‘Jangan engkau tanya mengapa aku seperti ini, karena memang aku
baru kenal dengan yang namanya cinta. Jangan juga engkau tanya seberapa besar
cintaku padamu, karena aku sendiri tidak tahu berapa besar cintaku kepadamu.
Dan jangan engkau tanya ke mana cinta ini akan kubawa, karena engkau sendiri
sudah tahu jawaban apa yang akan engkau dapat. Aku akan membawa cinta ini ke
jenjang pernikahan. Yang perlu engkau lakukan adalah menunggu waktunya tiba.
Akan tetapi, jangan engkau cemburu, karena cintaku kepadamu tidak melebihi
cintaku kepada yang Maha Cinta.’
Aku masih ingat kalimat-kalimat itu mengalir jelas, pelan dan menenangkan hatiku saat itu. Saat di mana engkau mengutarakan cintamu kepadaku. Saat di mana engkau mengukir janji untuk melamarku jika memang Tuhan sudah mengizinkan kita untuk bersama.
‘Aku bukan penganut pacaran, jika memang aku sudah menyukai
seseorang, maka aku akan langsung melakukan ta’aruf, dan jika memang kita berdua
berniat untuk membangun cinta, maka aku akan menikahimu.’ Katamu di depan orang tuaku.
Aku tersenyum mendengar kalimat itu, dan berharap engkau akan
segera melamarku setelah melakukan proses ta’aruf seperti yang diajarkan
oleh agama Islam. Aku pernah mendengar penjelasan seorang Ustadz di masjid
dekat rumah tentang ta’aruf.
“Di dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Ketika seorang
laki-laki ingin mengenal seorang perempuan lebih jauh dan berniat menjadikan
dia pasangan, maka di sana ada sebuah proses pendekatan yang dinamakan ta’aruf.
Setelah ta’aruf dan dirasa ada keinginan yang besar dalam membangun hubungan
yang diridhoi’ oleh Allah, maka langkah selanjutnya adalah melamarnya. Kemudian
membina rumah tangga.”
“Pacaran dan ta’aruf sungguh jauh berbeda. Ta’aruf dilakukan
pada saat kita sudah siap untuk membina rumah tangga. Jadi hubungan yang
dijalin adalah untuk mengenal calon pasangan. Sedangkan pacaran, terlalu
berbelit-belit, menjalin hubungan sejak umur masih remaja, atau bahkan masih
anak-anak dan tidak tahu kapan akan
menikah. Putus dengan yang satu tentunya mencari lagi pasangan yang lain. Jadi,
janganlah risau mendengar perkataan
mereka tentangmu yang tidak ingin berpacaran, karena sesungguhnya kesendirianmu
bukan karena tidak ada yang memilih, akan tetapi engkau yang memilih untuk
sendiri, hingga akhirnya engkau akan bertemu dengan seseorang yang siap
menjadikanmu bagian dalam hidupnya. Seseorang yang mencintaimu karena-Nya.
Tersenyumlah.”
*
Aku masih terbaring lemah di rumah sakit ini, namun aku masih bisa
mengingat janji yang engkau ucapkan untuk melamarku. Entahlah, aku sendiri
tidak yakin dengan keadaanku seperti ini, apakah engkau akan tetap melamarku
dan menjadikanku ratu dalam kerajaan cinta yang akan engkau bina. Apakah engkau
tetap akan menjadikanku bagian dalam bahtera cintamu. Aku terdiam, dan
menerawang jawaban apa yang akan aku dengar.
Hari ini engkau berjanji akan mengunjungiku, engkau berjanji akan
datang bersama dengan orang tuamu. Akan tetapi, engkau belum tahu bagaimana
keadaanku setelah aku mengalami kecelakaan dua hari yang lalu. Aku mengalami
lumpuh total, aku hanya bisa berbaring di ranjang ini, dan kadang-kadang aku
duduk di sebuah kursi roda dengan bantuan Bapak. Hanya bagian kepala yang bisa
kugerakkan, sementara anggota tubuhku yang lain sudah tidak mampu untuk
menjalankan tugasnya masing-masing. Kakiku sudah tidak mampu menopangku saat
berdiri. Kedua tanganku sudah tidak sanggup membiarkanku meraih sesuatu. Meski
keadaanku seperti ini, aku tetap bersyukur karena aku mempunyai Bapak yang
begitu mencintaiku, dia merawatku dengan baik dan selalu memberiku semangat untuk
tetap menjaga harapan itu agar tetap hidup. Karena dalam kondisi apapun, hidup
dengan harapan akan lebih indah dibandingkan dengan hidup tanpa harapan.
Seseorang mengetuk pintu kamar dan mengucap salam.
‘Assalamu’alaikum’
‘Wa’alaikumussalam.’Jawabku
pelan dan meminta Bapak untuk membukakan pintu.
Pintu terbuka, kulihat wajah itu, wajah yang kunanti-nanti, senyum
yang sudah kuhapal dengan baik. Sinar matanya yang terang, dan wajahnya yang
bercahaya. Dia lah pria yang berniat melamarku. Dia adalah Deki. Pria sederhana
yang mempunyai hati berjuta cinta. Dia mampu meluluhkan hatiku sejak
kedatangannya pertama kali ke rumahku. Dengan keteguhannya dalam memegang
ajaran Islam, rasanya dia adalah seorang pria yang selama ini aku nanti, yang
akan menjadi imam dalam keluargaku kelak, dan yang akan menjadi Ayah dari
anak-anakku nanti.
‘Bagaimana keadaan Najwa, Bapak.’
Deki bertanya kepada Bapak kemudian memandangku sejenak.
‘Kondisi Najwa terus membaik, kita berdo’a saja agar dia bisa pulih
kembali.’
‘Amin.’
Umminya duduk di samping ranjangku. Ummi mengelus keningku dengan
penuh kasih sayang. Sementara Abinya duduk bersama dengan Bapak. Mereka sedang
bicara serius sambil sesekali melihat ke arahku.
Beberapa saat kemudian, Bapak, Abi Deki, dan Deki mendekatiku. Bapak
membantuku untuk duduk. Jantungku berdetak lebih kencang, ada kegelisahan di
dalam diri. Deki tidak banyak bicara, dia hanya diam sambil tersenyum. Dia
mulai bicara setelah Abinya memintanya untuk mulai mengatakan sesuatu.
‘Najwa, bukan karena janjiku kepadamu aku datang ke sini, bukan
pula karena aku merasa kasihan dengan keadaanmu. Aku datang atas dasar
keinginan yang datang dari dalam diri, berharap ini adalah jalan yang sudah Ia
tentukan untuk kita berdua. Dan aku yakin jika kita bisa melewati cobaan ini,
kita akan meraih kebahagiaan seperti yang kita inginkan.’ Deki tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya.
‘Maukah engkau menjadi istriku?.’
Dunia seakan bersinar lebih cerah, ada ketenangan mendengar
pertanyaan itu, sebuah senyum terukir di bibirku. Aku memandangi Bapak, Bapak
tersenyum memandangku dan menundukkan kepala tanda sebuah persetujuan. Aku
melihat ke arah Deki yang sedang menundukkan pandangan, dan menunggu jawabanku.
‘Aku bersedia menikah denganmu, Mas’.
*
Tenda berwarna kuning sudah menghiasi halaman depan rumahku. Janur
kuning juga sudah melambai anggun di pintu gerbang. Besok adalah hari
pernikahanku. Akan tetapi, aku
sepertinya belum yakin dengan keputusan yang telah kubuat. Ada butir-butir
keraguan yang menyesakkan dada. Bukan Deki masalahnya, akan tetapi aku yang
merasa tidak pantas berdampingan dengannya. Dia berhak mendapatkan yang lebih
baik dari sekedar wanita cacat seperti diriku. Aku tidak ingin merusak ukiran
senyum yang selalu menghiasi wajahnya, aku tidak ingin nanti dia menyesal
setelah resmi menjadi seseorang yang kupanggil ‘suami’.
Bapak sebagai orang tua tunggal, masuk ke dalam kamar pengantin.
Dia mengusap punggungku. Sepertinya dia mengerti apa yang ada dalam pikiranku
saat ini.
‘Nduk, wajar jika engkau merasakan gejolak yang begitu kuat dalam
diri. Tapi, percayalah ini adalah jalan yang sudah Ia pilihkan untukmu.’
‘Tapi, Pak, menjelang hari pernikahan ini, Najwa terus merasa bahwa
Mas Deki pantas mendapatkan pendamping hidup yang lebih baik dari Najwa. Nantinya,
Najwa hanya akan membuat Mas Deki sibuk merawat Najwa.’ Bapak hanya diam.
‘Semua keputusan ada di tanganmu Nduk, Bapak tidak bisa memaksamu
untuk tetap melanjutkan pernikahan ini.’
Aku meminta Bapak mengambilkan handphone yang ada di atas meja rias
pengantin dan memintanya untuk menghubungi Mas Deki. Bapak mendekatkan
handphone ke telingaku karna aku tidak bisa memegangnya. Setelah mengucap
salam, air mataku langsung berjatuhan mengiringi rasa yang gundah akan cinta.
Namun aku sudah yakin dengan keputusan yang akan aku ambil.
‘Mas, aku tidak bisa menjadi Istrimu.’ Ucapku pelan sambil terisak.
Tidak ada jawaban dari ujung sana, hanya terdengar suara serak Mas
deki. Sepertinya dia sedang menangis dan berusaha untuk merangkai kata demi
kata agar aku tetap melanjutkan rencana pernikahan ini.
‘Tapi, Najwa…..Mas Deki belum
menyelesaikan kalimatnya, aku sudah meminta Bapak mengakhiri telpon.
Angin tiba-tiba berhembus kencang, langit tiba-tiba menangis
membasahi tenda yang sudah berdiri kokoh di depan rumah. Dunia seakan
menyesalkan keputusanku.
‘Maafkan aku Mas Deki.’
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan