Malam semakin larut, sinar rembulan dan bintang menghiasi langit tempatku menuntut ilmu, aku duduk di bagian belakang asrama yang kami beri nama “Shofa”. Seiring waktu yang berjalan, aku mulai membuka lembaran memori yang aku punya, aku keluarkan masing-masing kenangan dan juga fase-fase yang dulu pernah aku lewati hingga berada di titik ini. Aku membutuhkan seseorang yang mengerti. Aku membutuhkan jawaban atas puzzle yang menyesatkan ini. Aku akan mencari jawaban atas kegundahanku ini, bagaimana pun itu caranya.
Entah sudah berapa lama aku duduk disini, terus mabuk dengan kegundahan yang tak urung usai, sesekali kupandangi bintang yang sedari tadi bersinar terang, dalam hati aku bergumam, mungkinkah kegundahanku berganti dengan ketenangan setenang saat aku duduk menatap indah sinar bintang?
Aku masih tak habis pikir dengan apa yang kini aku hadapi. Aku tak pernah menyangka akan menjadi seperti ini. Berada dalam kondisi yang tak sepenuhnya aku harapkan seperti ini. Mengapa harus ada perjodohan ini? Mengapa harus aku?. Bukankah masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dariku? Bukankah aku hanya seorang santri yang masih belum cukup usia untuk mendapatkan panggilan suami, aku memang kenal dengan wanita itu, dia memang sholehah, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Namun aku tidak pernah menyangka bahwa kedatanganku ke pesantren ini mempunyai maksud tertentu, kedua orang tuaku sudah mengatur sedemikian baik hingga akhirnya aku dijodohkan dengan putri sang kiai pemilik pesantren. Lebih parahnya lagi, Anita sudah terlanjur mencintaiku, meski kami hidup di lingkungan pesantren, tapi aku tidak bisa lepas dari yang namanya cinta. Aku mencintai Anita, tapi aku juga tidak ingin menyakiti hati Zahrah putri kiai yang selama ini aku puja. Entahlah, aku masih butuh waktu untuk membuat keputusan, di sisi lain, Zahrah ternyata memang mencintaiku sejak awal aku masuk ke pesantren ini.
Tidak ada yang salah dengan cinta. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun, jika dalam waktu bersamaan aku harus menyakiti dua perempuan yang kini ada di depanku. Lalu cinta seperti apa yang kupunya sekarang? Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Aku tidak ingin membunuh perasaan yang suci ini dengan keputusan yang bodoh dan juga dengan cara yang bodoh. Aku tidak mungkin melarikan diri dari apa yang aku hadapi kini. Aku harus bersikap dewasa. Berusaha mengatasi semuanya dengan bijaksana. Karena bukankah memang dengan begitu semua masalah kita akan terselesaikan? Masalah hadir untuk dihadapi, bukan untuk ditinggalkan begitu saja tanpa penyelesaian.
Tanpa kusadari, ternyata Ilham sedari tadi duduk di belakangku sambil menatapku.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Ega?”
Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya. “Sudah lama duduk disana?”
“Kurang lebih tujuh menit yang lalu.”
“Aku tidak sedang memikirkan apa-apa, Ilham.”
Yang kutahu, Ilham belum mengetahui tentang perjodohan ini, entah apa jadinya jika ia tahu bahwa aku dijodohkan dengan putri kiai yang dicintainya, meski cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Zahrah tidak menerima cintanya, namun aku bisa melihat dengan jelas betapa Ilham masih mengharapkan cintanya bisa berlabuh di hati bidadari pujaannya.
Kulihat Ilham memutar-mutar gelas yang ia pegang sekarang.
“Jangan simpan mereka dalam hatimu, Ega.”
Aku tersentak mendengar Ilham mengucapkan itu. “Maksud kamu Ilham?”
Tiba-tiba tanpa aku sadari sebelumnya Ilham melemparkan gelas yang ia pegang sekarang ke arahku. Gelas yang ia pegang kini berada di atas kepalaku. Aku terkesiap dan terkejut karenanya. Kutangkap gelas itu dengan kedua tanganku.
“Kamu sudah gila, Ilham? Mengapa kamu lemparkan gelas itu ke arahku?”
Ilham hanya tersenyum melihatku terkejut seperti itu.
“Jika kamu menyimpan mereka di tanganmu. Kamu tak akan merasa khawatir dan ketakutan ketika kehilangan mereka.”
“Ilham, aku masih belum mengerti dengan yang kamu katakan.”
“Jika kamu menganggap cinta yang kamu punya sekarang sebagai anugerah dan pemberian dari Dia yang kini kita cintai. Kamu akan menganggap itu sebagai titipan. Kamu tidak akan merasa khawatir ketika cinta itu Dia ambil lagi nanti.”
Aku terkejut dengan apa yang Ilham ucapkan. “Kamu sudah mendengar tentang perjodohan itu?”
“Iya. Dan aku kini ingin sekadar menyadarkanmu. Betapa nikmat dariNya hanyalah titipan. Dia bisa mengambilnya kapan pun Dia inginkan.”
“Tapi itu tidak mudah.”
“Sama halnya ketika aku lemparkan gelas itu kepadamu, Ega. Jika kamu menyimpan ia di tanganmu, ketika ia jatuh atau pun rusak sekali pun, kamu tak akan khawatir. Kamu tidak akan takut dengan apa pun yang kamu hadapi.”
Kepalaku tertunduk mendengarnya.
“Simpan ia di tanganmu. Jangan kamu simpan ia di hatimu.”
“Tapi bagaimana dengan cintamu, Ilham?”
“Apa engkau sanggup melihat aku bersanding dengan wanita yang engkau cintai? Dan apakah kita akan terus menjadi teman seperti sekarang ini jika aku menjadi pendamping hidup Zahrah pujaan hatimu.”
“Aku bukan anak kecil lagi Ga, aku tahu mana yang seharusnya aku lakukan, jika memang keputusanmu untuk menerima perjodohan ini, maka aku pun akan menerima ini sebagai takdir dari-Nya.”
“Dan jika aku menolak perjodohan ini, apa kamu masih akan memperjuangkan cintamu?”
“Kita lihat saja nanti, sekarang yang penting adalah kamu segera membuat keputusan, mohon petunjuk pada-Nya dalam setiap sujudmu, lakukan sholat Istikharah, dengan demikian kamu akan lebih yakin dalam memilih keputusan apa yang akan engkau buat, tidak perlu belarut-larut seperti ini, kamu hanya butuh keyakinan penuh pada dirimu sendiri.”
“Apa yang kini akan kamu lakukan?”
“Aku ingin melihat Zahrah bahagia. Seperti arti dari namanya Ega, Zahra itu bunga. Wanginya bisa dirasakan oleh semua orang. Namun hanya orang yang terpilihlah yang bisa memetik ia dan menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya.”
Ilham berlalu pergi meninggalkanku sendirian. Setelah mendengar apa yang di ucapkannya, aku sedikit lebih yakin dengan keputusan yang akan aku buat.
Dengan segenap keyakinan, akhirnya kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Aku ingin bermunajat meminta ketetapan hati dari Dia yang Maha Mencinta. Aku tahu Dialah yang sanggup mengeluarkanku dari segala sesuatu yang kuhadapi kini.
“Bismillah. Jika memang apa yang kini baik menurutku ternyata memang buruk di sisimu. Maka ambillah ia. Namun jika memang apa yang kini kuragukan adalah yang terbaik menurutmu. Maka tunjukkanlah kepadaku cinta yang memang benar-benar Engkau ridhai.”
Tanpa terasa air mata turun membanjiri kedua mataku.
“Aku mencintaiMu. Selalu berharap akan cintaMu. Tunjukanlah apa yang memang benar-benar baik untukku ya Allah.”
Tulisan Kolaborasi : Arian Sahidi dan Teguh Puja
Entah sudah berapa lama aku duduk disini, terus mabuk dengan kegundahan yang tak urung usai, sesekali kupandangi bintang yang sedari tadi bersinar terang, dalam hati aku bergumam, mungkinkah kegundahanku berganti dengan ketenangan setenang saat aku duduk menatap indah sinar bintang?
Aku masih tak habis pikir dengan apa yang kini aku hadapi. Aku tak pernah menyangka akan menjadi seperti ini. Berada dalam kondisi yang tak sepenuhnya aku harapkan seperti ini. Mengapa harus ada perjodohan ini? Mengapa harus aku?. Bukankah masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dariku? Bukankah aku hanya seorang santri yang masih belum cukup usia untuk mendapatkan panggilan suami, aku memang kenal dengan wanita itu, dia memang sholehah, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Namun aku tidak pernah menyangka bahwa kedatanganku ke pesantren ini mempunyai maksud tertentu, kedua orang tuaku sudah mengatur sedemikian baik hingga akhirnya aku dijodohkan dengan putri sang kiai pemilik pesantren. Lebih parahnya lagi, Anita sudah terlanjur mencintaiku, meski kami hidup di lingkungan pesantren, tapi aku tidak bisa lepas dari yang namanya cinta. Aku mencintai Anita, tapi aku juga tidak ingin menyakiti hati Zahrah putri kiai yang selama ini aku puja. Entahlah, aku masih butuh waktu untuk membuat keputusan, di sisi lain, Zahrah ternyata memang mencintaiku sejak awal aku masuk ke pesantren ini.
Tidak ada yang salah dengan cinta. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun, jika dalam waktu bersamaan aku harus menyakiti dua perempuan yang kini ada di depanku. Lalu cinta seperti apa yang kupunya sekarang? Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Aku tidak ingin membunuh perasaan yang suci ini dengan keputusan yang bodoh dan juga dengan cara yang bodoh. Aku tidak mungkin melarikan diri dari apa yang aku hadapi kini. Aku harus bersikap dewasa. Berusaha mengatasi semuanya dengan bijaksana. Karena bukankah memang dengan begitu semua masalah kita akan terselesaikan? Masalah hadir untuk dihadapi, bukan untuk ditinggalkan begitu saja tanpa penyelesaian.
Tanpa kusadari, ternyata Ilham sedari tadi duduk di belakangku sambil menatapku.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Ega?”
Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya. “Sudah lama duduk disana?”
“Kurang lebih tujuh menit yang lalu.”
“Aku tidak sedang memikirkan apa-apa, Ilham.”
Yang kutahu, Ilham belum mengetahui tentang perjodohan ini, entah apa jadinya jika ia tahu bahwa aku dijodohkan dengan putri kiai yang dicintainya, meski cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Zahrah tidak menerima cintanya, namun aku bisa melihat dengan jelas betapa Ilham masih mengharapkan cintanya bisa berlabuh di hati bidadari pujaannya.
Kulihat Ilham memutar-mutar gelas yang ia pegang sekarang.
“Jangan simpan mereka dalam hatimu, Ega.”
Aku tersentak mendengar Ilham mengucapkan itu. “Maksud kamu Ilham?”
Tiba-tiba tanpa aku sadari sebelumnya Ilham melemparkan gelas yang ia pegang sekarang ke arahku. Gelas yang ia pegang kini berada di atas kepalaku. Aku terkesiap dan terkejut karenanya. Kutangkap gelas itu dengan kedua tanganku.
“Kamu sudah gila, Ilham? Mengapa kamu lemparkan gelas itu ke arahku?”
Ilham hanya tersenyum melihatku terkejut seperti itu.
“Jika kamu menyimpan mereka di tanganmu. Kamu tak akan merasa khawatir dan ketakutan ketika kehilangan mereka.”
“Ilham, aku masih belum mengerti dengan yang kamu katakan.”
“Jika kamu menganggap cinta yang kamu punya sekarang sebagai anugerah dan pemberian dari Dia yang kini kita cintai. Kamu akan menganggap itu sebagai titipan. Kamu tidak akan merasa khawatir ketika cinta itu Dia ambil lagi nanti.”
Aku terkejut dengan apa yang Ilham ucapkan. “Kamu sudah mendengar tentang perjodohan itu?”
“Iya. Dan aku kini ingin sekadar menyadarkanmu. Betapa nikmat dariNya hanyalah titipan. Dia bisa mengambilnya kapan pun Dia inginkan.”
“Tapi itu tidak mudah.”
“Sama halnya ketika aku lemparkan gelas itu kepadamu, Ega. Jika kamu menyimpan ia di tanganmu, ketika ia jatuh atau pun rusak sekali pun, kamu tak akan khawatir. Kamu tidak akan takut dengan apa pun yang kamu hadapi.”
Kepalaku tertunduk mendengarnya.
“Simpan ia di tanganmu. Jangan kamu simpan ia di hatimu.”
“Tapi bagaimana dengan cintamu, Ilham?”
“Apa engkau sanggup melihat aku bersanding dengan wanita yang engkau cintai? Dan apakah kita akan terus menjadi teman seperti sekarang ini jika aku menjadi pendamping hidup Zahrah pujaan hatimu.”
“Aku bukan anak kecil lagi Ga, aku tahu mana yang seharusnya aku lakukan, jika memang keputusanmu untuk menerima perjodohan ini, maka aku pun akan menerima ini sebagai takdir dari-Nya.”
“Dan jika aku menolak perjodohan ini, apa kamu masih akan memperjuangkan cintamu?”
“Kita lihat saja nanti, sekarang yang penting adalah kamu segera membuat keputusan, mohon petunjuk pada-Nya dalam setiap sujudmu, lakukan sholat Istikharah, dengan demikian kamu akan lebih yakin dalam memilih keputusan apa yang akan engkau buat, tidak perlu belarut-larut seperti ini, kamu hanya butuh keyakinan penuh pada dirimu sendiri.”
“Apa yang kini akan kamu lakukan?”
“Aku ingin melihat Zahrah bahagia. Seperti arti dari namanya Ega, Zahra itu bunga. Wanginya bisa dirasakan oleh semua orang. Namun hanya orang yang terpilihlah yang bisa memetik ia dan menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya.”
Ilham berlalu pergi meninggalkanku sendirian. Setelah mendengar apa yang di ucapkannya, aku sedikit lebih yakin dengan keputusan yang akan aku buat.
Dengan segenap keyakinan, akhirnya kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Aku ingin bermunajat meminta ketetapan hati dari Dia yang Maha Mencinta. Aku tahu Dialah yang sanggup mengeluarkanku dari segala sesuatu yang kuhadapi kini.
“Bismillah. Jika memang apa yang kini baik menurutku ternyata memang buruk di sisimu. Maka ambillah ia. Namun jika memang apa yang kini kuragukan adalah yang terbaik menurutmu. Maka tunjukkanlah kepadaku cinta yang memang benar-benar Engkau ridhai.”
Tanpa terasa air mata turun membanjiri kedua mataku.
“Aku mencintaiMu. Selalu berharap akan cintaMu. Tunjukanlah apa yang memang benar-benar baik untukku ya Allah.”
Tulisan Kolaborasi : Arian Sahidi dan Teguh Puja
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan