Ayah/Ibu…..
Aku tahu betapa besar tanggung jawabmu
Aku tahu apa yang engkau lakukan adalah untukku
Aku tahu sebenarnya engkau tidak pernah
benar-benar membenciku
Aku tahu bahwa sebenarnya engkau tidak pernah
benar-benar menjauhiku
Tapi…mungkin kadang engkau lupa bahwa;
Aku ingin hadirmu dikala aku sedang butuh
seseorang untuk bercerita
Aku ingin adamu saat aku sedang dirundung masalah
Aku ingin engkau selalu ada untukku
Maaf, jika aku belum bisa menjadi anak yang baik
Aku sedang berusaha untuk itu
Bantu aku tumbuh menjadi anak yang engkau
dambakan
Temaniku aku, Ayah/Ibu.
Sabtu, 16 Maret 2013
Seperti biasa, anak-anak
menjabat tangan saya, tersenyum, kemudian mengucapkan salam. Saya menjawab
salam mereka sambil tersenyum. Saya menanyakan kabar mereka, apakah mereka
sudah shalat duha atau belum. Jika ada yang belum melaksanakan shalat duha,
maka saya akan memersilahkan mereka untuk segera shalat. Bagi yang sudah melaksanakan
shalat duha, saya berikan pujian sebagai wujud penghargaan bahwa saya peduli
dengan mereka.
Menjelang bel masuk berdering, Ustadz Andika tiba-tiba
menghampiri saya.
“Ustadz, nanti kita razia tas anak-anak, ya. Biar Ustadz
Masnun yang mengondisikan anak-anak di luar kelas.”
Saya mengiyakan ajakannya, kemudian meminta Ustadz Masnun
untuk mengondisikan anak-anak di luar kelas, diisi dengan nasehat-nasehat
sebagai penyemangat pagi bagi anak-anak.
Setelah bel masuk berbunyi, masing-masing wali kelas VIII
putra masuk ke kelas masing-masing, memeriksa satu persatu tas anak-anak. Saya
memeriksa dengan detil setiap tas yang ada di kelas, saya menemukan ada anak
yang membawa handphone dan tablet
tanpa seizin saya. Sedangkan di kelas lain, ada yang membawa laptop tanpa izin
dari pihak sekolah, dan ada juga yang membawa handphone. Anak-anak memang tidak diperbolehkan membawa perangkat
elektronik ke sekolah tanpa seizin pihak sekolah.
Setelah disita, saya dan beberapa guru memeriksa satu
persatu isi laptop, tablet dan juga handphone.
Hasilnya, sangat mencengangkan. Ada banyak files
yang seharusnya tidak disimpan oleh anak-anak. Inilah tantangan zaman
sekarang. Dengan perkembangan tekhnologi, ada banyak sekali dampak positif dan
negatifnya. Selaku orangtua, seharusnya bisa mengontrol fasilitas yang
diberikan kepada anak. Memenuhi segala permintaan anak, misalkan gadget, perlu adanya pengawasan terhadap
itu semua. Anak tidak bisa dibebaskan begitu saja. Tidak cukup hanya sekedar
memberikan begitu saja, akan tetapi perlu adanya kontrol, sehingga anak-anak
tidak lepas terjerumus ke hal-hal yang tidak baik.
Pernah suatu ketika, saat saya berkunjung ke rumah salah
satu murid, wali murid sempat berkomentar begini, “anak kelas 1 SD sudah diberi
blackberry, itu bagi saya aneh.” Saya
juga berpikiran sama. Untuk anak-anak seumuran itu, apa memang sudah butuh
dengan smartphone? Menurut pribadi
saya, mereka belum membutuhkan itu semua.
Kembali ke permasalahan awal, tentang barang-barang yang
disita. Saya memanggil satu persatu dari mereka, menanyakan alasan mereka
membawa HP, laptop, atau tablet. Setelah selesai menanyai mereka semua. Ada
satu anak yang saya panggil, karena saya lihat dia duduk di depan kelas
sendirian. Sedangkan teman-teman yang lain sudah pulang. Dari sinilah cerita
bermula.
Sebut saja namanya si Fulan. Ia duduk di samping saya,
kemudian menangis terisak. Saya melihat bulir-bulir di ujung matanya. Dia
menangis tersedu-sedu dan tidak sanggup untuk bercerita tentang apa sebenarnya
yang terjadi. Saya tetap membiarkannya menangis, hingga ia bisa menceritakan
tentang apa yang sebenarnya yang ia rasakan.
Sepuluh menit berlalu, si Fulan sudah mulai agak tenang,
tapi masih dengan air mata di kedua matanya. Ia mulai bercerita, kemudian saya
pun berusaha menjadi pendengar yang baik, sesekali berkomentar, memberikan
nasehat, kemudian saya hanya diam, mendengarkan kalimat-kalimat yang terucap
dari bibirnya. Saya melihat ada sebuah ketulusan dari pancaran matanya. Ia
betul-betul ingin mencurahkan apa yang selama ini ada di dalam hati. Saya
yakin, ia sudah menyimpan kegelisahan ini sejak lama, dan hari ini ia sudah
tidak sanggup lagi untuk bertahan dengan kegundahan hatinya. Ia butuh seseorang
yang bisa menjadi tempatnya berbagi.
“Ustadz, aku hanya minta Papa dan Mama lebih sering di
rumah, melihatku tumbuh, menanyakan bagaimana perkembanganku di sekolah,
menanyai kabarku setiap pulang sekolah, berdiskusi sederhana tentang
materi-materi yang tidak kumengerti, atau jika memang memungkinkan bisa
menjemputku sepulang sekolah. Aku hanya minta Papa dan Mama lebih perhatian
padaku. Aku tidak merasakan kasih sayang yang utuh dari keduanya. Aku merasa
iri, melihat teman-teman yang diantar jemput oleh orangtuanya. Aku iri, dengan
teman-teman yang orangtuanya selalu berusaha untuk hadir ke sekolah saat
pembagian progress report atau raport
kenaikan dibagikan. Aku ingin sekali papa dan mama bisa seperti itu. Sejak SD
kelas enam, Papa dan Mama lebih sering di luar rumah ketimbang berada di
rumah.”
Ia berhenti
sejenak, kemudian menyeka air mata di ujung matanya. Saya memberikannya segelas
air putih, mencoba menenangkannya.
“Setiap hari,
Mama sudah pergi sejak pukul empat pagi dan pulang malam, saya tidak merasakan
adanya Mama di rumah. Papa juga sudah sibuk di kantor sejak pagi sampai pukul
lima sore. Aku bertemu Papa dan Mama hanya malam hari, setelah semuanya
sama-sama sibuk dengan kesibukan masing-masing. Jika sudah demikian, tidak ada
lagi kebersamaan. Semua di kamar masing-masing. Aku merasa seperti diabaikan
oleh keduanya. Padahal aku hanya butuh kasih sayang yang lebih dari keduanya.
Itu saja, Ustadz.” Ia mengakhiri ceritanya sambil kembali menangis. Saya
tersentuh dengan ceritanya. Sebenarnya bukan kali ini saja saya mendapati
anak-anak yang bercerita tentang kondisi orangtua di rumah. Ada banyak anak
yang bercerita.
Kami sama-sama
diam, saya mencoba untuk memahami apa yang ia ceritakan. Sebenarnya saya sudah
sedikit tahu tentang ini, dari pesan singkat yang sering ia kirimkan kepada
orangtuanya melalu handphone kelas.
Saya sering mendapati dia mengirim pesan kepada orangtuanya untuk dijemput,
tapi sering sekali tidak bisa dijemput karena kesibukan. Ia harus naik angkot
untuk pulang. Dan saya juga bisa melihat, setiap kali ada permasalahan di
sekolah, orangtuanya tidak pernah datang, melainkan hanya sang kakak yang
selalu datang. Begitu juga ketika pembagian hasil perkembangan anak, selalu
sang kakak yang mengambil.
“Mas sudah
pernah bilang ke Mama dan Papa tentang hal ini?”
Ia hanya
menggeleng sambil menunduk. Dia masih menangis.
“Aku nggak minta
macam-macam, Ustadz. Aku hanya ingin Papa dan Mama lebih perhatian. Itu saja.”
Cerita ini
hanyalah satu dari sekian banyak cerita dari anak-anak tentang kondisi mereka
di rumah. Ada yang pernah bercerita tentang ketidakharmonisan kedua orangtuanya,
ada yang bercerita tentang orangtuanya yang bertugas di luar kota dan hanya
bisa bertemu dengannya sekali dalam sebulan, ada yang bercerita pola orangtua
dalam mendidik mereka dan lain-lain.
Sama seperti
yang anak-anak ceritakan, ada banyak kasus yang dibuat oleh anak-anak, sebagai
pelampiasan karena tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtua mereka.
Ada banyak tingkah laku anak yang menyimpang, sebagai pelarian karena
ketidakpuasan dengan kondisi yang ada di rumah dan lain-lain.
Sebagai orangtua,
seharusnya kita bisa menemani mereka tumbuh, menemani mereka berjuang untuk
belajar dari tidak tahu menjadi tahu. Menemani mereka berjuang untuk bisa
menghadapi tantangan zaman yang semakin hebat. Seharusnya orangtua bisa
melakukan itu, terlepas dari kesibukan yang ada.
Sehubungan dengan situasi sekarang yang
semakin sulit bagi orang tua untuk mengawasi anak-anak maka dalam hal ini
interaksi orang tua dan anaklah yang memegang peranan sangat penting sekali,
dan hal ini perlu dibina sejak anak-anak masih kecil. Interaksi di bawah usia 6
tahun dapat dikatakan sebagai fondasi, sebagai dasar hubungan orang tua dengan
anak.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan anak yang sudah lumayan besar sementara suami-istri bekerja, apa yang
dilakukan untuk memaksimalkan interaksi orang tua dengan anak? Ada yang
beranggapan bahwa paling penting adalah kualitas bukan kuantitas, jadi mutu
bagaimana kita berinteraksi dengan anak jauh lebih penting daripada kuantitas
atau jumlah waktu yang dihabiskan dengan anak. Namun pada prakteknya hal ini susah
sekali dilakukan, karena kualitas hanya bisa muncul dalam keberadaan kuantitas.
Kita hanya bisa menjalin hubungan yang baik dengan anak kalau kita memang
menghabiskan waktu dengan anak, kalau tidak kita habiskan waktu itu dengan
anak, yang bermutu itu tidak muncul. Selanjutnya yang kita anggap berkualitas
belum tentu berkualitas bagi anak, belum tentu itu adalah hal yang dihargai dan
dibutuhkan oleh anak kita.[1]
Sesibuk apapun
orangtua, perhatian terhadap anak tetaplah hal yang paling penting untuk
diberikan. Jangan sampai kesibukan menjadi alasan kita tidak memberi perhatian
kepada mereka. Ajak mereka untuk berdiskusi sederhana tentang perkembangan
mereka, temani mereka belajar pengetahuan-pengetahuan baru, tanyakan bagaimana
kondisi mereka di sekolah dan lain-lain.
Bertanya tentang
kondisi mereka di sekolah, mungkin itu sederhana, tapi itu adalah sebagai wujud
kepedulian kepada mereka, sehingga mereka merasa bahwa orangtua mereka masih
peduli, meski dengan segudang kesibukan.
Mereka hanyalah
anak-anak yang sedang mencari jati diri, jangan sampai mereka mendapatkan itu
semua dari orang lain, karena mereka merasa bahwa orangtua tidak mampu memberi
mereka perhatian. Mari beri perhatian kepada mereka.
bismillah
ReplyDeletesaran saya, ajak si murid membuat surat cinta untuk mama dan papanya. tulis apa saya yang dirasakan dan diinginkan dia selama ini. setelah selesai selipkan ditas atau ditempat yang dapat dipastikan mama dan papanya membaca surat cinta tersebut. lakukan itu sampai ada perubahan. (boleh juga surat cintanya itu hasil gambarnya si anak).
selanjutnya tugas ust ketika homevisit ke rumah murid tersebut adalah mengkomunikasikan perkembangan anak tersebut (baik dari aspek psikologis, akademik ataupun sosialisasi), ceritakan pula kebaikan2 anak tersebut dan tanyakan bagaimana perkembangan dirumah. tanyakan pada ortunya apa program keluarga yang sering dilakukan, atau ada tidak family meeting dilakukan minimal 2 pekan sekali.
karena anak umur 0-15 tahun adalah pondasi awal untuk membentuk self concept. ketika konsep dirinya belum matang maka dia tidak akan survive dalam hidupnya.
selamat mencoba
terimakasih sarannya. saya akan coba. :)
Delete