Tuhan, kadang
aku lupa dengan anugerah-Mu
Namun Engkau
tetap memberiku anugerah
Kadang aku lari dari jalan-Mu
Namun Engkau
selalu menuntunku kembali pada-Mu
Kadang aku
membenci-Mu
Namun
kasih-Mu selalu hadir menyentuh hatiku
Pagi ini udara sejuk menusuk tulangku. Kuhirup
pelan dan mulai kurasakan kesejukan udara pagi yang menenangkan jiwaku. Kutatap
langit di atas sana, mentari sedang menyinari pagiku dengan hangat. Kulihat ke
sekelilingku, orang-orang sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku
bersandar di kursi kayu yang ada di depan rumahku, memerhatikan kucing yang
sedari tadi diam menyendiri di pojok sana. Sepi.
Pagi
ini, seharusnya aku pergi ke sekolah, bertemu dengan guru-guruku tercinta,
bertemu dengan sahabat-sahabatku, bercanda, tertawa, berbagi cerita akhir pekan
kemarin, atau hanya sekedar duduk di depan kelas, sambil menunggu bel masuk berdering.
Tapi, pagi ini aku tidak bisa pergi ke sekolah, Allah sedang mengingatkan akan
nikmat yang selama ini telah Ia berikan padaku.
Mampukah
kalian menghitung nikmat Tuhan? Dimana Tuhan tidak pernah meminta balasan atas
nikmat yang selama ini telah Ia berikan. Kita semua tidak akan mampu menghitung
nikmat dari-Nya.
Aku
duduk di depan kaca yang ada di meja belajarku, menatap lekat-lekat kedua
mataku yang memerah, gatal, dan terasa perih. Aku menangis, dan baru menyadari
betapa aku sangat tidak nyaman dengan kondisi yang sekarang sedang kualami.
Mungkin ini cara Tuhan mengingatkanku, betapa Tuhan Mahabaik. Bayangkan,
bagaimana jika Tuhan tidak memberikan kedua mata untuk melihat? Hanya dunia
dalam gelap yang akan ada. Meski demikian, aku bersyukur kepada Tuhan, karena
telah memberikanku kedua mata yang sempurna, sehingga aku bisa melihat dengan
baik keindahan ciptaan-Nya.
Ibu
mengajakku pergi ke dokter, ibu sangat khawatir dengan kondisi mataku yang
semakin memerah dan perih. Sudah tiga hari aku hanya bisa berdiam diri di rumah,
menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Tidak banyak yang bisa
kulakukan. Kedua mataku terasa pegal dan terlihat lelah. Aku harus berobat. Aku
tidak tahan jika harus berlama-lama dengan kondisi mata seperti ini.
Setelah
periksa ke dokter, dokter memberikan resep untuk penyembuhan kedua mataku. Aku
berdoa, semoga mataku bisa kembali pulih, dan aku bisa kembali menjalani
aktifitas sebagai seorang pelajar. Aku merindukan teman-temanku. Aku merindukan
senyum hangat guru-guruku di sekolah. Aku merindukan mereka semua.
Hari
keempat, aku pergi ke sekolah, meski kondisi mataku masih belum sembuh. Aku
tidak ingin terlalu banyak ketinggalan pelajaran. Sebentar lagi laporan termin
bulan Januari. Masih banyak tugas yang belum kuselesaikan. Kegiatan belajarku
di sekolah sangat terganggu dan kurang efektif. Baru sebentar saja membaca,
mataku sudah mengeluarkan bulir-bulir bening. Belum lagi rasa perih yang menyiksaku,
ditambah pegal yang memengaruhi konsentrasi belajarku. Aku jadi cepat
mengantuk, dan tidak sanggup untuk mengikuti proses belajar hingga selesai.
Masih
dengan kondisi mataku yang belum pulih, aku pergi ke sekolah dengan memakai
kaca mata. Aku malu, tapi, ibu bilang;
“Nggak
usah malu, Nak. Kaca mata itu untuk kebaikan matamu, agar terhindar dari debu.
Biar matamu cepat sembuh.”
Aku
meng-iyakan apa kata ibu. Meski malu
dengan kaca mata yang kupakai, aku tetap pergi ke sekolah. Awal-awal memang
malu berat, semua mata serasa tertuju padaku. Aku tak ubahnya seperti orang
aneh yang baru mereka lihat. Mereka menatapku penuh tanda tanya dan terkesan
mengejekku. Aku cuek dan lama-lama bisa percaya diri, meski dengan kaca mata di
wajahku.
Ejekan-ejakan
teman tentang kedua mataku yang merah, tentang kacamata yang kupakai, tak
menyurutkan langkahku untuk pergi ke sekolah. Aku tetap pergi dan belajar. Aku
memperbanyak istighfar atas apa yang
kudengar.
“Mereka
tidak merasakan betapa aku tersiksa dengan kondisi ini,” gumamku dalam hati.
Tapi, biarlah mereka menggonggong, kafilah tetap harus berlalu, kan? Biarkan
mereka berkata apa tentangku, aku tetap harus belajar dengan baik.
Aku
menangis, karena mataku tak kunjung sembuh. Aku mulai merasa risih dengan
teman-teman yang setiap hari mengejekku.
“Tuhan,
beri aku kesabaran atas apa yang Engkau ujikan padaku.” Aku mengucapkan untaian
doa-doa dalam sujudku. Aku percaya, ini adalah cara Tuhan mengajarkanku arti
bersyukur. Mungkin selama ini aku kurang mensyukuri nikmat yang Ia berikan.
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)
¤
Hari ini pelajaran fiqh di jam terakhir, aku
duduk memerhatikan penjelasan dari ustadz yang mengajar. Tetapi, aku tidak bisa
tenang dengan tatapan dari beberapa teman di kelasku. Tatapan itu, cara pandang
itu, terkesan mengejekku. Astaghfirullah,
aku tidak boleh berburuk sangka.
Tanpa
disadari teman-temanku, ustadz ternyata sedari tadi memerhatikan tingkah mereka
yang menatapku aneh. Kadang mereka juga menggangguku dan membuat suasana kelas
menjadi tidak kondusif. Berisik. Ustadz mengingatkan mereka, untuk tidak lagi
mengejekku, tapi mereka tetap mengejekku. Aku hanya bisa diam, melihat tingkah
mereka yang tak kunjung sadar.
Ustadz
menasehati mereka agar tidak melakukan itu lagi, teman-temanku tertunduk malu,
menatap lantai keramik berwarna putih. Mereka mulai mengerti bahwa apa yang
telah mereka lakukan adalah salah. Tidak seharusnya mereka mengejekku dan menertawakan
kaca mata yang kupakai. Semua menjadi hening. Hanya ada kata-kata bijak berupa
nasehat dari guruku. Kata-kata yang mengajarkan akan arti “peduli” dengan
kondisi teman. Tidak seharusnya mereka bersikap seperti itu padaku. Bagaimana
pun juga, aku adalah teman mereka, yang sehari-hari belajar bersama mereka di
kelas yang sama.
Keesokan
harinya, temanku sudah menyadari akan kesalahan yang telah mereka lakukan.
Mereka meminta maaf kepadaku dan juga kepada ustadz. Kalian tahu kawan? Allah
itu maha pengampun. Jika Allah saja mau memaafkan kesalahan hamba-Nya,
bagaimana mungkin aku tidak memaafkan mereka? Aku tersenyum, menyambut uluran
tangan mereka.
“Naufal,
aku minta maaf, ya,” ucap mereka satu persatu.
“Iya,
aku juga minta maaf jika ada salah.” Jawabku sambil mengukir senyum tulus di
wajahku. Kami tersenyum penuh hangat. Kami kembali berbagi cerita, tertawa, dan
menjalin persahabatan yang baik.
¤
Doa-doa yang kuucapkan lepas shalat malamku, agar
Allah memberikanku kesembuhan, kini terkabul. Kedua mataku sudah kembali pulih.
Aku juga sudah melepas kaca mata yang akhir-akhir ini menggangguku. Aku tidak
biasa memakai kaca mata. Teman-temanku juga sudah tidak ada lagi yang
mengejekku. Aku pergi ke sekolah dengan senyum, menjabat satu persatu tangan
guru-guruku di sekolah. Ada Ustadz Arian berdiri di depan kelas, menyambut kami
dengan senyum hangatnya. Terimakasih Tuhan, atas apa yang telah Engkau berikan
padaku.
Sahabatku,
seperti yang selalu diajarkan oleh guru-guru kita:
“Seberat apapun ujian dalam hidup, Tuhan
harus selalu ada di dalam hati. Karena Tuhan memiliki rencana-Nya yang indah
untuk hamba-Nya.”
Jangan
lupa;
“Peduli dengan kondisi teman adalah bukti
bahwa kita adalah sahabat yang baik. Jika teman kita ada yang sakit, jenguk
dia, beri dia motivasi agar semangat menjalani hidup, meski sakit terus
menggerogoti tubuhnya. Beri perhatian dan kirimkan doa tulus demi
kesembuhannya. Insya Allah, Tuhan akan
membalas segala kebaikan yang telah kita lakukan.”
Sahabatku,
aku bahagia bisa mengenal kalian.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan