Ayah, aku sengaja menuliskan ini semua, rasa yang sejak lama menyesakkan
dadaku. Kadang aku hanya bisa terdiam, saat aku merasakan sesak yang tak
berujung. Ayah, akhir-akhir ini aku sering menangis seorang diri, bertemankan
gelap malam. Ayah tidak pernah tahu itu semua. Ayah, aku sangat menyayangimu,
sama seperti sayang yang telah ayah berikan padaku selama ini. Terimakasih,
Ayah.
Ayah, maaf, jika aku sering membuat ayah marah; dengan sikapku yang
kadang tidak hormat padamu, dengan bahasaku yang kadang jauh dari kata sopan,
dengan tatapanku yang kadang penuh kebencian pada ayah. Tapi, aku ingin ayah
tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar membencimu. Aku tidak pernah
benar-benar marah padamu. Aku tidak pernah benar-benar ingin pergi menjauh
darimu.
Ayah, aku tahu betapa ayah merindukan sosok Ibu yang dulu selalu menemani
hari-hari kita. Senyum ibu selalu hadir di dalam rumah kita ini. Aku mengerti
akan perasaan yang ada di dalam hati ayah. Tapi, ada aku di sini, Yah. Aku
butuh hadirmu dalam setiap hariku. Aku butuh kasihmu dalam tiap embusan
nafasku. Aku butuh belaianmu menjelang tidurku. Aku butuh senyummu. Aku juga
merasakan kehilangan yang sama denganmu, Ayah.
Ayah, aku bosan dengan pertengkaran yang terjadi antara kita berdua. Aku
jenuh dengan sumpah serapah yang kadang ada di dalam pertengkaran kita. Aku
menginginkan senyum tulusmu, aku butuh peluk hangatmu, aku butuh itu semua.
Ayah, mengapa harus ada pertengkaran di antara kita? Bukankah seharusnya
ada kasih sayang yang menemani kebersamaan kita? Bukankah harusnya kita saling
mengerti satu sama lain, saling mendukukung dan saling menghargai? Itu hanya
pendapatku saja, Yah. Aku tidak tidak tahu pendapat ayah.
Aku ingin ayah tahu, bahwa aku hanya butuh kasih sayangmu, bukan rumah
megah yang hanya berisikan kaki tangan ayah. Aku butuh ayah di rumah ini, bukan
hanya gambar-gambar keangkuhan yang membuatku jengah.
Ayah, maaf jika aku terlalu jujur mengungkapkan isi hatiku. Tapi inilah
yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Aku hanya butuh ayah lebih perhatian
padaku. Aku hanya butuh ayah ada untukku. Aku hanya butuh itu. Maaf jika aku
berlebihan.
Ayah, maaf, surat ini hanya bisa kuberikan pada ayah melalui e-mail.
Karena aku tahu, jika kuletakkan di meja kerja ayah di rumah, surat ini tidak
akan pernah dibaca. Aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali ayah berada di
ruang kerja yang ada di rumah. Ayah hanya pulang barang sejenak kemudian pergi.
Dan begitulah seterusnya. Aku hanya menatap punggung ayah dalam lisan yang
beku.
Ayah, kini aku telah pergi dari kehidupan ayah. Aku ingin pergi mencari
kasih sayang yang tidak kudapatkan dari ayah. Maaf, jika aku belum bisa menjadi
anak yang baik. Aku pergi, Ayah.
Salam. Anakmu
Rangga Ramadhan
2 Hari Sebelumnya
Rangga masuk ke dalam ruang kerja
ayahnya. Kosong. Sang ayah sedang pergi ke luar kota dan baru akan kembali
tengah malam nanti. Rangga berusaha untuk menunggu kedatangan sang ayah, ingin
memastikan bahwa besok sang ayah bisa datang ke sekolah untuk mengambil raport
kenaikan kelas. Namun, hingga tengah malam, sang ayah tak kunjung datang.
Rangga sudah terkantuk-kantuk di ruang tamu, mengganti channel televisi, mengisi perutnya agar tetap terisi. Namun, yang
ditunggu tak kunjung datang.
Rangga membuka pintu depan rumahnya,
melihat ke arah jalanan yang ada di komplek. Sepi. Tidak ada tanda-tanda
kedatangan sang ayah. Hingga kantuknya sudah tidak lagi bisa ditahan, sang ayah
tak nampak batang hidungnya. Rangga terlelap tidur di ruang tamu.
Mbok Inem menatap wajah Rangga yang
sedang lelap tidur berselimutkan dinginnya malam. Wanita paruh baya itu membawa
tubuh Rangga sambil tertatih, memindahkannya ke dalam kamar. Ia tida tega jika
harus melihat Rangga tidur di ruang tamu hanya berselimutkan dingin.
Rangga, ia baru kelas 1 SMA. Postur
tubuhnya yang kecil, membuat ia terlihat lebih muda dari teman-teman sebayanya.
Mbok Inem sangat menyayangi Rangga. Ia menjadi sosok ibu bagi Rangga, semenjak
ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu.
***
Selepas shalat subuh bersama dengan
Mbok Inem, Rangga berlari ke kamar ayahnya, mengejar bayang-bayang yang sudah dinantinya
sejak tadi malam. Ia ingin memastikan bahwa sang ayah sudah membaca surat dari
pihak sekolah, tentang pembagian raport kenaikan kelas. Tapi, bukan sosok ayah
yang ia temui, melainkan hanya tumpukan bantal yang tersusun rapi.
“Mbok, ayah sudah pergi?”
Mbok Inem tidak tahu harus berkata
apa kepada Rangga. Ayah Rangga sama sekali belum pulang ke rumah sejak tadi
malam. Mbok Inem hanya bisa diam untuk ke sekian kalinya, tidak mampu berucap
sepatah kata pun.
Rangga
berlari ke kamarnya, menagis tersedu-sedu. Hari ini, ia sudah sangat berharap
sang ayah akan datang ke sekolahnya, melihat hasil perkembangannya selama satu
semester ini. Rangga sudah belajar dengan tekun ingin membuat sang ayah
bahagia. Rangga yakin, nilainya kali ini lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Malam
semakin larut, Rangga sudah duduk di ruang tamu, kembali menunggu kedatangan
sang ayah. Setelah hampir tiga jam lebih menunggu, sang ayah akhirnya datang.
Rangga berusaha untuk tersenyum menyambut kedatangan sang ayah, Rangga berusaha
semaksimal mungkin untuk tidak marah pada ayahnya. Ia jenuh jika harus
bertengkar terus dengan sang ayah.
“Ayah,
tadi pembagian raport kenaikan kelas. Mbok Inem yang datang ke sekolah.” ucap
Rangga perlahan sambil memaksa untuk tersenyum.
“Ooo..”
Sang ayah hanya ber-o panjang dan berlalu pergi.
Melihat
itu, Rangga marah.
“Ayah, Rangga juara satu.
Rangga ingin papa tahu bahwa Rangga sudah berusaha belajar dengan tekun, karena
Rangga ingin ayah bangga dengan semua ini. Rangga tidak minta apa-apa dari
ayah, Rangga hanya ingin ayah ada untuk Rangga. Menemani Rangga tumbuh. Tapi
mana? Ayah selalu sibuk dengan kerjaan kantor. Kita bahkan jarang sekali
bertemu, walau hanya sekedar bertegur sapa. Rangga jenuh dengan semua ini. Rangga
juga merasakan kehilangan yang sama. Tadi hidup harus terus berjalan, Yah. Kita
tidak bisa terus-terusan bersedih.” Teriaknya keras.
Tapi sang ayah sudah
berlalu, hilang di balik pintu kamar berwarna kuning keemasan itu. Dan Rangga
memilih untuk pergi dari rumah.
***
Dari balik pintu kamarnya Sang Ayah
ternyata menangis, menyesali diri karena terlalu larut dalam kesedihan karena
kehilangan istri tercinta. Kesibukan menjadi pelariannya, agar tidak terus
dibayangi oleh bayang-bayang masa lalu tentang sang istri. Ia menyesali.
***
3 Tahun Kemudian
Ayah, maafkan Rangga, baru kali ini bisa berkirim kabar.
Maafkan sikapku yang dulu pernah marah kepada ayah. Rangga akan segera kembali,
Rangga kangen ayah.
Rangga mengirimkan pesan
elektronik itu ke e-mail ayahnya.
Berharap sang ayah akan membalas pesan darinya.
Setelah semua dirasa
siap, Rangga menikmati perjalanannya kembali ke rumah. Dengan penuh kesabaran,
ia berusaha menahan rindu yang sejak lama ia kubur dalam-dalam. Dan hari ini,
rindu itu ingin berlabuh, ingin bertemu dengan laki-laki yang dulu pernah ia
benci.
Ayah, apa kabarmu?
Pertanyaan itu sudah
terucap beberapa kali selama perjalanannya menuju rumah. Butuh tiga hari tiga
malam perjalanan darat untuk bisa bertemu dengan sang ayah. Dan saat bus
berhenti di pinggir jalan raya, Rangga turun, bergegas menuju pangkal ojek di
depan komplek perumahan yang telah lama ia tinggalkan.
“Cepat, ya, Pak.”
Perintah Rangga pada tukang ojek.
Rumah itu, masih seperti
dulu. Tidak ada yang berubah. Tembok tinggi yang menjulang berwarna perak,
tanaman bunga yang warna-warni, semua masih sama seperti dulu. Rangga menekan
bel beberapa kali, namun tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Rangga
memilih untuk menunggu di depan gerbang rumahnya.
“Nak Rangga?” seorang
wanita paruh baya menghampirinya, dan Rangga langsung memeluk wanita itu.
Dialah Mbok Inem, yang mengasuhnya sejak kecil. Mbok Inem membalas pelukan anak
majikan yang sejak lama ia rindukan.
Rangga langsung membantu
Mbok Inem membawa sayur mayur belanjaannya ke dalam rumah.
“Ayah apa kabar, Mbok?”
Mbok Inem tidak menjawab.
Ia menarik tangan Rangga yang sudah semakin berisi. Rangga tidak sekurus dulu.
Wanita itu ingin menunjukkan sesuatu kepada Rangga. Rangga mengikuti saja
ajakan Mbok Inem yang selama ini sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya
sendiri.
Pintu kamar dibuka,
seorang laki-laki duduk di atas kursi roda menghadap jendela, melawan hembusan
angin yang masuk melalui jendela. Laki-laki itu kurus, wajahnya pucat, matanya tidak
ada sinar kehidupan, tatapannya kosong.
“Satu tahun setelah
kepergian Nak Rangga, Bapak mengalami stroke.” Begitulah penjelasan singkat
dari Mbok Inem. Rangga tidak ingin mendengarkan penjelasan panjang lebar. Ia
langsung bersimpuh di hadapan sang ayah dengan isak tangis yang semakin
menorehkan luka. Rangga mencium tangan sang ayah, kemudian memeluknya. Rangga
berbisik ke telinga ayahnya,
“Ayah, maafkan Rangga.”
Sang ayah hanya mematung.
Ada bulir-bulir di ujung matanya. Ia menangis. Dan mereka berdua hanyut dalam
tangis bersama keping-keping rindu yang perlahan menyatu.
Ayah, aku kembali bersama rindu
Aku kembali bersama dengan penyesalan masa lalu
Aku kembali untuk menemani hari-harimu
Ayah, aku tidak akan pergi lagi
Aku kembali untuk selamanya
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan