hanya duduk di
teras rumah makan, ada juga yang hanya numpang ke kamar kecil. Aku memesan mie gelas,
membayarnya dengan selembar uang lima ribu, dan selembar uang seribu rupiah.
Perutku sedang tidak bersahabat. Segelas mie rasanya sudah cukup untuk
membuatku tetap bertahan sampai Jakarta.
Aku duduk tidak jauh dari bis yang kutumpangi. Pandanganku tertuju
kepada seorang kakek yang sudah tua renta, dia mengumpulkan botol-botol bekas
air mineral, bekas mie gelas yang sudah dimakan oleh para penumpang yang
singgah. Tubuhnya kurus, tinggi, dia mengenakan baju berwarna biru, memakai
celana pendek setengah tiang, dan sebuah topi menghias kepalanya. Ditangannya
ada sebuah alat yang digunakannya untuk mengambil botol-botol bekas dari tempat
sampah.
Mie gelas di tanganku sudah mulai dingin. Aku lupa untuk
menikmatinya dan membiarkan perutku berbisik merdu menanti asupan makan di
tengah malam yang gelap. Aku menghampiri sang Kakek, dia duduk bersender
dinding rumah makan. Kukeluarkan selembar uang dari dompetku, kemudian
kuberikan kepada sang Kakek. Hanya itu yang tersisa dari dompetku. Kali ini
rasanya aku begitu ingin berbagi dengannya. Ada sebuah keinginan yang begitu
besar untuk memberinya sedikit dari rizki yang kuperoleh.
Ada embun di pojok mata sang Kakek, ia menerima uang pemberianku
dengan penuh rasa syukur. Beberapa kali dia mengucapkan rasa syukur atas apa
yang baru saja dia dapatkan. Ada air mata yang membasahi kedua bola mataku, air
mata bahagia karena bisa melihatnya tersenyum.
Tuhan, aku kadang lupa bahwa ada harta orang-orang miskin dari
harta yang Engkau berikan untukku. Ada bagian yang seharusnya kuberikan kepada
mereka yang membutuhkan uluran tanganku. Selama ini aku hanya hanyut dalam
kebahagiaan diri sendiri tanpa berbagi. Sungguh, aku memang jarang berbagi
rizki dengan mereka yang hidup jauh dari kata cukup.
Tuhan, hari ini Engkau ajarkan padaku bahwa masih banyak orang-orang
yang butuh uluran tanganku. Sedangkan aku, kerap kali mengeluh, tidak mensyukuri
semua yang Engkau berikan untukku.
Bus kembali melaju, menempuh perjalanan menuju Jakarta. Aku duduk
di dekat kaca jendela, melihat ke arah Kakek yang masih duduk di tempat yang
sama. Semakin jauh, pandanganku semakin kabur, aku sudah tidak bisa melihatnya.
Dalam diam, aku berpikir, Tuhan sungguh maha penyayang kepada hamba-Nya. Disaat
aku lupa untuk berbagi, Tuhan memberikanku pelajaran melalui seorang Kakek yang
mengais rizki dari tumpukan sampah, mengumpulkan botol-botol bekas, untuk
bertahan hidup. Sedangkan aku, bisa duduk dengan santai di kantor, tidak perlu
bekerja di bawah terik matahari, tidak perlu melawan dinginnya angin malam yang
menusuk kulit.
Terima kasih Tuhan. Hari ini Engkau mengajarkanku tentang
kehidupan. Tentang indahnya berbagi, dan peduli dengan mereka yang membutuhkan bantuan.
*
Dua hari kemudian, dalam perjalanan pulang, bus yang kutumpangi
kembali berhenti di rumah makan yang sama. Aku kembali bertemu dengan sang
Kakek. Dia duduk di tempat yang sama. Membawa sebuah karung yang sama,
mengenakan pakaian yang sama. Aku menghampirinya dan memberikan sebungkus roti.
Aku duduk di sampingnya, mendengarkan ceritanya satu persatu. Tentang dia dan
cucunya, tentang usaha yang dia lakukan demi menyekolahkan cucu tercinta. Kedua
orang tua cucunya sudah lama meninggal. Hanya dia yang menjaga permata hatinya.
Cerita tentang kerasnya kehidupan bagi orang-orang seperti mereka. Tentang
gubuk reot yang mereka tempati. Sebuah gubuk yang berdindingkan kardus bekas,
berlantaikan tanah, beratapkan beberapa lembar seng yang dihiasi oleh
lumbang-lumbang kecil. Jika hujan, aliran hujan akan menggenangi gubuk mereka.
Jika malam sedang terang, maka dia dan cucunya bisa melihat bintang dari
celah-celah gubuk.
Aku terdiam mendengar ceritanya. Kembali, rasa syukur kuucapkan
dalam hati. Rasa syukur atas segala yang Tuhan berikan padaku selama ini.
Karena semakin banyak kita mensyukuri nikmat-Nya, maka Dia akan menambahkan
nikmat-Nya kepada kita.
“Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku bagaimana mensyukuri nikmat-Mu
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada Ibu-Bapakku. Jadikanlah amal
perbuatanku sesuai dengan keridhaan-Mu dan berikanlah kebaikan kepadaku
berkelanjutan sampai kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu
dan aku adalah orang yang berserah diri.”
(Al Ahqaf:15)
Subhanallaah, indah Mas... Indahnya bersyukur. Menegur kita yang kadang lupa untuk mengucap, "Terima kasih ALLAH"
ReplyDeleteSemoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa bersyukur ya :). Amin
ReplyDelete