“Aku jatuh cinta, bro,” ucapku sambil menatap
langit malam yang gelap.
“Ya, bagus, itu namanya lo normal.” Jawab Raihan
sambil memainkan gadget di tangannya.
“Tapi, Aku jatuh cinta ama salah satu muridku
sendiri.”
“What? Are
you sure?” Raihan mengambil posisi lebih dekat di hadapanku, kemudian meraba
keningku seolah-olah memastikan bahwa aku benar-benar dalam keadaan sadar
mengucapkan itu semua.
“Iya, Aku jatuh cinta ama Hawa, salah satu
murid di kelas 9.”
“Ah, gawat ni orang. Bisa-bisa lo kena labrak
ama orangtuanya kalo sampe ketahuan.”
“Lo itu, bisanya cuma nakut-nakutin doang. Aku
kan nggak ngelakuin apa-apa ama tu anak, Aku cuma bilang tentang apa yang Aku
rasain sekarang. Ah, lo itu jadi sahabat nggak ada pekanya.”
“Iya, deh Pak Guru, maaf. Tapi, menurut gue
aneh aja gitu, kok bisa-bisanya lo jatuh cinta ama murid sendiri yang
jelas-jelas beda umurnya jauh banget. Setidaknya umur lo dengan tu anak terpaut
10 tahun lebih. Lo bayangin, 10 tahun. Emang mau lo menunggu dia 10 tahun lagi?”
Raihan malah ceramah, bukannya malah menenangkanku, dia malah tambah
menakutiku.
“Aku yakin, Hawa juga merasakan hal yang
sama. Dia juga jatuh cinta padaku. Dan aku siap jika harus menanti cintanya
hingga 10 tahun atau bahkan seumur hidupku.”
“Hah? Kok lo bisa seyakin itu.?”
“Aku bisa tahu itu dari sorot matanya, dari
caranya berbicara denganku, dari caranya menatapku tiap kali aku masuk ke
kelas, dari caranya memerhatikan gerak-gerikku. Ada beberapa anak yang
malu-malu mengatakan bahwa Hawa jatuh cinta padaku.”
“Gue nggak tahu harus kasih nasehat apa ama
Lo, yang jelas, Lo bukan anak kecil lagi, gue rasa Lo tahu mana yang baik dan
tidak. Coba Tanya lagi hati Lo, apakah Lo benar-benar mencintainya.”
Aku dan Raihan diam, membincangi malam dengan
hati kami sendiri-sendiri. Gelap malam bergelayut di atas sana, bertemankan
bintang dan sang rembulan yang bersinar berdampingan. Sedangkan hatiku, terus
menyebut namanya, nama seorang siswa yang satu tahun terakhir memenuhi
kekosongan hatiku. Diakah seseorang yang Tuhan kirimkan untuk menggantikan rasa
kehilangan yang selama ini ada di hatiku? Tapi mengapa harus terjadi perbedaan
umur yang sekian jauh antara aku dan dirinya?
“Kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta
atau tidak jatuh cinta, Adam. Cinta itu datang dengan sendirinya. Cinta adalah
rasa yang dianugerahkan Tuhan untuk manusia dan itu adalah wajar. Kamu tidak
bisa memilih kepada siapa hatimu akan terpaut. Itulah cinta, kadang tak
memerlukan alasan untuk mencintai seseorang.” Kak Rama sok puitis menasehatiku.
Di luar sekolah, anak-anak kelas 9 sering
memanggilku “Kakak”. Aku nyaman dengan panggilan itu.
Selembar kertas terselip di buku peganganku. Ada
sebuah pesan dari Hawa.
“Kak, nanti
siang bisa ketemu, nggak? Hawa ingin bicara.”
Membacai pesan singkat darinya saja aku sudah
merasa bahagia, apalagi bertemu dengannya. Ah Tuhan, apa yang harus kulakukan? Haruskah
aku mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku benar-benar mencintainya? Haruskan kukatakan
bahwa aku benar-benar ingin hidup bersamanya? Atau aku harus menunggu hingga
waktunya tepat? Saat dia bisa mengerti akan cintaku? Tapi aku yakin dia juga
merasakan hal yang sama.
10 Maret 2003
Di tepian sawah yang hijau, sambil menatap
pepohonan yang rimbun di Kaki Gunung Slamet, aku dan Hawa akhirnya bertemu,
mencoba menerka rasa yang ada di hati kami masing-masing. Kami tidak banyak
bicara, hanya berjalan beriringan, sambil merasai sejuknya udara yang berembus.
Tuhan, inikah cinta?
Hawa duduk dengan jarak kurang lebih dua
meter dariku, sambil membasahi kakinya dengan dinginnya air yang mengalir dari
kaki Gunung Slamet. Aku duduk berseberangan dengannya. Aku pun mulai
memberanikan diri untuk bicara.
“Hawa, Kakak ingin mengatakan sesuatu.”
“Hawa sudah tahu apa yang Kak Adam maksud…”
Hawa ternyata sudah tahu tentang cintaku.
“Hawa pun merasakan hal yang sama. Tapi, Papa
dan Mama tidak akan setuju, Kak. Hawa masih terlalu kecil untuk merasakan cinta
yang tulus dari Kak Adam.”
Hawa ternyata bijaksana dalam menyikapi rasa
yang bergejolak di hatinya.
“Hawa sengaja mengajak Kak Adam bertemu,
karena Hawa ingin Kakak tahu bahwa Hawa pun memiliki cinta yang tulus untuk Kak
Adam. Tapi, ada satu syarat yang ingin kupinta dari Kakak. Apakah Kakak
bersedia memenuhi syarat yang Hawa ajukan?”
Aku hanya mengangguk, mencoba menahan rasa
haru yang sedari tadi memenuhi rongga dadaku, mencoba untuk menahan detak
jantung yang semakin tak menentu. Kata Ayah,
“Jantungmu akan berdetak kencang saat bertemu
dengan belahan jiwamu.” Dan sekarang aku merasakan itu.
“Umur Kak Adam 10 tahun lebih tua dariku,
Hawa baru memasuki umur 14 tahun. Dan Kakak pasti paham maksudku. Jika memang
Kakak tulus mencintaiku, maukah Kakak menungguku tumbuh menjadi wanita dewasa? Hingga
usiaku genap 24 tahun? Itu artinya, Kakak harus menunggu 10 tahun lagi untuk
bisa bersamaku.”
Nafasku terasa sasak, detak jantungku semakin
tak menentu. Aku melihat bulir-bulir itu jatuh di pipi Hawa, kemudian ia
melanjutkan ucapannya.
“10 tahun lagi, kita akan bertemu kembali di
sini, di bawah kaki Gunung Slamet.”
“Hawa….Hawa…Hawa…” terdengar suara seseorang
memanggil nama Hawa.
“Itu pasti Papa, Kak. Hawa harus pergi,
jangan sampai Papa tahu tentang pertemuan ini.” Belum sempat kami mengucapkan
perpisahan, Papa Hawa sudah melihat kebersamaan kami dan mengucapkan sumpah
serapahnya tentang pertemuan yang tak patut ini.
“Selaku Guru, seharusnya Anda bisa
mengajarkan kebaikan kepada anak didik, bukan malah menjalin hubungan tak
senonoh seperti ini. Mulai hari ini, jangan pernah temui Hawa lagi, dan saya
akan melaporkan prilaku Anda kepada pihak sekolah, biar semua orang tahu Guru
macam apa Anda sebenarnya.”
Aku memilih untuk tidak menjawab sumpah
serapahnya, aku memilih diam. Aku tidak ingin kemarahannya semakin meluap-luap.
Aku tahu diri, aku salah. Tapi tidak ada yang salah dengan hatiku, aku memiliki
cinta untuk Hawa, meski perbedaan usia menjadi momok menakutkan bagi mereka
yang tidak mengerti betapa aku mencintai Hawa.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi
bertemu dengan Hawa, dia ikut Papanya pindah ke Kalimantan. Sedangkan aku,
masih setia menemani Gunung Slamet yang dikelilingi hijaunya pepohonan. Aku berjanji,
aku akan menanti cinta ini hingga 10 tahun yang akan datang. Aku berjanji akan
menanti cinta Hawa datang menemuiku kembali di Kota Satria ini.
Purwokerto, Maret 2013
Bapak sudah tidak lagi ada di sisiku, ibu juga sudah tidak lagi
bersamaku. Bapak dan Ibu sudah kembali ke sisi Tuhan. Aku sendiri menempati
rumah ini, Kak Rama sudah pindah ke rumah miliknya sendiri, bersama istri dan anak-anaknya.
Umurku sudah menjadi bahan ejekan tetangga, panggilan “bujang lapuk” pun melekat pada diriku. Usiaku sudah tidak lagi
muda, cemoohan sering terdengar di telingaku, tentang umurku yang sudah 34
tahun tapi belum menikah.
“Apa lagi yang kamu tunggu, Nak Adam? Usiamu sudah
hampir memasuki kepala empat, dan Kamu masih memilih untuk sendiri.” Pak Tua
yang tinggal di depan rumahku sering bertanya kapan aku akan mengakhiri
kesendirian ini.
“Adam, kamu masih yakin dengan cintamu pada
Hawa? Aku mulai khawatir dengan keyakinan cintamu. Apa kamu masih yakin Hawa
akan kembali ke sini, menemuimu setelah 10 tahun lamanya kalian berpisah? Kalian
berdua tidak pernah bertemu sejak kejadian 10 tahun yang lalu. Kalian tidak
pernah berkirim surat.” Raihan sesekali berkunjung ke rumahku, mulai khawatir
dengan keyakinan cintaku yang masih sama seperti 10 tahun yang lalu.
“Aku yakin dengan perasaanku, Han.”
Raihan hanya mengangguk.
“Bagaimana keadaan istri dan anakmu?”
“Alhamdulillah baik, Dam.”
Raihan masih menjadi sahabat terbaikku.
Entah sudah berapa kali Kak Rama memarahiku,
tentang kesetiaanku menunggu Hawa kembali, tentang kesetiaanku untuk menepati
janjiku bertemu dengannya di kaki Gunung Slamet, di tengah hamparan sawah yang
menghijau.
“Kamu bukan anak kecil lagi, Dam. Seharusnya kamu
sudah bisa berpikir dewasa, memikirkan apa yang terbaik untukmu. Malu pada
tetangga, mereka semua mencibirmu karena masih belum menikah di usia yang sudah
tidak lagi muda.”
Setiap kali Kak Rama marah, aku hanya mencoba
menjadi pendengar yang baik, tanpa banyak komentar.
“Aku tahu dengan apa yang kalakukan, Kak. Aku
tahu konsekuensi yang akan kuterima jika memang Hawa tidak datang menemuiku. Aku
paham semua itu. Tapi kali ini, izinkan aku menepati janjiku pada Hawa,
menemuinya. Jika memang Hawa tidak datang, terserah Kakak, aku amu dijodohkan
dengan wanita pilihan Kakak. Aku siap untuk itu, Kak.” Itulah jawaban terbaikku
yang akhirnya melunakkan hati Kak Rama.
Purwokerto, 10 Maret 2013
Getaran ini masih sama dengan getaran yang kurasa 10 tahun yang
lalu. Nervous ini masih sama dengan
apa yang kurasa 10 tahun yang lalu. Yang membedakan hanyalah kadar kecintaanku
kepada Hawa yang semakin besar. 10 tahun tidak bertemu, aku semakin mencintainya.
Dan hari ini, aku duduk di pinggir sawah ini, menanti kedatangan wanita yang
telah lama kucintai. Aku akan menanti cinta yang telah lama pergi
meninggalkanku.
Sedari pagi aku sudah tidak bisa tenang,
menunggu pelangi hatiku datang menemuiku. Hingga matahari berada di atas
kepalaku, Hawa tak kunjung datang. Raihan dan Kak Rama beberapa kali mengirim
pesan singkat.
“Hawa sudah datang belum?”
“Belum, Han.”
Ada juga beberapa teman yang terkesan
mencibirku.
“Adam, ngapain lo duduk di tepian sawah siang
hari gini. Mendingan balik ke rumah.”
Penantian cintaku telah lama menjadi
perbincangan hangat di kantor. Aku tidak lagi menjadi guru. Sejak berpisah
dengan Hawa, aku berhenti menjadi guru.
Matahari perlahan kembali ke peraduannya. Namun
aku masih setia menanti kedatangan Hawa. Aku tetap percaya dengan cinta yang
telah lama subur di hatiku.
“Makan dulu, Dam.” Raihan mengantarkan bekal
makan malam. Sedangkan Kak Rama sedari tadi sudah menyuruhku untuk pulang ke
rumah.
Malam semakin larut, jarum jam di tanganku sudah
menunjukkan pukul sebelas malam. Raihan meninggalkanku sendiri, karena harus
menemani istri dan anaknya di rumah. Aku tidak memaksanya untuk tinggal,
menemaniku menanti cinta yang aku sendiri tidak tahu dimana keberadaannya. Tapi
hatiku yakin akan ada pertemuan dengannya.
Rembulan di atas sana masih setia dengan
terangnya yang temaram. Malam sudah semakin larut dan aku mulai merasakan
kecewa. Kecewa karena Hawa tak kunjung datang menemuiku. Aku sadar diri,
kemudian memilih untuk kembali ke rumah.
Hawa, aku sudah menepati janjiku.
Taksi yang membawaku terasa lambat, membawaku
kembali ke rumah dengan kehampaan hati. Hatiku terluka. Sekian lama penantian
cintaku, semua berakhir sia-sia. Mungkin kisah cintaku tidak sama dengan kisah
Nabi Adam dan Hawa yang kembali bertemu setelah sekian lama terpisahkan. Kisah cinta
kami berbeda ending.
Wahai penilai hati lihat batinku
Nyaris bernanah karna luka tersayat
Merana menantikan cinta dan kasih hidupku
Nyaris bernanah karna luka tersayat
Merana menantikan cinta dan kasih hidupku
Rahasia itu hanya Kau yang tahu
Namun aku tak mau jadi tuna cinta
Tuntun hatiku dalam sabar menanti jodohku
Namun aku tak mau jadi tuna cinta
Tuntun hatiku dalam sabar menanti jodohku
Lagu menanti cinta dari Krisdayanti mengalun
merdu dari radio yang ada di dalam taksi. Sesuai dengan apa yang sekarang
sedang kurasakan.
Di depan rumahku, ada mobil Kak Rama dan juga
Raihan. Ada satu mobil berwarna putih yang tidak kukenal.
Setelah salam kuucapkan. Aku melihat Kak
Rama, Raihan dan istrinya duduk di ruang tamu dan menjawab salamku secara
bersamaan. Ada satu suara yang begitu kukenal, menjawab dari balik pintu kamar
bekas mendiang Bapak dan Ibu. Suara itu….ah Tuhan, apakah aku bermimpi?
Ia berdiri di hadapanku, dengan kerundung
putih dan mukena di tangannya. Ia baru saja shalat.
Hawa?
Suaraku terhenti, dunia seakan berhenti
berputar.
Ia menangkupkan kedunia tangannya di dada.
“Aku menepati janjiku, Kak Adam. Aku kembali.”
Aku mengangguk. Bahagia menyeruak. aku bahagia, layaknya Nabi Adam
yang bahagia setelah sekian lama berpisah dengan Hawa, istrinya.
Cinta…..
Kadang aku tak mengerti dengan caramu menemukan tempat untuk
berlabuh.
Kadang aku tersiksa dengan datang dan pergimu tanpa permisi
Meski demikian….
Aku bahagia karena engkau telah hadir menemani penantian panjangku
Inilah cinta sejatiku
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan