Memang tidak mudah membuat keputusan dalam keadaan dilema seperti ini, setiap keputusan yang akan aku ambil pasti akan ada yang tersakiti, seandainya saja aku menerima perjodohan ini, berarti Anita lah yang akan tersakiti. Jika aku menolak perjodohan ini, bukan hanya orang tuaku yang kecewa, namun keluarga Pak Kiyai Faiz pun akan kecewa, lebih-lebih Zahra, aku yakin dia akan kecewa dan aku tahu bagaimana sakitnya saat cinta kita bertepuk sebelah tangan, saat dimana cinta kita tidak mampu untuk menaklukkan hati sang pujaan, saat dimana hati kita tidak mampu untuk berlabuh ke tepi hati orang yang kita cintai.
Seminggu berlalu, rasanya aku sudah semakin yakin dengan keputusan yang akan aku ambil. Aku pergi ke Sekretariat Pesantren dan mencoba untuk menghubungi Ummi.
"Assalamu'alaikum Ummi, Ini Ega"
"Wa'alaikum Salam, ada apa Nak ?
"Ummi, bagaimana kabar keluarga di rumah ?"
"Alhamdulillah, semua sehat, Abimu sedang pergi ke kebun untuk memetik buah coklat dan dijual"
"Ummi dan Abi kapan bisa ke Pesantren?"
"Kamu sudah mempunyai jawaban tentang perjodohan kemarin?"
"InsyaAllah sudah Ummi, makanya Ega minta Ummi dan Abi untuk datang ke Pesantren, Ega juga sudah kangen dengan Umi dan Abi"
"Nanti Ummi beritahu Abimu terlebih dahulu kapan bisa ke Pesantren, nanti Ummi yang menghubungimu di pesantren jika sudah ada rencana ke Pesantren."
"Baik Ummi, Ega mau ke asrama lagi, Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Setelah selesai menghubungi Ummi, aku menemui Ilham yang sedang duduk di pinggir kolam ikan yang ada di tengah-tengah Pesantren, kami menyebutnya dengan "Danau Pesantren". Di danau ini dikembang biaakkan Ikan Patin, Ikan Mujair, Ikan Mas, dan Lele. Aku menghampirinya.
"Ikannya sudah diberi makan belum Ham ?"
"Sudah Ga, dari mana kamu ?"
‘Dari nelpon Ummi di Kampung"
"Kamu sudah memberi Ummimu keputusan apa yang akan kamu ambil?"
"Belum, tapi aku sudah meminta Ummi dan Abi untuk datang ke pesantren menemui keluarga Kiyai, dan nanti aku akan memberi tahu mereka semua tentang keputusanku"
"Baguslah kalau begitu, tidak perlu lama-lama, kasian Zahroh yang kau gantung cintanya"
"Iya Ham".
Kami berdua hanyut dalam lamunan masing-masing, aku membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuaku dan keluarga Kiyai saat mendengar keputusanku nanti, akankah kemarahan yang aku dapati, namun rasanya tidak mungkin, aku tahu betul betapa bijaknya Abi dan Ummi, aku juga tahu betul betapa bijaknya Kiyai dalam menyelesaikan suatu masalah. Ilham sesekali berdendang dengan bahasa yang tidak aku mengerti, mungkin dia menggunakan bahasa Lombok daerah dari mana dia berasal.
Beberapa hari kemudian, Pak Izzul selaku Sekretaris Pesantren memintaku untuk datang ke Sekretariat, katanya ada telpon dari Ummi. Aku berlari-lari kecil menuju Sekretariat agar Ummi tidak terlalu lama menunggu.
"Assalamu'alaikum Ummi"
"Wa'alaikumussalam"
"Ega, Ummi dan Abimu besok mau datang ke Pesantren, jangan lupa kasih tahu Kiyai Faiz ya"
‘Iya Ummi".
Sabtu malam, tepat pukul 20.00, Kiya Faiz dan Nyai menyambut kedatangan Abi dan Ummi dengan senyum. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk, aku duduk disebelah Abi dan Ummi, Zahra membawakan minuman untuk kami kemudian dia pergi ke belakang.
Barulah beberapa menit kemudian Zahra ikut duduk bersama kami di ruang tamu setelah Kiya Faiz menemuinya di belakang.
"Selamat datang di rumah kami Pak Yahya dan Bu Yahya, bagaimana perjalanan dari Purworejo ke Banyumas ?" Kiyai Faiz memulai perbincangan.
"Alhamdulillah semuanya lancar Pak Kiyai, meski waktu di Kebumen sempat hujan lebat, namun akhirnya kami bisa sampai di Pesantren ini"
"Syukurlah, langsung saja Pak Yahya, sesuai dengan yang sudah kita bicarakan beberapa waktu lalu bahwa pertemuan kali ini akan mendengarkan keputusan Nak Ega tentang perjodohan yang sudah kita atur antara Ega dan Zahra, karena hanya Nak Ega yang belum memutuskan, Putri saya sudah mengatakan kesediaannya dengan perjodohan ini sedari awal."
Abi langsung menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang sebagai tanda dia memberikanku kesempatan untuk berbicara. Suasana malam ini tampak begitu formal, aku sudah merangkai kata-kata terbaik yang akan aku jadikan sebagai sebuah keputusan. Jujur, aku sempat gugup melihat Kiyai, Buk Nyai dan Zahra yang duduk di depanku. Zahra terlihat cantik mengenakan Jilbab Ungu dipadu dengan Gamis Ungu panjang sampai matakakinya. Kedua alisnya yang hitam, senyumnya, semua itu terlihat sempurna. Meski sempat gugup, namun aku berusaha untuk tidak terlihat gugup, aku melihat ke Abi dan Ummi terlebih dahulu sebelum akhirnya kalimat demi kalimat keluar dengan tenang dariku.
"Kiyai, Buk Nyai, Zahra, serta Abi dan Ummi, sebelumnya Saya minta maaf jika nanti ada yang tidak berkenan dengan keputusan yang saya buat". Mereka yang ada di ruang tamu terlihat senyum menatapku yang semakin gugup namun berhasil kusembunyikan.
"Jujur, sebelum saya tahu adanya perjodohan ini, saya sudah mempunyai tambatan hati. Dan dia merupakan anak salah satu pengajar di Pesantren ini, dia adalah Anita putri Abah Hafidzh." Aku berhenti sejenak.
"Abi, Umi, Aku mencintai Anita dan aku benar-benar mencintainya, entah apa jadinya jika aku hidup tanpa dia. Selama dua minggu kemarin Ega sudah berusaha untuk membuat keputusan yang terbaik, Ega sudah berulang kali Sholat Istkharah memohon petunjuk-Nya, dan hati Ega mengatakan bahwa Ega tidak bisa menerima perjodohan ini, bukan karena Ega tidak menghargai apa yang sudah Abi dan Ummi lakukan, namun Ega tidak ingin menjalani semua ini setengah hati."
"Pak Kiyai, Buk Nyai, Zahra, saya mohon maaf jika kurang berkenan"
Suasana di ruang tamu hening sejenak. Aku tertunduk bahagia karena sudah berhasil membuat keputusan. Sekarang aku hanya menunggu apa tanggapan kedua orang tuaku serta tanggapan Kiya Faiz tentang keputusanku.
Abi kembali mengelus pundakku dengan penuh kasih sayang.
"Nak, kamu bukan anak kecil lagi, dan Abi yakin kamu sudah memikirkan ini dengan baik. Abi dan Ummi tidak bisa memaksakan jika memang kamu tidak bisa menerima perjodohan ini."
Kiyai Faiz senyum sambil menganggukkan kepala.
"Saya pun mempunyai tanggapan yang sama dengan Abi dan Ummimu, saya juga tidak mempunyai hak untuk memaksamu menerima putriku sebagai istrimu"
Suasana kembali hening, sesekali aku melihat ke Zahra yang hanya terdiam, tidak ada tanda-tanda marah di mukanya, dia tetap tersenyum seperti saat aku pertama datang ke Pesantren ini, senyum itu tetap menghiasi wajahnya. Marahkah dia dengan keputusanku?, jika ia, mengapa tidak ada air mata, tidak ada raut wajah sedih dari mukanya. Entahlah, aku tidah tahu persis bagaimana perasaaannya, sampai pertemuan keluarga usai, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Dia hanya diam membisu.
endingnya cuman sampai di sini, Mas?
ReplyDeletegak ada lanjutan cerita tentang Ega sama Anita yah???
eh, sampai lupa,, salam kenal, Mas... ^^
nggak ada lanjutannya (aish malas nampaknya saya ini ). baiklah salam kenal *sodorin kopi*
ReplyDelete** mampir baca ehhehe --kayaknya lebih sip kalo dialognya disisipin deskripsi, biar lebih hidup. jadi tidak seperti kalimat-kalimat saja, jadi pembaca akan mempunyai deskripsi/gambarannya sendiri saat membaca tulisan. --ehehe sok tahu saya...sama2 belajar nulis..keep on writing, cheers :)
ReplyDeletehaha, saya ini emang abal2 sekali kalo masalah nulis, terimakasih atas masukannya :), InsyaAllah akan terus belajar.
ReplyDelete