Buku-buku itu kini mulai usang dan berdebu. Satu persatu kubuka,
kubaca, dan kukenang kembali. Semua itu adalah buku pribadiku, tidak ada
seorang pun kuizinkan untuk membacanya. Dia menyimpan begitu banyak cerita
tentangku. Tentang malam yang dingin kala hujan membasahi bumi, tentang
kepingan rindu yang tak sanggup kusatukan kembali, tentang air mata yang
menemani hari-hariku, tentang tekad yang menguatkanku, tentang mimpi-mimpi yang
ingin kuraih, tentang sahabat yang membuat hidupku lebih berwarna, dan tentangnya
yang kusebut dengan cinta.
7 Mei 2001
Hari ini aku duduk di pematang sawah, memberi makan bebek-bebek
peliharaan Ayah. Menunggu siang berganti malam, menunggu matahari bergantikan redupnya sinar rembulan. Ditemani
rumput-rumput yang mulai meninggi, dan suara gemuruh air yang mengalir di
siring sawah.
Teman-temanku sudah sibuk kesana-kemari mendaftar ke sekolah impian
mereka. Melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, masuk ke sekolah menengah
pertama favorit, atau pergi meraih mimpi ke kota. Sementara aku belum mendaftar
ke satu sekolah pun. Entah apa yang terjadi, aku tidak tertarik belajar di
sekolah-sekolah umum yang ada di kecamatan. Setiap kali Ayah menanyakan
keinginanku, aku hanya menjawab,
“Aku belum tahu mau masuk ke sekolah mana, Ayah”
Mendengar jawabanku, Ayah hanya diam dan menganggukkan kepalanya.
11 Mei 2011
Dia berasal dari Medan Sumatera Utara, aku memanggilnya Abang Nur,
dialah yang selama ini mengajarkanku baca tulis al-Qur’an. Setiap selesai
mengaji, dia memberikan tugas untuk menulis kurang lebih sepuluh ayat.
“Biar kalian pandai menulis Arab” ucapnya.
Semua ucapannya itu terbukti. Kini aku pandai menulis Arab. Dia
juga yang memberiku semangat untuk belajar ilmu Agama.
19 Mei 2001
Bang Nur datang menemui Ayah, aku tidak tahu apa yang mereka
bicarakan. Aku duduk di depan televisi, bersama Tenti adik perempuanku. Kami berdua
bercanda ria, tertawa, aku paling suka mencubit pipinya sampai memerah.
Setelah Bang Nur pulang, Ayah memanggilku ke ruang tamu. Ibu duduk
di samping Ayah, aku duduk di depan mereka berdua. Ayah memberitahuku maksud
kedatangan Bang Nur adalah ingin memasukkanku ke sebuah Pondok Pesantren di
Kota Bengkulu. Roudlotul Ulum namanya. Ada semangat yang mengalir dari dalam
diri, aku langsung setuju dengan semua itu dan bersedia belajar di Pesantren.
*
Aku kembali membalik lembar demi lembar catatan harianku, kutemukan
tulisan yang membuatku tersenyum, tertawa mengenang masa itu.
28 Agustus 2001
Sudah hampir satu bulan lamanya aku menjadi santri, aku masih belum
terbiasa jauh dari orang tua, aku rindu dengan masakan Ibu, aku rindu dengan
pijitan Ayah, aku rindu dengan Tenti yang masih kecil nan lugu, rindu dengan
Adik Meko yang baru berumur tiga tahun.
Tuhan, malam ini aku menangis lagi seperti malam-malam sebelumnya. aku
menangis di balik selimut putih bergaris-garis hitam pemberian sekolah. Teman
satu kamarku tidak ada yang tahu bahwa aku menangis meratapi rindu yang
menyesakkan dada. Mereka mengira aku sudah hanyut dalam mimpi di balik
selimutku, padahal aku menangis Tuhan.
Ini rahasia kita Tuhan, jangan sampai mereka tahu ada air mata yang
menemani malamku.
2 Oktober 2001
Sekarang aku sudah mulai betah belajar di Pesantren. Aku mempunyai
banyak kawan, mereka semua baik padaku. Ibu rutin berkunjung ke Pesantren. Butuh
waktu lima jam dari kampung ke Pesantren. Aku juga baru tahu bahwa arti nama
pesantren “Roudlotul Ulum” itu artinya “Taman Surga”. Aku mulai
menyukai Bahasa Arab, aku sudah mulai berani mengucapkan “Shobahal Khair”
yang berarti selamat pagi kepada teman-temanku, dan beberapa kalimat percakapan
sehari-hari yang kupelajari setiap ba’da subuh.
Aku suka suasana pesantren, aku tinggal di Pondok Badar. Asrama
kami berbentuk pondokan-pondokan kecil menyerupai rumah adat Bengkulu. Aku dan tujuh
orang temanku tinggal di Pondok Badar. Mereka berasal dari Kabupaten yang
berbeda; Candra berasal dari Kabupaten Muko-Muko, Marsuan dan Hendry berasal
dari Bengkulu Selatan, dan empat orang lainnya berasal dari Bengkulu Utara.
27 Desember 2001
Hari ini aku pulang ke rumah, ingin melepas rindu dengan keluarga,
berkunjung ke sanak saudara, dan bermain bersama teman-teman yang sudah lama
tidak berjumpa. Meski baru beberapa bulan aku meninggalkan kampung halaman,
tapi rindu ini begitu besar, dan aku ingin mengobati rasa rindu ini dengan
bertemu mereka.
Aku sudah sampai di rumah, sekarang aku sedang berada di kamar
melepas penatnya perjalanan. Tadi aku sudah menikmati masakan Ibu, dipijit oleh
Ayah, dan tentunya bermain bersama kedua adikku Tenti dan Meko. Kedua adikku
begitu bahagia melihat kedatanganku, mereka bergelayut manja di pundakku.
Setelah tinggal di Pesantren, berat badanku menurun, Kak Yunita
sempat mengejekku, waktu melihatku datang dengan tubuh yang kurus kering
seperti orang yang sudah lama tidak makan. Kak Yuni memanggilku “kutilang”
kurus tinggi langsing. Katanya tubuhku menyaingi tiang listrik yang ada di
depan rumah.
28 Desember 2001
Hari ini hari Jum’at, dan hari ini pertama kali aku disuruh menjadi
khotib di masjid depan rumah. Karena ini pengalaman pertama, badanku
bergetar hebat, peluhku membasahi kemeja putih polos yang kupakai.
Semoga di kesempatan selanjutnya aku jadi lebih berani berdiri di
depan sana, berbicara dengan lantang di atas mimbar, dan menyeru umat kepada
kebaikan.
*
Adzan isya berkumandang, kututup buku harianku, menghentikan
sejenak aktifitas dan segera menuju rumah-Nya, aku ingin menghadap-Nya. Kubasuh
anggota badanku dengan air wudhu, kubiarkan bekas air wudhu menetes, dan ikut
masuk ke dalam barisan para jama’ah yang sudah lebih dulu datang ke masjid.
Setelah shalat, aku bertawajjuh kepada-Nya, mengucapkan untaian
doa, memohon ampunan dan ridho-Nya.
Tuhan,
Terimakasih hari ini Engkau masih memberikanku kesempatan untuk
bisa menghadap-Mu. Terimakasih atas kesempatan yang telah Engkau berikan
kepadaku, kesempatan untuk menuntut Ilmu di Taman Surgamu.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan