Hanya
pada-Mu ku bertanya
Lewat
setiap sujudku ini
Siapakah
nanti
Cinta
untukku
(Menanti
Cinta)
Gue
yakin akan janji Tuhan tentang jodoh gue. Siapapun nantinya yang ditakdirkan
menjadi jodoh gue, gue berharap bisa menjadi pendamping hidup yang baik
untuknya; baik dalam suka maupun duka, dan selalu berusaha menjalani kehidupan
sebaik mungkin sesuai dengan aturan-Nya.
Sepertinya kegalauan gue tentang
jodoh baru akan terhenti kala pernikahan sudah terlaksana. Buktinya gue sering
banget galau kalo ditanya dengan pertanyaan sakral.
“Kapan
nikah?”
Entah
sudah berapa kali gue mendengar pertanyaan itu diajukan baik dari rekan sesama
guru, murid-murid, wali murid, sahabat, de el el. Mengapa mereka tidak bosan
menanyakan pertanyaan itu, bahkan selalu diulang? Kadang gue berpikir bahwa itu
adalah wujud perhatian mereka ke gue. Tapi kadang gue juga terlalu sensitif
dengan pertanyaan itu.
Ada
sahabat yang akhirnya memilih untuk cepat-cepat menikah, karena tidak ingin
mendengar pertanyaan sakral itu lagi. Kami sempat geleng-geleng kepala saat
mendengar pengakuannya tentang hal itu. Aneh. Tapi gue mengakui, kadang memang
ada rasa yang mencoba untuk berontak setiap kali pertanyaan itu diajukan. Eh
bukankah pertanyaan sakral itu akan terus berlanjut, meski gue sudah menikah?
Hanya pertanyaannya yang berubah “kapan punya anak?” nanti kalo sudah punya
anak “kapan punya anak lagi?” dan seterusnya hehe. Semoga tidak ada pertanyaan
“kapan nikah lagi?” lol
Gue
memang belum ada rencana untuk menikah, meski sudah beberapa kali ada yang
datang ke rumah, mencoba untuk mengenalkan seseorang yang mungkin cocok dengan
kriteria perempuan yang akan gue pilih menjadi pendamping hidup. Tapi tiap kali
ada yang datang, gue nggak pernah mempunyai nyali untuk mengatakan iya. Gue
nggak pernah punya keberanian untuk mengatakan bahwa gue sudah siap untuk
membina rumah tangga. Gue nggak pernah seberani itu. Bahkan gue terkadang
mengulur waktu untuk memberi jawaban, meski akhirnya gue sudah tahu jawaban apa
yang akan gue berikan. Selalu jawaban belum ingin menikah.
“Maaf,
saya belum ada rencana untuk menikah.”
Itulah
jawaban sederhana yang sering gue ucapkan. Namun gue sering bingung sendiri
kala pertanyaan mereka berlanjut.
“Apa
yang membuat ustad belum mau menikah?”
Ya,
gue sering bingung jika ada pertanyaan seperti ini. Jujur, di hati kecil gue,
kadang gue iri melihat ada keluarga yang sedang bermain bersama, berlarian
kesana kemari, tertawa, atau bahkan gue sering galau melihat anak-anak kecil
yang lucu. Kadang gue sering galau saat sedang berada di Sekolah Dasar, melihat
anak-anak yang berlarian ke arah gue, mereka menarik-narik tangan gue mengajak
bermain bersama mereka. Gue sering galau karena itu.
Sepulang
sekolah, kadang gue sengaja mampir ke Sekolah Dasar, hanya untuk melihat
anak-anak yang berlarian kesana-kemari, tertawa lepas, kemudian mereka
berlarian ke arah gue, mengajak gue bermain bola bersama mereka. Mereka
terbiasa bermain sepak bola di halaman sekolah sambil menunggu jemputan datang.
Gue menikmati kebersamaan kami; tawa mereka, senyum mereka, semuanya membuat
selukis senyum selalu ada di hadapan mereka. Bahagia, teduh. Kadang mereka membuat
gue bergumam dalam hati,
“Anak
gue nanti kayak gimana, ya, mukanya? Selucu mereka kah?”
Ada
teman gue yang berceloteh tentang keinginannya memiliki anak, tapi belum ingin
menikah haha. Gue tahu dia hanya bercanda.
“Apa
lagi yang kamu tunggu, Yan? Segeralah menikah,” ucap salah satu kawan lama yang
sudah lama tidak berjumpa. Gue tidak memberikan jawaban apa-apa terhadap
pertanyaannya. Kami sama-sama diam.
Pernah
suatu ketika ada seseorang yang datang ke rumah.
“Ustad,
antum sudah punya calon istri belum?”
“Belum.”
“Aku
punya kakak, sekarang dia sedang kuliah.”
Awalnya
gue masih belum paham arah pertanyaannya. Beberapa detik kemudian gue baru
mengerti arah pertanyaannya. Dengan semangat yang menggebu-gebu, dia menceritakan
semua tentang sang kakak, dan gue hanya mendengarkannya sambil sesekali
menganggukkan kepala, tersenyum.
Gue
tahu nama kakaknya. Gue pernah bertemu dengan kakaknya pada suatu kesempatan.
Hanya sekali bertemu. Pertemuan itu adalah pertemuan yang menyisakan perasaan
aneh di dalam hati. Ada getaran-getaran aneh yang terus memenuhi dada gue. Kata
teman-teman yang sering galau (melebihi kegalauan gue tentunya),
“Jika
kamu bertemu seseorang, kemudian jantungmu berdetak lebih kencang, maka dia
adalah jodohmu.”
Salah
satu teman gue iseng memberi komentar.
“Gue
sering kayak gitu. Kalo ada yang datang mau nagih hutang, gue pasti deg-degan
banget. Berarti jodoh gue banyak, dong?”
“Loh
kok bisa?”
“Soalnya
banyak yang nagih hutang ke gue, parahnya lagi mereka semua laki-laki.”
Gr…rrrr…
garing. Kami semua terkekeh.
Gue
merasakan getaran itu, saat pertama kali bertemu dengannya. Gue pernah memohon
kepada Tuhan agar dia menjadi jodoh gue. Sepertinya gue sudah menemukan
seseorang yang akan mengisi kekosongan hati. Tapi, hingga hari ini, gue nggak
pernah yakin dengan perasaan gue. Dalam tiap sujud, gue sering memanjatkan doa
kepada-Nya, agar gue tidak diperbudak oleh rasa yang aneh ini. Gue tidak ingin
jika perasaan ini membuat gue lalai. Gue malu pada Tuhan jika perasaan ini
membuat gue menjauh dari hadapan-Nya. Gue hanya bisa memohon kepada-Nya agar
diberi keberanian dan keyakinan untuk membuat keputusan besar dalam hidup.
Menikah,
siapa sih yang tidak ingin menikah?
“Gue
udah pengen banget nikah, Yan. Tapi belum ada yang mau. Seandainya gue jadi
diri lo, gue bakalan langsung lamar perempuan itu. Masalah diterima atau tidak
itu urusan belakangan.” Begitulah komentar seorang kawan. Tapi mengapa gue
tidak seberani itu? Apalagi sebenarnya yang gue ragukan?
Wahai penilai hati lihat batinku
Nyaris bernanah karna luka tersayat
Merana menantikan cinta dan kasih hidupku
Nyaris bernanah karna luka tersayat
Merana menantikan cinta dan kasih hidupku
Rahasia itu hanya Kau yang tahu
Namun aku tak mau jadi tuna cinta
Tuntun hatiku dalam sabar menanti jodohku
Namun aku tak mau jadi tuna cinta
Tuntun hatiku dalam sabar menanti jodohku
Sampai
hari ini, gue masih terus berdoa kepada Tuhan, agar dia menjadi jodoh gue. Semoga
suatu saat gue memiliki keberanian untuk mengutarakan rasa ini, dan semoga
suatu saat kami dipersatukan oleh-Nya. Amin #khusyu
Berbicara
tentang jodoh, gue pernah terpingkal-pingkal membaca humor doa minta jodoh.
Ya Tuhan, kalau dia memang jodohku,
Dekatkanlah…
Dekatkanlah…
Tapi kalau bukan jodohku,
Jodohkanlah…
Jodohkanlah…
Jika dia tidak berjodoh denganku,
Maka jadikanlah kami jodoh…
Maka jadikanlah kami jodoh…
Kalau dia bukan jodohku,
jangan sampai dia dapat jodoh yang lain, selain
aku.
Kalau dia tidak bisa di jodohkan
denganku,
Jangan sampai dia dapat jodoh yang lain,
Biarkan dia tidak berjodoh sama seperti diriku.
Jangan sampai dia dapat jodoh yang lain,
Biarkan dia tidak berjodoh sama seperti diriku.
Dan saat dia telah tidak memiliki jodoh,
Jodohkanlah kami kembali.
Jodohkanlah kami kembali.
Kalau dia jodoh orang lain,
Putuskanlah! Jodohkanlah denganku.
Putuskanlah! Jodohkanlah denganku.
Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain,
Biar orang itu ketemu jodoh dengan yang lain,
Dan kemudian Jodohkan kembali dia dengan ku.
Biar orang itu ketemu jodoh dengan yang lain,
Dan kemudian Jodohkan kembali dia dengan ku.
“Amin…”[1]
Haha…
Tapi gue nggak pernah berdoa kayak gitu pada Tuhan.
Ada
lagi kegalauan gue yang lain (Kapan gue berhenti galaunya sih?). Pernah ada
wali murid yang bertanya,
“Ustad,
maaf. Saya mau nanya, tapi ini sedikit pribadi. Ustad sudah punya calon istri
belum?”
Jeng-jeng….Pertanyaan
ini pagi-pagi banget, gue nggak jadi ngantuk waktu membacanya. Gue membalas
pesan singkatnya.
“Belum,
Buk. Saya memang belum ada rencana untuk menikah.”
“Saya
punya seorang mahasiswi, dia kayaknya seumuran ama Ustad. Dia mahasiswi terbaik
saya. Ustad lahir tahun berapa?”
“Saya
lahir tahun 1989.” (gue nggak mungkin kan ngejawab kalo gue lahir di tahun
gajah? hehe)
“Kalo Ustad bersedia, saya bisa
bilang ke dia, siapa tahu jodoh ama Ustad.”
“Terimakasih, Buk. Tapi saya belum
mau menikah.”
Jawaban gue
nggak berhasil mengakhiri pertanyaan yang terus berlanjut ini.
“Nggak mesti harus langsung
nikah, Ustad. Dia juga mau melanjutkan S2 ke Thailand. Jadi dijalani dulu, kalo
cocok ya dilanjutkan. Kalo Ustad mau, baru saya akan bilang ke dia.”
Nah
loh? Pingsan gue. Jawaban gue tetap sama. Gue kira semua sudah berakhir begitu
saja. Tapi ternyata belum. Pada saat pengambilan laporan termin siswa
(kebetulan gue adalah wali kelas), ternyata wali murid yang tadi pagi sms ke
gue tidak bisa mengambil laporan progress report putranya, seseorang
diwakilkan untuk mengambilnya. Gue nggak banyak nanya, gue cuma menjelaskan
perkembangan putranya kepada perempuan yang mewakilkannya mengambil progress
report.
Siang
harinya, ada pesan singkat dari wali murid tersebut.
“Gimana
Ustad? Cocok, nggak?”
Sumpah,
gue langsung bingung. Apanya yang cocok? Gue bingung, galau, Krisdayanti ikutan
galau, tetangga gue galau, Presiden SBY malah lebih galau dari gue. #lostfocus
“Cocok
nggak dengan (gue lupa namanya siapa), dia yang mengambil laporan termin tadi.”
Jiannnn….jadi
yang ngambil laporan termin tadi itu adalah perempuan yang mau dikenalkan ke
gue? Lah mana gue tahu. Gue langsung nyengir seorang diri di kamar. Gue sempat
berusaha mengingat raut wajah perempuan yang tadi datang ke sekolah dan gue
gagal untuk mengingatnya haha.
“Maaf,
Buk. Saya tidak bisa.”
Permasalahan
pun berakhir. #elusdada
See?
Gimana nggak sering galau coba? Tapi memang dasar guenya aja yang super sering
galau. Apa-apa digalauin.
Gue
yakin bahwa jodoh seseorang itu tidak jauh dari seperti apa dirinya. Kalian
sering mendengar ada banyak orang yang ingin mendapatkan pasangan hidup yang shaleh/shalehah? Dengan harapan
kehidupan akan menjadi lebih baik jika mendapatkan pasangan hidup yang
shaleh/shalehah.
Pertanyaannya
adalah, sejauh mana seseorang itu mengoptimalkan keshalehan dirinya sendiri
tanpa menuntut orang lain yang notabene orang yang akan menjadi pasangannya
untuk menjadi seseorang yang shaleh/shalehah? Sementara dirinya jauh dari
keshalehan. Seseorang yang paham akan berusaha memperbaiki dirinya terlebih
dahulu, sebelum ia mencari seseorang yang shaleh/shalehah yang akan menjadi
pasangan hidupnya.
Gue sedang berusaha untuk
memperbaiki diri. Gue yakin seseorang yang akan menjadi jodoh gue juga sedang
berusaha memperbaiki dirinya. Hingga akhirnya kami akan dipertemukan di waktu
yang tepat, untuk membangun rumah tangga, meraih ridha Tuhan.
Tuhan,
rahasia itu hanya Engkau yang tahu. Satu hal yang ingin kupinta pada-Mu, tuntun
hatiku agar selalu sabar menanti jodohku.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan