“Nggak
usah bermimpi ketinggian, Nak. Nanti kalo nggak kesampaian bisa gila.” Suara
itu terngiang di benak Meko. Suara yang menyudutkannya berulang kali karena ia
memiliki mimpi yang tinggi. Tertulis jelas di dinding kamarnya, sebuah Negara
yang jauh dari jangkauannya. Australia, itulah Negara yang ingin ia kunjungi,
ingin ia jelajah, ingin ia taklukkan. Belajar ke Negeri Kangguru adalah mimpi
yang sudah sejak lama ia rajut. Negeri Kanguru, dengan segala macam
kehebatannya, dengan segala macam keragaman penduduknya, telah mampu
menaklukkan hatinya. Ia yakin bahwa suatu saat pasti bisa belajar disana.
“Bu,
apa salahnya jika aku bermimpi besar? Bukankah bapak selalu bilang bahwa selalu
ada hasil pada sebuah kesungguhan? Mengapa sekarang Ibu tidak pernah mendukung
mimpiku? Seharusnya Ibu memberiku semangat.
Bu
Aida hanya terdiam menatap wajah putra semata wayangnya, putra yang sekian
tahun menjadi teman hidupnya seorang. Jangan tanya suami, Bu Aida sudah tidak
ingin lagi mengingat lelaki yang dulu pernah ia panggil sebagai seorang suami.
Terlalu dalam luka yang menyayat hatinya, terlalu sakit rasa yang harus ia
tanggung. Dan sekarang, Meko menyebut-nyebut nama itu, nama yang sudah lama
ingin ia lupakan.
“Meko
ingin kuliah, Bu. Meko tahu bagaimana kondisi keluarga kita yang hanya
beratapkan rumah yang sudah reot, berlantaikan tanah, berdindingkan papan kayu
yang sudah rapuh. Tapi Meko percaya bahwa Tuhan akan memberikan kesempatan yang
sama kepada mereka yang sungguh-sungguh menggapai mimpinya.” Meko mencoba untuk
menenangkan kembali hatinya yang kecewa karena Sang Ibu tak pernah mendukung
keinginannya.
Jauh
di dalam hati Sang Ibu, Bu Aida sebenarnya mendukung sepenuhnya keinginan buah
hatinya. Tapi, dia tidak ingin melihat putranya kembali jatuh seperti
sebelumnya, saat ia dinyatakan tidak lolos seleksi beasiswa ke Australia. Ia
tidak ingin melihat putranya uring-uringan karena mimpinya tak kunjung digapai.
Ada iba yang menyeruak saat melihat muka murung putranya.
***
Tahun
ini adalah kali ketiga Meko memberanikan diri untuk menjadi satu dari sekian
banyak lulusan Sekolah Menengah Atas yang menjadi pendaftar beasiswa belajar ke
luar Negeri. Beasiswa dari Pemerintah Daerah sudah sejak lama ia incar, namun
setelah dua kali mendaftar, ia selalu gagal. Meko pernah jatuh sejatuhnya,
hingga akhirnya ia kembali bangkit dan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
anak kampung yang selama ini selalu dianggap sering membual dengan mimpi
besarnya itu bisa menggapai apa yang sudah diimpikannya sejak lama.
Meko
menatap lekat-lekat peta Negara Australia yang ada di meja belajar kamarnya. Negara
itulah yang membuatnya semangat menjalani hari menuju pantai harapan demi
menggapai mimpi. Victoria University dan Monash University adalah dua Universitas
yang ia idam-idamkan. Kedua uiversitas itu sama-sama berada di Melbourne,
Australia.
Australia
adalah Negara yang memiliki komitmen tinggi terhadap dunia pendidikan. Terbukti
dengan banyaknya pelajar Internasional yang belajar ke Negeri Kangguru
tersebut. Di Indonesia sendiri, ada beasiswa AusAID bagi mahasiswa Indonesia
yang ingin melanjutkan jenjang S2 dan S3.
Meko
sudah memasukkan semua berkas yang diperlukan, memasukkannya ke dalam map
berwarna coklat. Dengan mengucap bismillah, ia mengantarkan langsung
berkas-berkas itu ke dinas pendidikan di daerahnya. Pemerintah Daerah memang
sedang menyiapkan generasi penerus yang berkompeten, dengan cara memberi
beasiswa bagi lulusan SMA sederajat untuk belajar ke luar negeri dengan syarat
mereka akan kembali ke daerah demi membangun daerahnya sendiri.
***
Setelah
menunggu, pengumuman siapa saja yang lulus administrasi sudah diumumkan.
Setengah berlari, Meko menuju kantor dinas pendidikan, berharap ada namanya di
antara sekian nama yang dinyatakan lolos tahap pertama seleksi beasiswa ini. Di
hadapannya, ada banyak orang yang menangis, entah karena bahagia atau karena
sedih. Ada juga yang berteriak gembira saat tahu namanya lolos tahap pertama.
Meko
mempercepat langkah kaki mungilnya. Ia harus berdesak-desakan dengan peserta
lain yang memiliki badan yang lebih bongsor darinya. Setelah semua berangsur
pergi, barulah ia bisa melihat di papan pengumuman. Ia membaca satu persatu
nama-nama yang tercantum.
“Alhamdulillah,”
Seketika, Meko langsung sujud syukur saat melihat namanya di urutan ke 30. Itu
adalah namanya. Ia melihat kembali dengan cermat, memastikan bahwa itu adalah
namanya, dia tidak salah baca. Setelah berulang kali membaca nama itu, ia yakin
bahwa ia tidak sedang bermimpi, itu adalah namanya.
Tahap
pertama sudah berhasil ia lalui, tahap selanjutnya adalah wawancara dan tes
kemampuan Bahasa Inggris. Meko sudah berlatih sebaik mungkin agar bisa percaya
diri saat berhadapan dengan pewawancara dari pihak dinas pendidikan dan dari
kedutaan besar Australia. Meko juga sudah membuat list pertanyaan yang
biasa diajukan oleh pihak pemberi beasiswa. Ia sengaja bertanya kepada
teman-temannya yang sudah lolos seleksi beasiswa ini.
Dua
kali sudah Meko terjatuh, dan ia tidak ingin jatuh untuk yang kesekian kalinya.
Ia sudah memantapkan hati bahwa ini adalah tes terakhir yang ia lalui. Jika di
kali ini ia tidak berhasil lolos, maka ia akan berhenti mengejar mimpi itu.
Hari
ini akhirnya tiba, Meko sudah rapi dengan kemeja panjang berwarna putih, dasi
warna hitam, celana panjang berwarna gelap, dan sepatu hitam polos. Ia meminjam
pakaian itu dari tetangganya. Ia menanggalkan rasa malunya, demi meminjam
kepada tetangganya. Kemeja putih itu ia pinjam dari kawan lamanya, dasi hitam
ia pinjam dari sepupunya, sedangkan celana dan sepatu ia pinjam dari Bapak
Kepada Desa. Tuhan, aku sudah berusaha, sekarang semua kuserahkan padamu.
Setelah
menunggu sekian lama, Meko pun masuk ke dalam ruangan wawancara. Ia berjalan
mantap, tanpa gerogi sedikit pun. Ia melangkah penuh keyakinan bahwa ia sudah
menyiapkan semuanya dengan sebaik mungkin. Setelah memperkenalkan diri,
wawancara pun dimulai. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bisa dijawab dengan
baik olehnya. Sampai akhirnya pewawancara bertanya tentang alasannya ingin
belajar ke Australia.
“What motivate you to study in
Australia?”
Meko tersenyum mendengar pertanyaan
itu, pertanyaan yang sudah tidak asing baginya.
“There are three things that
motivate me to study in Australia. The first is its good education system,
especially when it is compared to that of Indonesia’s in general. Secondly, in
order for me to develop strong international network for my future career.
Third, to enhance mutual understanding between the people of Indonesia and
Australia being two closest neighbours in the region. Both Indonesia and
Australia, I believe, will maintain its important roles to ensure the stability
in the region.”
Setelah hampir satu jam lamanya, wawancara pun berakhir.
Pertanyaan terakhir yang diajukan adalah.
“If you are selected, you will
be in a group of very special Indonesians. How are you going to use your
privilege for the good of other not-very-lucky Indonesians?”
Meko kembali menjawab pertanyaan itu denga lancar.
“First, I can spare some of my
money from the allowance to help the needy. Second, I am willing to share my
knowledge to those who need but with limited financial resources for free.”
Setelah mengucapkan terimakasih, Meko menjabat tangan
kedua pewawancara di hadapannya.
***
Bu Aida memeluk erat putranya. Ini kali pertama ia memberi
dukungan di hadapan putranya. Selama ini ia hanya mendukung dari balik
ketidaksetujuannya akan hal ini. Ia tahu bahwa putranya memang pantas
medapatkan beasiswa ini.
“Bu, doakan Meko. Empat tahun bukanlah waktu yang
sebentar. Doakan semoga aku sabar menghadapi berbagai macam cobaan hidup di
Negeri orang.
Bu Aida kembali meneteskan air mata untuk yang ke sekian
kalinya. Penumpang sudah diminta untuk masuk ke dalam pesawat. Pesawat yang akan
membawa putranya ke Negeri Kangguru, negeri impian yang sejak lama tertanam di
hati putranya.
Meko masuk ke dalam pesawat, mencari nomor kursi yang
sesuai dengan nomor yang ada di boarding pass miliknya. Setelah duduk, Meko
kembali mengenang bagaimaa perjuangannya hingga bisa mendapatkan beasiswa ini.
Ia selalu percaya bahwa Tuhan selalu mendengar doa-doa hamba-Nya.
Dari Jakarta, pesawat terbang ke Singapura, transit
beberapa jam kemudian barulah melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Setelah
menempuh jarak yang cukup jauh, pesawat akhirnya mendarat dengan baik di Bandar Udara Internasional Melbourne, yang
juga dikenal sebagai Bandar Udara Tullamarine, ini
adalah bandar utama yang
melayani kota Melbourne dan bandara tersibuk kedua di Australia.
Udara
dingin menusuk kulitnya, ia tersenyum bahagia, akhirnya mimpi itu berhasil ia
capai. Perjuangan pun kembali didengungkan, ia berjanji akan belajar sebaik
mungkin dan akan berbakti kepada bangsanya dengan ilmu yang ia dapat.
Melbourne,
here I’m.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan