“Aku
mencintaimu,” ucapku dalam diam.
Aku
selalu mencintai semua tentangmu; renyah tawamu saat berada di hadapanku,
senyum manismu yang selalu membuatku ingin selalu berada di dekatmu,
perhatianmu yang tak pernah lelah mengingatkanku untuk terus mengawali hari
dengan senyuman. Aku mencintaimu dulu, sekarang, dan nanti.
Aku
mencintaimu meski engkau tidak pernah tahu bahwa hatiku sering berteriak
memintamu untuk membalas cintaku. Aku mencintaimu meski rasaku kadang kaku saat
menyebutmu sebagai cintaku. Aku mencintaimu, meski hanya dalam diamku.
Wahai
hati yang sedang dilanda cinta, mengapa engkau selalu menyebut namanya dalam
diam? Tak bisakah engkau membantuku berucap, mengatakan apa yang sebenarnya ada
di dalam lubuk hatiku yang paling dalam? Bahwa aku mencintainya sejak lama dan
tak akan pernah berhenti mencintai.
“Hana,
kok ngelamun?” Fajar duduk bersila di hadapanku, layaknya sedang berhadapan
dengan seorang raja, menunggu petuah dari sang raja. Aku tersenyum menatap mata
itu, matanya yang hitam, alisnya yang hitam dan tebal. Aku memandangi garis
wajahnya, bibirnya, kedipan matanya. Aku hapal dengan baik semua itu.
“Hey…kamu
lagi ngelamunin apa, sih?” Fajar menepuk pundakku halus, penuh dengan
kehangatan.
“Aku
lagi berpikir, seandainya nanti kita sudah berpisah, akankah ada kebersamaan seperti
ini? Menanti senja, menatap matahari yang terbenam, mengawali pagi dengan
sepiring penuh gudeg Jogja. Aku pasti akan merindukan kebersamaan ini.”
“Cieee…romantis
bener. Kesambet apa, Neng?” Fajar tertawa mendengar jawaban yang aku sendiri
bahkan baru sadar akan apa yang baru saja terucap dari kedua bibirku. Itukah
rasa yang sebenarnya ingin kuucapkan padanya? Tapi mengapa aku tidak pernah
benar-benar berani mengatakan bahwa “Aku mencintaimu, Fajar.”
“Aku
juga pasti akan merindukan kebersamaan ini.” Jawabnya sambil memakai kembali
jaket hitam ke tubuhnya.
Kami
berjalan beriringan menelusuri jalanan setapak di sudut kota ini, kota yang
selalu membuatku ingin selalu berada di sisinya. Jogja, kotaku, kotanya juga.
Meski akhirnya kami harus terpisah karena yang namanya pekerjaan. Fajar di
Jakarta, kota sibuk yang membuatnya sering stres. Sedangkan aku, aku memilih
Malang menjadi kota cinta keduaku. Aku mencintai Malang sama seperti aku
mencintai Jogja.
“Kapan
balik ke Jakarta?”
“Besok.”
“Kamu
kapan ke Malang?”
“Lusa”
Duhai
hati, mengapa engkau sering berteriak di dalam sana? Meneriakkan cinta yang
begitu dalam kepada lelaki yang sekarang berada di sampingku. Mengapa aku tidak
pernah berani untuk mengatakan bahwa ada cinta dalam kebersamaan ini.
Aku
ini wanita, Aku tidak memiliki keberanian untuk menyatakan cinta lebih dulu
kepada seorang lelaki yang kucintai. Tak pernahkah ia menyadari bahwa ada cinta
dalam setiap perhatianku? Tak pernahkah ia menyadari bahwa ada sayang dalam
tiap rindu yang selalu membuncah tiap kali pertemuan lama tak terjadi?
“Kamu
harus jujur, Hana. Kamu tidak bisa terus-terusan seperti ini. Setidaknya kamu
harus tahu, apakah Fajar juga mencintaimu.” Begitulah komentar salah satu
sahabatku yang selalu menjadi tempatku untuk berbagi kegelisahan hati.
“Tuh,
kan. Kamu ngelamun lagi. Kamu aneh. Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun.”
Fajar mencubit punggungku dan aku hanya tersenyum menatap wajah itu. Wajah yang
selalu hadir dalam hidupku. Ah Tuhan. Mengapa harus ada cinta dalam kebersamaan
ini?
“Coba
lihat Kakek dan Nenek yang ada di ujung sana.” Fajar menunjuk ke sudut bangunan
tua. Aku mencoba untuk memerhatikan Kakek dan Nenek yang sedang duduk
bersebelahan, saling menatap dan mengusap peluh yang ada di wajah mereka. Mesra.
“Aku
berharap bisa memiliki wanita yang akan menemaniku hingga akhir usia
memisahkan,” ujarnya pelan, namun terdengar jelas di telingaku.
Lelakiku,
tak pernahkah engkau sadar bahwa ada cintaku untukmu?
***
Pelan,
kusebut namamu dalam doaku. Kuucap pinta kepada Dia yang Mahacinta.
Yakin,
kuyakinkan hatiku untuk memilihmu, meski entah kapan rasaku dan rasamu akan
menyatu.
Rindu,
kutahan rindu yang terus menyesakkan dadaku, saat kita terpisahkan oleh jarak.
Tuhan,
diakah jodoh yang telah Engkau janjikan untukku?
Haruskah
cinta dinyatakan dengan kata-kata indah penuh kalimat puitis? Haruskah cinta
diutarakan kepada seseorang yang kita cintai? Aku tidak mampu untuk melakukan
itu. Aku hanya bisa menyatakan cintaku melalui sikapku, semoga akhirnya dia
mengerti bahwa aku mencintainya sejak lama dan akan selalu mencintainya.
Kala
jarak memisah rindu
Kala
hati berucap rindu
Kala
senja mengukir kisah
Kala
angin membawa cerita
Kala
pagi menyapa kasih
Kala
waktu menjawab pinta
Kala
Tuhan merestui rasaku
Semoga
kita akan bersama, selamanya cinta.
Aku tidak pernah bermimpi menjadi seorang pengagum, bahkan kupikir aku
sangat amatir dan norak. Kau benar, aku sudah sangat menganggu dan nekat luar
biasa. Jutaan kali keluar kata dalam benakku yang mengutuk perbuatan bodoh ini.
Jutaan kali aku memangkas rasaku padamu, namun jutaan kali pula ia kembali
tumbuh setiap kau hadir di hadapanku. Jutaan pula rasa berdosa dan
pengkhianatan terurai padanya yang telah Rabb tetapkan padaku.
Padamu aku malu, terlebih pada-Nya nanti ketika bertemu, duhai jauh
lebih memalukan rasa-rasanya aku ini di hadapan Tuhanku. Karena itu, setelah
ini aku akan berhenti sepenuhnya dari mengejarmu, aku tahu Tuhan hanya sedang
mendiamkanku dalam kubangan, dan disana aku diminta-Nya untuk berpikir panjang.
Kau tahu, aku pernah pula membencimu. Mengapa harus kau yang tak
terjangkau? Tapi kau dan aku sudah tahu jawabannya, bahwa cinta adalah anugerah
yang tak bisa ditolak. Kau benar, aku salah memahami satu ujian ini, aku belum
selesai, doakan semoga aku lulus.
Aku tidak tahu ini cinta versi apa, kau sebut versi pragmatis atau versi
gombal pun tak apa. Aku tak tahu kapan kita bisa kembali berjumpa. Yang ku tahu,
kau pernah ada dalam salah satu lembaran mimpi yang masih jauh untuk kuraih.
Duhai, seperti katamu. Allah lebih dekat keberadaan-Nya padaku
Duhai, aku akhirnya tahu mana yang harus kusambut
Aku akan menyucikan diriku
Kembali menata rapi hati dan meredam luka perih ini
Semoga waktu kembali merekatkan yang retak dan Allah mengelusnya dengan
lembut hingga hilang sempurna. Aku juga berterima kasih, karena kau telah mengenalkan cinta-Nya padaku.
Suatu saat, hanya jika Allah mengizinkan, kau akan tahu tentang cintaku.
kenapa pilihan kotanya itu ada Jogya sama Malang, itu kota2kuuh #sok protes ahaha ;p
ReplyDeletehaha mungkin karena habis baca postingan tentang Malang di blogmu wkwk
DeleteKalian berdua serasi, amin. Eh, tapi boleh add Blogspot Saya loh di http://sipecandubuku.blogspot.com/ Terimakasih.
ReplyDeletehaha siap
Delete