Sudah
menjadi rutinitas tahunan, aku kembali ke kampung halaman menjelang hari raya
idul fitri. Rutinitas tahunan juga, merasakan hiruk pikuk perjalanan mudik yang
entah kapan bisa berubah menjadi kenyamanan. Tak pernah kurasakan nyamannya
suasana mudik ke tempat dimana aku dilahirkan, baik melalui udara, darat
apalagi laut. Sesak, dan berbagai macam kendala yang seolah tak pernah habis.
“Berapa lama lagi kami harus
menunggu di sini, Pak?” suara bapak berkepala botak itu kudengar untuk yang
kesekian kalinya. Dia sudah menanyakan pertanyaan itu berulang kali, karena
kesal dengan pihak maskapai yang tidak profesional. Lelah rasanya terus
menunggu sesuatu yang tidak bisa dipastikan kapan kedatangannya. Tiga jam yang
lalu, pihak maskapai mengatakan pesawat delay satu jam. Satu jam
kemudian mereka mengatakan hal yang sama, dan satu jam yang baru saja kulalui
pun tetap dengan ucapan yang sama. Sampai kapan kami harus menunggu?
Seorang ibu dan kedua orangtuanya
memaki pihak maskapai. Aku sama sekali tidak memaki pihak maskapai, hanya
membuang-buang energi saja dan tidak akan mempercepat keberangkatan. Aku
memilih untuk menyendiri di salah satu sudut ruang tunggu, berselancar ke dunia
maya yang entah kapan akan menjadi nyata. Andai saja perjalananku kali ini
selancar perjalananku menjelajah dunia melalui dunia maya, mungkin sekarang aku
sudah bisa bertemu kakek di istananya.
Kuhentikan jemariku yang lincah
menari di atas keyboard. Aku mengambil secarik kertas yang ada di dalam
saku celanaku, surat dari kakek. Zaman sudah semakin maju, tapi kakek memilih
surat sebagai media informasi.
“Menulis surat itu memiliki
nuansa tersendiri, lebih eksklusif dari hanya berkirim pesan singkat.
Perjalanan panjang surat menuju alamat yang dituju adalah sebuah perjuangan.”
Itulah alasan kakek. Ia tidak ingin memiliki HP, karena memang tidak ada sinyal
di desaku. Untuk bisa mendapatkan sinyal, penduduk harus naik ke bukit-bukit
yang mengelilingi tempat aku dibesarkan. Aku selalu membalas surat-surat kakek
yang sok puitis dan terlalu pendek itu. Kadang surat kakek hanya berisi sebuah
pertanyaan, “Apa kabarmu, Damar?” hanya itu dan aku harus menunggu beberapa
hari hanya untuk sebuah pertanyaan itu dan beberapa hari juga jawabanku bisa
sampai ke tangan kakek.
Kubacai lagi surat kakek. Aku
tersenyum.
Cucuku..
Matahari baru saja bersinar, saat
kakek mulai merangkai kata menjadi kalimat untukmu. Ayam tetangga sedang
berkokok merdu di sudut rumah, menyapa mentari yang perlahan menghangatkan
semesta.
Ah iya, kakek terbiasa menjadi
pujangga gagal tiap kali mengirim surat untukmu. Entahlah, kata seolah berhenti
tiap kali kucoba merangkainya menjadi untaian kata indah.
Apa kabarmu? Semoga cucu kakek
selalu sehat. Amin
Lebaran tahun ini kamu mudik? Kakek
dan rumah tua ini selalu menantimu kembali.
Salam
Aku tersenyum lebar setelah membaca
surat dari kakek. Sudah kubaca berulang-ulang, selalu membuatku bergetar.
Kakek, dengan gayanya yang kadang aneh, dengan bahasanya yang kadang membuatku
senyum-senyum sendiri, selalu bisa membuatku bahagia. Dialah satu-satunya
alasanku kembali ke kampung, dialah satu-satunya keluarga yang kumiliki setelah
kecelakaan itu, saat kedua orangtuaku dan kedua adikku meninggal karena
kecelakaan maut itu. Sempat kututup rapat-rapat melodi rindu yang ada di
hatiku, tak ingin rasanya kuingat kembali semua kenangan bersama ayah dan ibu,
serta cerita bahagiaku dan kedua adikku. Sakit.
Pesawat akhirnya datang juga,
kukemasi barang-barang bawaanku yang tercecer. Aku melangkah pasti, memasuki
kabin pesawat, kemudian duduk di kursi nomor terdepan. Pramugari sibuk memberi
informasi kepada penumpang saat pesawat akan mengudara. Aku melongok ke luar
jendela, melihat langit Jakarta yang mulai kelam. Sepertinya akan terjadi hujan
lebat.
¤
Aku
mengantri di barisan penumpang yang sedang mengambil barang bawaan yang tadi
masuk ke bagasi pesawat. Sebuah koper berukuran sedang, berwarna merah tua dan
bergaris keemasan itu adalah milikku, aku mengambilnya dan berjalan keluar
menuju tempat parkir. Sudah ada travel yang menungguku, aku sengaja tidak ingin
berlama-lama di Kota, ingin segera kuhirup segar udara di desaku, bertemu
dengan laki-laki berkumis tebal, berambut putih dan berkacamata bak harry
potter itu.
Jalanan bebas hambatan, tidak
seperti Jakarta yang penuh sesak. Macet seolah tak pernah ada habisnya. Aku
menikmati pemandangan selama perjalanan menuju kampung halaman; pohon niur yang
melambai tinggi, air sungai yang masih jernih, hamparan sawah yang hijau, serta
hewan-hewan ternak yang sedang mencari makan di padang rumput.
Kantukku semakin tak tertahan, aku
memejamkan kedua mataku, sepersekian detik kemudian, aku sudah berada di alam
mimpi. Hening.
“Kite lah nyampai, Damar.[1]”
“Lah nyampai mane kiye?[2]”
“Sampai di depan rumahmu.”
Aku mengeliat, mengernyitkan dahiku
dan mencoba untuk melihat ke sekelilingku. Gelap, tidak ada cahaya listrik di
desa ini. Desa Air Jelatang, itulah nama desaku. Gelap, sunyi, tanpa adanya
penerangan listrik. Hanya lampu-lampu minyak yang menjadi penerang rumah
penduduk. Aku sudah sampai di pelosok negeri ini.
Laki-laki yang kurindu sudah duduk
di depan rumah, memegang sebuah tongkat kayu dan kaca mata khas miliknya.
Samar-samar kulihat senyumnya yang terukir di wajah yang dipenuhi garis-garis
kehidupan. Ada paman yang mengurus kakek.
Sedikit berlari aku menujunya,
kuciumi punggung tangannya yang kasar, dan kupeluk erat tubuhnya yang tak
berisi. Ia tersenyum, kemudian menggerakkan kedua tangannya dengan bahasanya
tersendiri. Sudah lama aku tidak menggunakan bahasa isyarat seperti ini. Hanya
saat bertemu dengan kakek aku menggunakannya. Kakek baru saja menanyakan
kabarku.
Dunia kakek memang sunyi, ia tak
mampu mendengar dan tak mampu berbicara. Ia berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa isyarat. Ayah juga tuna rungu, mungkin menurun dari kakek. Sudah
berulang kali aku mengajak kakek untuk tinggal bersamaku di Jakarta, tapi kakek
tetap memilih tinggal disini, mencari ketenangan hidup. Ia tidak ingin berada
di tengah kota yang sama sekali tidak ia kenali.
¤
Azan
subuh mengangkasa, aku bangun dari lelap tidur. Di ruang sebelah kulihat kakek
sedang duduk bersimpuh di atas sajadah, memegang tasbih, kemudian mengangkat
kedua tangannya seraya berdoa. Tidak ada suara, namun sudut matanya mulai
berair.
Aku berjalan di samping kakek,
sesekali kubantu ia menapaki jalanan yang berlobang dan berbatu. Entah kapan
jalan disini akan diperbaiki, sejak aku lahir dan sebesar ini, belum pernah
kulihat adanya perbaikan jalan secara maksimal. Hanya janji-janji dari pejabat
daerah yang memuakkan, janji yang tidak pernah ditepati. Tiap kali pemilihan
kepala daerah, selalu ada janji perbaikan jalan, tapi sampai hari ini janji itu
hanya omong kosong. Begitu juga dengan listrik. Desaku tetaplah gelap gulita,
jauh dari gemerlap cahaya.
Ba’da subuh, aku duduk di samping
kakek. Dengan bahasa isyarat dan raut wajah yang sedikit sedih, kakek memulai
ceritanya.
“Sudah lama kakek tidak pernah
melihat muda-mudi yang menyandang kitab suci, seperti zaman ayahmu masih ada.
Tidak ada lagi terdengar lantunan ayat-ayat suci selepas shalat maghrib. Dulu
ada banyak anak-anak yang belajar mengaji di masjid setelah shalat maghrib,
tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Sedih melihat apa yang terjadi saat ini,
generasi muslim banyak yang lupa akan kewajibannya mempelajari Al Quran.”
Sesekali aku menganggukkan kepala,
atau menjawab beberapa pertanyaan kakek. Aku lebih banyak mendengarkan apa yang
ia ucapkan dengan bahasanya.
“Ada banyak orang yang mendengar,
tapi sebenarnya mereka tuli. Suara azan didengar, tapi diabaikan. Ada banyak
orang yang bisa berbicara dengan baik, tapi mereka bisu. Al Quran hanya
dijadikan pajangan, tidak dibaca.”
Air muka kakek semakin sedih.
“Kamu harus ajarkan generasimu untuk
mengenal Allah.”
Kakek mengakhiri ucapannya.
Memang tak pernah lagi kulihat anak-anak
kecil yang berlarian menuju masjid demi belajar membaca kitab suci. Zaman sudah
semakin berubah, bahkan di pelosok negeri seperti desaku. Agama seolah hanya
menjadi pelengkap identitas. Agama seolah hanya menjadi garis keturunan,
selebihnya tidak dicoba untuk dimengerti oleh penganutnya.
Gema takbir menggema, memecah
kesunyian malam. Suara mesin genset milik Pak Kades juga ikut memeriahkan malam
hari raya idul fitri. Aku dan kakek menikmati kue lebaran khas desaku; ada
juadah keras yang kerasnya super dan tentu tidak bisa dinikmati oleh kakek, aku
harus membantu kakek merubahnya menjadi potongan-potongan kecil, agar kakek
bisa menikmatinya. Ada kue bawang yang tidak kalah kerasnya dan masih banyak
lagi yang lain.
Kenangan tentang malam hari raya puluhan
tahun yang lalu kembali hadir, saat ayah dan ibu masih bersamaku, saat kedua
adikku dengan lincahnya bergelayut manja di pundakku. Aku merindui mereka.
Kakek menatapku, gerakan tangannya
dapat kupahami dengan baik.
“Kapan nikah?” raut wajah kakek
menunjukkan bahwa ia bertanya serius.
“Insya Allah segera, Kek.”
Kakek hanya menganggukkan kepalanya,
kemudian melanjutkan usahanya untuk menikmati aneka kue lebaran.
Subuh kedua, di pagi hari raya idul
fitri. Tidak kulihat laki-laki senja itu bersimpuh di sajadah usangnya. Tidak
kulihat untaian tasbih yang biasanya selalu ada di genggamannya. Dimana kakek?
Tidak biasanya ia belum bangun dari lelap tidurnya. Meski tidak mampu
mendengar, tapi kakek tidak pernah kulihat telat menunaikan shalat malam dan shalat
subuh.
Aku menuju kamar kakek. Tubuhnya
masih dibalut selimut putih bergari-garis hitam yang sudah mulai usang. Kakek
tertidur masih lengkap dengan pakaian shalat isya tadi malam. Tasbih terjuntai
dan tetap berada di dalam genggamannya. Al Quran berada di samping kepalanya,
di atas bantal tidurnya. Kakek masih tidur.
Dengan sedikit hati-hati, aku
membangunkan kakek. Biasanya, hanya dengan sentuhan lembut di bahunya, kakek
langsung bangun dari tidurnya. Sudah beberapa kali kucoba untuk membangunkannya,
tapi ia tak kunjung bangun. Matanya tetap menutup, tidak kudengar suara tarikan
nafasnya, tidak kutemukan denyut nadinya.
Mungkinkah kakek telah pergi untuk
selamanya? Aku berteriak memanggil-manggil kakek. Aku berteriak sekuat-kuatnya,
meski aku tahu semua percuma, kakek tidak akan mendengar apa yang kuteriakkan.
Aku memeluknya untuk yang terakhir kalinya, kubisikkan permintaan maaf yang
belum sempat terucap, kubisikkan untaian doa di telinga kanan dan kirinya.
Semua tiba-tiba menjadi semakin gelap, lampu minyak yang menerangi kamar kakek
tiba-tiba padam. Nafasku sesak, tangisku semakin menjadi dan aku terjatuh.
Pingsan.
Aku tersentak kaget, terbangun dari
lelap. Kulihat ia berdiri di hadapanku, tersenyum dan dengan kedua tangannya ia
memberitahuku bahwa subuh sudah menjelang. Ia mengajakku pergi untuk shalat
berjemaah di masjid. Ia tersenyum dan melanjutkan gerakan kedua tangannya.
“Kamu baru saja bermimpi, Damar.”
Syukur kuucapkan kepada Ia yang
segala Maha. Ternyata semua hanya mimpi. Kakek masih ada di sampingku. Aku dan
dirinya berjalan beriringan menuju rumah Allah. Bahagia, saat tahu orang yang
kucintai masih bersamaku di hari raya ini. Karena tidak ada yang tahu kapan
seseorang akan sampai pada tujuan akhir dari perjalanan panjangnya. Seperti kata
Imam Ghazali,
“Yang paling dekat dengan kita
adalah kematian. Maka bersiaplah.”
Saya tak sangka yang boleh dari Msia juga setanding dgn
ReplyDeleteblog dari luar. Tahniah blogger Msia.
Also visit my webpage :: Rahsia Hebat Diranjang