Aku menoleh untuk kesekian kalinya, melihat raut wajah Ayah, Ibu,
dan keluarga besar yang menghantarkanku ke Bandara Fatmawati Bengkulu.
Wajah-wajah mereka kutatap satu persatu, ada air mata yang basah di ujung mata
mereka, ada lambaian tangan yang ditujukan untukku. Aku tetap melangkah,
kemudian tersenyum kepada mereka semua. Aku pergi untuk kembali, bukan pergi
untuk selamanya. Aku pergi dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT., untuk
menuntut ilmu.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan lupa
shalat. Inggris adalah Negara yang jauh dari tanah air. Pegang teguh agamamu,
Insya Allah semua akan baik-baik saja.” Begitulah pesan Ayah sebelum melepas
kepergianku. Ayah tidak banyak bicara, hanya memelukku, kemudian meyakinkanku
bahwa inilah jalan terbaik yang memang sudah Allah SWT., takdirkan. Aku akan
belajar di sebuah Negara yang telah lama ingin kudatangi. Aku selalu menulis di
daftar mimpiku, bahwa aku akan belajar ke luar negeri. Banyak yang mencibirku
karena bermimpi terlalu tinggi, tapi Ayah selalu meyakinkanku bahwa tidak usah
malu untuk bermimpi.
Aku sudah di dalam pesawat menuju Jakarta.
Aku hanya seorang diri, tidak ada siapa-siapa yang menemani. Beasiswa Pemerintah
Daerah yang kuperoleh hanya untukku seorang. Tidak ada biaya untuk keluarga
yang ingin menghantarkanku pergi. Aku hanya sendiri. Tapi, sendiri tidak
menyurutkan niatku untuk tetap pergi belajar. Bukankah aku sudah menyiapkan
diri untuk semua ini? Aku sudah siap terpisah untuk sementara waktu dengan
orang-orang yang kucintai. Aku sudah siap untuk menahan getar-getar rindu yang
akan terasa menyesakkan dada saat harus menunggu sekian tahun untuk bisa
kembali bersua dengan Ayah, Ibu dan mereka yang kucintai. Aku sudah siap untuk semua
itu.
Setelah kurang lebih satu jam mengudara, aku
sampai di Jakarta dan akan melanjutkan penerbangan berikutnya. Setelah beberapa
saat menunggu, penumpang dipesilahkan masuk ke dalam pesawat menuju Singapura.
Kami akan transit di Singapura. Dari Singapura, kami melanjutkan perjalanan
menuju Amsterdam, transit beberapa jam di Amsterdam, kemudian melanjutkan
perjalanan ke Newcastle.
Perjalanan dari Indonesia ke Newcastle adalah
perjalanan bersejarah dalam hidupku. Ini adalah kali pertamanya aku merasakan
betapa gugupnya diriku saat terbang untuk pertama kalinya. Terbang jauh dari
kampung halaman menuju Negara yang akan menjadi tempatku belajar selama empat
tahun ke depan.
“Inggris itu dimana, Nak?” begitulah
pertanyaan Ibu saat tahu bahwa aku lulus tes beasiswa dari Pemerintah Daerah.
Aku menunjukkan letak Negara Inggris di peta yang ada di kamarku. Kemudian menjelaskan
kepada Ibu bahwa aku akan belajar di Newcastle yang merupakan sebuah kota di Tyne and Wear, Inggris.”
Ibu hanya berdecak kagum saat tahu anaknya
akan pergi belajar seperti yang selama ini sering didambakannya. Jangankan ke
luar negeri, Ibu bahkan tidak pernah pergi dari Bengkulu. Ibu setia menetap di
kampung halamanku yang ada di pelosok Propinsi Bengkulu. Desaku jauh dari
keramaian. Sejuk dengan lambaian pohon kelapa yang mengelilingi rumahku.
Aku sudah sampai di Newcastle, dari Air Port aku menaiki sebuah taksi yang
akan membawaku ke rumah yang akan menjadi tempat tinggalku selama di sini.
Sebelum berangkat, aku sudah diberitahu oleh pihak Pemda tentang rute
perjalanan, rumah yang akan menjadi tempat tinggalku, tempat khursus Bahasa
Inggris sebagai persiapan sebelum mulai kuliah dan biaya hidup selama di Newcastle.
Semua sudah disiapkan.
Taksi membawaku menuju alamat yang ada di
selembar kertas di hadapanku. Sempat lama mencari-cari alamat yang ada, karena
supir taksi salah menurunkanku. Dengan Bahasa Inggris seadanya, aku mencoba
untuk bertanya kepada siapa saja yang lewat di hadapanku. Aku nyasar dan tak
tahu dimana rumah yang akan menjadi tempat tinggalku. Aku lelah, menarik koper
berukuran besar dan menyandang tas punggung yang beratnya lebih dari sepuluh
kilogram. Tubuhku yang kecil ini kontras jika dibandingkan dengan barang
bawaanku yang menggunung.
Ya Allah, beri aku kemudahan.
Setelah bertanya ke beberapa orang yang
kutemui, akhirnya aku sampai ke rumah yang akan menjadi tempat tinggalku selama
di Newcastle. Seorang Ibu keturunan Cina menyambut kedatanganku.
“Are
you Diana from Indonesia?” ia menanyaiku saat pertama kali membukakan pintu
untukku.
“Yes,
I’m Diana From Indonesia.” Jawabku sambil mengatur nafas agar lebih tenang
dan tidak nervous di hadapannya.
Ya Allah, aku sudah sampai di tempat ini,
tempat dimana aku akan belajar. Terbayang wajah Ayah dan Ibu di dalam benakku.
Terbayang wajah kakak dan adikku yang sempat menangis melepas kepergianku. Terbayang
wajah sahabat-sahabatku yang selalu memberiku support meski aku hanyalah anak pelosok negeri. Aku mulai
merindukan mereka semua, meski baru saja kujejakkan kakiku di atas salju yang
dinginnya menusuk kulitku.
Aku menatap hamparan salju di hadapanku.
Dingin.
“Ayah, sekarang Diana sudah merasakan
dinginnya salju. Diana juga sudah menulis nama Ayah di salju belakang rumah
tempatku tinggal.” Begitulah ceritaku beberapa hari yang lalu kepada Ayah
melalui telpon. Ayah hanya tertawa dan ikut bahagia.
“Bagaimana dengan teman-teman yang ada di sana?
Apa mereka semua baik padamu?” Tanya Ayah penuh khawatir.
“Semuanya baik, Yah. Mereka semua sangat
peduli dan berbaik hati memberitahuku apa saja yang ingin kuketahui tentang Newcastle.”
3 tahun
kemudian
Di tengah dingin yang menyelinap masuk ke
kamarku, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak kukenal dengan kode Negara
Indonesia. Aku mengancingkan jaketku, agar dingin tidak menyiksa pertahanan
tubuhku, kemudian menjawab panggilan telpon yang masuk.
Ucapan salam sambil terisak terdengar di
ujung sana. Aku mengenal suara itu. Suara Kak Dani. Tidak ada ucapan yang
terdengar, hanya salam dengan suara yang bergetar. Hatiku mulai diliputi oleh
perasaan yang tidak enak. Ada apa sebenarnya? Mengapa Kak Dani menangis? Aku
tidak pernah melihat Kak Dani menangis. Setahuku, Kak Dani adalah laki-laki
yang tegar dengan jalan hidup kami yang tidak mudah. Meski kemiskinan menjadi
teman hidup kami, tapi Kak Dani selalu mengajarkanku untuk berani bermimpi
besar. Apa yang menyebabkan Kak Dani menangis?
“Kak, ada apa?”
Ia mencoba mengatur nafasnya yang tak
menentu. Dengan terbata-bata, Kak Dani mulai bicara.
“Aaa..yahh…”
“Ada apa dengan Ayah, Kak?”
“Aa..yah sudah tiada.”
Duniaku terasa gelap, air mata langsung
membasahi kedua bola mataku, merembes ke dalam hatiku. Aku menangis. Aku tidak
mampu berucap lagi, hanya ada air mata duka yang terus menitik ke pipiku. Kudengar
suara Ibu di ujung telpon.
“Nak, ini Ibu. Kamu jangan khawatir, ya, kamu
harus tetap semangat belajar. Tepati janjimu pada Ayah. Kejarlah impianmu
setinggi mungkin. Meski tanpa Ayah, Ibu percaya Allah SWT., akan membimbing
kita semua menjadi hamba-Nya yang sabar dalam menghadapi cobaan hidup.”
Aku tahu Ibu hanya pura-pura untuk tegar di
hadapanku. Aku tahu bahwa sebenarnya Ibu mencoba untuk menahan tangisnya. Aku tahu
bahwa Ibu sebenarnya mengkhawatirkan semangat belajarku yang mungkin akan turun
saat tahu bahwa laki-laki pejuang hidupku itu telah kembali ke sisi-Nya.
Tuhan,
Tiga tahun yang
lalu ternyata menjadi pertemuan terakhirku dengan Ayah
Tiga tahun yang
lalu ternyata menjadi pelukan terakhir Ayah untukku
Tiga tahun yang
lalu ternyata senyum terakhir Ayah yang mampu kulihat
Tiga tahun yang
lalu ternyata adalah perpisahan antara diriku dan Ayah
Ayah, aku memang tidak bisa kembali ke
sisimu, tidak bisa hadir di acara pemakamanmu, tidak bisa memelukmu untuk yang
terakhir kalinya, tidak bisa mencium keningmu untuk yang terakhir kalinya,
tidak bisa menyentuh pusaranmu yang basah. Aku memang tidak bisa, Ayah. Tapi,
ada doa yang kupanjatkan pada Allah SWT., dalam tiap sujudku. Ada doa yang
kurangkai khusus untukmu sebagai pintaku kepada-Nya, semoga Engkau di tempatkan
di sisi yang layak di sisi-Nya.
1 tahun kemudian
Penerbangan dari Newcastle terasa begitu
cepat. Transit di Amsterdam, Singapura, Jakarta, kemudian melanjutkan
penerbangan dengan pesawat lain ke Bengkulu. Sekian jam perjalanan tapi terasa
begitu singkat. Rinduku pada keluargaku sudah menggunung. Empat tahun lamanya
aku belajar di Newcastle, empat tahun pula rinduku semakin menggunung dan tak
terbendung. Hari ini, rinduku akan berlabuh. Hari ini, akan kulihat kembali
wajah-wajah mereka yang kucintai.
Turun dari pesawat, aku langsung menuju
tempat pengambilan barang. Aku bergegas ke pintu keluar, dan mencari
wajah-wajah yang kukenali. Aku langsung melihat Ibu melambaikan tangannya
memanggilku untuk segera mendekapnya. Setengah berlari, kudekap hangat tubuh Ibu
yang semakin ringkih saja. Garis-garis kehidupan tampak jelas dari wajah Ibu yang
semakin menua. Aku menciumi wajahnya yang telah lama kurindukan. Aku memeluknya
erat, erat sekali seolah tidak ingin terpisahkan lagi.
Aku hampir lupa dengan Kakak, Adik, dan juga
saudara-saudaraku yang juga ikut menyambut kedatanganku. Aku menyalami mereka
satu persatu. Sambutan hangat mereka menghilangkan lelahnya perjalanan dari Newcastle
ke Indonesia. Senyum dan tawa mereka memberi semangat bagiku untuk tetap hidup
dengan mimpi dan harapan.
Lima jam perjalanan dari air port ke kampung halamanku terasa begitu lama. Aku ingin segera
menjenguk Ayah di tempat istirahatnya yang damai. Aku ingin bercerita banyak
pada Ayah. Ibu, Kaka dan juga adik-adikku ikut serta menemani langkahku yang
sengaja kupercepat.
Ayah, aku kembali untukmu. Diana sudah
menyelesaikan pendidikan sarjana dengan nilai terbaik, Yah. Ayah, maafkan Diana,
karena baru bisa kembali. Aku berjanji akan menjaga Ibu dengan baik, seperti Ayah
menjagaku.
Ayah, bahagia ini kupersembahkan untukmu. Bahagiaku
karenamu. Aku bisa seperti ini berkat doamu. Aku ingin ayah tahu bahwa aku
merindukanmu. Aku ingin memelukmu, aku ingin berbagi bahagia ini bersamamu.
“Yang tabah, Nak.” Ibu mengelus pundakku,
kemudian menghapus air mataku dengan punggung tangannya.
“Doakan Ayah, semoga ia tenang di alam sana.”
ujar Ibu menguatkanku.
Di samping pusaran Ayah, kami berpelukan,
mencoba untuk tabah dengan jalan hidup yang Ia takdirkan.
Ayah, Aku Ingin
berbagi bahagia denganmu
Merasakan
jabatan tanganmu, melihat senyuman kasihmu
Aku ingin
dipelukmu, meneteskan air mata bahagia
Mendengarmu menyanjungku
Aku ingin
membanggakanmu
Di saat semua
ada di sisiku, di saat semua ada berbagi denganku
Tapi kau tak ada
Ayah, Aku merindukanmu
Aku menyayangimu
selalu
Bahagia ini ku
persembahkan untukmu, untukmu Ayah
Diana sayang
Ayah, berbahagialah Ayah di Surga. Amin
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan