“Hidayah
ibarat cahaya; ia tak menyapa kamar yang tidak dibuka jendelanya.”
(Faisal Tehrani)
(Faisal Tehrani)
Bus
yang membawaku melaju dengan pesat, melewati jalanan yang mulai berlubang;
batu-batu kecil berserakan di sepanjang jalan, debu yang berterbangan, dan air
yang tergenang.
“Yuk
ajak warga menanam padi di tengah jalan sana,” celetuk Dona, sahabat yang duduk
di sampingku sambil menunjuk ke jalanan berlubang yang digenangi air.
Aku
dan beberapa penumpang yang ada di bus serentak terkekeh dengan celetuknya.
“Bagaimana
kalo kita bikin ternak ikan saja disana,” ujar salah seorang penumpang yang ada
di kursi belakangku.
Kami
kembali tertawa, menertawakan kondisi jalan yang ada di negeri ini. Aku sama
sekali tidak bisa mengingat kapan terakhir kali jalanan ini asri. Seingatku,
setiap tahun aku mudik dan selalu melewati jalan yang sama, tiap tahun pula lah
aku harus menyaksikan kondisi jalanan yang jauh dari kata layak. Entahlah, aku
tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku
tertidur lelap, sambil menahan degup jantungku yang mulai tak menentu. Aku
sudah menahan rindu yang sejak lama ingin berlabuh kepada Ayah dan Bunda. Aku
merindukan kebersamaanku dengan mereka semua. Terbayang dalam mimpi-mimpiku,
wajah Ayah dan Bunda yang tersenyum di hadapanku, kemudian memelukku erat dan
membisikkan,
“Ayah
dan Bunda menyayangimu, Nak.”
Aku
amat merindukan mereka semua; Ayah, Bunda, Kakek, Kak Ita dan juga ketiga
adikku. Apa kabar mereka semua Tuhan? Semoga mereka semua baik-baik saja.
Bus
berhenti di dekat pom bensin yang tidak jauh dari rumah. Bus tidak bisa
menghantarkanku di depan rumah, karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan.
“Kakak
sudah sampai, Dek.” Aku langsung menghubungi adikku.
Tidak
lama kemudian, Meko, adikku langsung datang menjemputku dan membawaku ke rumah.
Sepoi angin pesisir yang berembus, derai ombak yang terdengar merdu, nyiur yang
melambai-lambai dalam temaramnya malam, semua terasa begitu indah bagiku. Aku
selalu merindukan itu semua.
Di
tengah penerangan cahaya lampu yang temaram, aku melihat seseorang dengan
pakaian jubah panjang menghampiriku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa
yang sedang menuju ke arahku. Meko sedang sibuk membawa barang-barangku ke
dalam rumah.
“Assalamu’alaikum,
Nak.” Aku mengenal dengan baik suara itu, suara Bunda.
Sedikit
berlari aku menghampiri Bunda dan memeluknya. Ada yang berbeda dengan Bunda,
hijab anggun yang menutupi auratnya terasa begitu indah dan menawan. Ada
keteduhan di raut wajahnya. Bunda memelukku erat dan mencium keningku hangat.
“Bunda
sangat merindukanmu, Nak.”
“Rayyan
juga sangat merindukan Bunda.”
Kami
terus berpelukan, kulihat Ayah ikut menghampiriku dan kami bertiga berpelukan.
Meko tidak ingin membiarkan pertemuan ini berlalu begitu saja, ia ikut
memelukku. Kami menangis, menumpahkan kerinduan setelah sekian lama kami tidak
bertemu.
Aku
duduk di tengah-tengah keluargaku, bercengkrama satu sama lain, tertawa, dan
juga diiringi air mata bahagia. Kakek, dia tersedu-sedu menangis di sampingku.
Ahhh… aku tidak pernah sanggup jika duduk berlama-lama di sampingnya. Aku tidak
sanggup jika harus menahan air mataku, aku pasti ikut menangis. Kakek dan aku
memang sangat dekat, dan ia sangat menyayangiku. Setiap kali aku mudik dan akan
kembali lagi ke perantauan, Kakek adalah orang yang paling dramatis dalam
menyambut dan melepaskanku. Air matanya seolah tak pernah habis untuk
menangisiku.
Aku
masih ingat dengan baik saat Kakek melepas kepergianku tahun lalu, tangisnya
memecah keheningan pagi, untaian doa tak pernah habis ia panjatkan kepada Yang
Mahakuasa, berharap aku akan kembali di tahun yang akan datang dan masih bisa
melihatnya meski usianya sudah senja. Kakek, aku selalu mendoakanmu, jika
memang kita terpisah karena kematian, semoga kita dipisahkan dalam keadaan
khusnul khatimah.
Aku
menatap lekat-lekat wajah Bunda yang begitu meneduhkan kalbuku. Bunda sudah
memakai hijab dengan sempurna. Sudah sejak lama aku menganjurkan Bunda untuk
segera menutup auratnya, tapi selalu saja ada alasan Bunda untuk tidak mentaati
perintah Tuhan.
“Panas,
Nak. Bunda nggak siap untuk memakai hijab.” Begitulah jawaban yang selalu Bunda
ulang-ulang tiap kali aku memintanya untuk memakai hijab sebagai wujud ketaatan
kepada Tuhan.
Pernah
suatu ketika Bunda marah kepadaku, karena aku selalu menganjurkannya untuk
memakai hijab. Tapi aku tidak pernah bosan untuk mengajak Bunda memakai hijab.
Aku sering mengiriminya buku-buku keislaman, dengan harapan Bunda akan segera
bertaubat dan mulai memakai hijab.
“Bukankah
pada akhirnya kita semua akan dibalut dengan kain kafan? Satu-satunya pakaian
yang akan kita bawa mati, yang akan menutupi aurat kita? Jika pada akhirnya
aurat Bunda akan ditutup juga pas mati, mengapa harus menunggu kematian tiba,
Bunda?” begitulah kalimat yang terlontar dariku dan membuat Bunda marah besar
padaku. Aku hanya bisa diam, membiarkan Bunda memarahiku.
Setelah
sekian lama aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar Bunda mendapatkan
hidayah-Nya, malam ini aku melihat doaku terkabul. Aku tersenyum dan Bundapun
tersenyum.
“Gimana kuliahmu, Nak?” Tanya Bunda padaku.
“Kuliahku
baik-baik saja, Bunda. Tanggal 24 sepetember nanti baru mau sidang dan kalo
tidak ada halangan, Rayyan akan wisuda di bulan November.”
Perbincangan
kami terpaksa harus diakhiri, karena malam yang semakin larut. Nanti kami harus
bangun untuk makan sahur. Puasa Ramadhan masih belum usai, masih ada dua hari
lagi dan aku sangat bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan untuk bisa
berjumpa dengan bulan Ramadhan.
***
Gema
takbir itu sejak lama kurindukan, aku menjabat kedua tangan Ayah dan Bunda,
memohon maaf kepada mereka akan apa yang selama ini telah kulakukan; mungkin
ada kataku yang menyakiti hati mereka, mungkin ada tingkahku yang tidak patut
di hadapan mereka, mungkin ada banyak kesalahan yang telah kuperbuat dan aku
tidak menyadarinya.
Dalam
tiap doaku, aku selalu berdoa, semoga keluarga kami ini menjadi keluarga
bahagia, keluarga yang diridhai oleh Allah, keluarga yang selalu berusaha untuk
menjadi lebih baik, keluarga yang terus melantunkan ayat-ayat-Nya dalam
kehidupan sehari-hari. Semoga Allah memberi keberkahan.
Gema
takbir terus mewarnai dunia, mengagungkan kebesaran Tuhan, memuji kuasa-Nya dan
berharap kami akan dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Ramadhan
berlalu, disambut dengan senyum hangat bulan syawal. Tuhan memberikan kejutan
yang begitu indah terhadap Bunda. Tuhan memberikan hidayah untuk berhijab di
bulan Ramadhan dan semoga Bunda bisa istiqamah dengan hijabnya. Bunda,
terimakasih atas kasih dan sayangmu, semoga kebaikan selalu menyertaimu.
Sahabat,
kita memang tidak bisa memaksa orang-orang terdekat kita menjadi seperti yang
kita mau. Kita hanya bisa terus mengingatkan mereka dengan cara-cara yang baik.
Kelembutan kita, kesabaran kita dalam membimbing mereka akan memberikan
secercah harapan lebih baik. Jangan berputus asa ketika melihat orang-orang
terdekatmu tidak seperti yang kalian inginkan. Tetap saling menasehati dalam
hal kebaikan. Tetap semangat, agar keluarga kita menjadi keluarga yang diridhai
Allah Swt. Selamat berdakwah, Kawan.
*membuka jendela*
ReplyDeleteselamat membuka jendela :)
Delete