Diusiaku yang menjelang senja ini, tidak banyak yang bisa kulakukan, kadang hari-hariku hanya diisi dengan bermain bersama dengan cucu kesayanganku, meski tidak kuat lagi membiarkan mereka bergelayutan manja di pundakku, meski kadang mereka jarang berkunjung ke rumahku ini, kadang mereka hanya berkunjung satu kali dalam satu minggu, namun aku masih bisa merasakan kebahagiaan hariku bersama dengan sebuah semangat yang kubangun dalam diri.
Sudah beberapa kali anak-anakku memaksa untuk tinggal bersama mereka, tidak tega katanya melihatku yang sudah uzur ini menempati rumah sendirian, hanya ditemani seorang pembantu. “Kita bisa menjual rumah ini Abi, dan Abi bisa tinggal bersama kami, atau kalo memang nggak mau dijual, kita bisa sewakan, jadi kapan-kapan Abi bisa kembali berkunjung ke sini”, begitulah yang sering diucapkan oleh anak-anakku. Akan tetapi, berat rasanya untuk meninggalkan dan menjual rumah ini, terlalu banyak kenangan yang telah aku ukir di rumah ini, dan aku tidak sanggup menghapus kenangan itu bersama dengan kepergianku.
*
Akhir pekan kali ini, cucuku yang paling tua janji akan datang, katanya kangen dengan masakanku dan ingin bercerita banyak hal. Aku duduk di depan rumah menanti kedatangannya, aku juga merindukan canda tawanya. Beberapa saat kemudian, Laila, cucuku yang paling tua sudah berada di hadapanku, ia tersenyum melihatku yang sudah menanti kedatangannya, kemudian menjabat kedua tanganku.
“Assalamu’alaikum Kek, sudah lama nunggu ya?, tadi Laila harus nganterin Umi dulu, baru ke sini. Maaf ya Kek, udah buat kakek menunggu lama.
“Nggak apa-apa, ayo masuk, Kakek udah siapin ayam selasih kesukaanmu”
Setelah makan, Laila banyak bercerita tentang kuliahnya yang sebentar lagi selesai, hanya menunggu sidang katanya. Setelah selesai kuliah, ada seseorang yang berniat melamarnya, satu kebahagiaan lagi mendengar cucuku akan segera berumah tangga dan membangun kisah cintanya menuju surga.
‘Jika memang kamu sudah mantap dan siap untuk berumah tangga, Kakek akan sangat mendukung keputusanmu. Semua keputusan ada pada kamu Laila”
“Laki-laki itu bisa ngaji nggak?, aku ingin memastikan bahwa cucuku mendapatkan seorang pendamping yang bisa membimbingnya, tidak hanya duniawi, akan tetapi lebih dari itu.
“Dia dari keluarga yang ta’at agama Kek, dia juga sering bantu ngajarin ngaji anak-anak yang di masjid dekat Kampus”
“Syukurlah”, ucapku, semoga dia bisa menjadi seorang Imam yang baik, karena ketika seseorang sudah mencintaimu karena Allah, maka Insyaallah engkau akan bahagia dunia dan akhirat, begitu juga sebaliknya, cintailah dia karena-Nya.
Laila mengangguk, kemudian mengajakku keliling komplek, duduk di bawah pohon-pohon yang ada di pinggir danau buatan yang ada di dekat komplek. Tertawa bersamanya adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai.
*
Aku cukup bahagia dengan apa yang bisa kurasakan di usiaku yang sudah hampir enam puluh tahun ini, mempunyai anak-anak yang peduli dengan keadaanku, cucu yang begitu sayang kepadaku, akan tetapi ada satu hal yang sampai hari ini masih terus aku perjuangkan, atau bisa dikatakan satu hal yang baru kusadari setelah garis-garis halus menghiasi wajahku, setelah rambutku perlahan berubah menjadi putih. Aku masih belum bisa membaca Al Qur’an.
Aku lupa untuk mempelajari Kalam-Nya saat aku masih muda, aku lupa untuk bercengkerama dengan-Nya disaat mataku masih bisa melihat dengan jelas, aku lupa untuk mempelajari ayat-ayatnya saat aku masih bisa memahaminya dengan baik. Penyesalan memang tidak pernah diawal, semua penyesalan selalu terjadi diakhir. Seperti sekarang ini, aku menyesal telah lalai terhadap Kalam-Nya, namun tidak ada gunanya terus hanyut dalam penyesalan, aku memilih untuk meraih apa yang aku lupakan dulu.
*
Malam begitu gelap, saat orang masih terlelap dalam tidur, saat jalanan lengang, aku berpacu dengan dinginnya malam, menembus kegelapan malam dengan sepeda motor kesayanganku. Setiap pagi menjelang, pukul 03. 30, sudah merupakan rutinitas, dengan mengendarai motor butut ini, aku pergi menuju sebuah masjid yang cukup jauh dari jangkauan, perlu waktu kurang lebih dua puluh menit baru bisa sampai ke masjid tersebut.
Hanya satu yang aku harapkan, aku bisa membaca Al Qur’an. Mencari guru Al Qur’an tidaklah semudah mencari guru les private untuk cucuku, dan hanya masjid itu yang selalu mengadakan tahsin Al Qur’an setiap ba’da subuh dan masih bisa kugapai dengan kondisi kesehatan yang kadang tidak menentu. Seorang “Hafidz” alumni Al Azhar Kairo dengan telaten membina kami yang sudah lanjut usia. Sebagian besar dari peserta tahsin adalah yang sudah lanjut usia, hanya beberapa pemuda yang ikut.
“Tidak ada kata terlambat untuk mempelajari kalam-Nya, meski sudah diusia senja, namun bapak-bapak berkeinginan kuat untuk belajar. Itu lebih baik dari pada tidak sama sekali”. Kalimat itu yang sering memberi kami semangat untuk terus belajar.
*
Berdasarkan pengalamanku ini, aku sering berpesan kepada cucu-cucuku, agar mereka tidak lupa untuk mempelajari Kalam-Nya. Agar mereka tidak menyesal di hari tua nanti. Juga kepada siapapun yang membaca kisahku ini. Semoga Allah memberikan kita kesempatan untuk mempelajari Kalam-Nya.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan