30 Oktober 2012
Sore
ini, hujan rintik-rintik membasahi semesta, membiarkan angin berhembus
bersamaan dengan jatuhnya air hujan ke bumi. Aku berdiri di depan kelas,
menjabat satu persatu tangan murid-muridku, menghantarkan mereka pulang dengan
senyum yang tak henti-hentinya terukir di bibirku. Aku memang berusaha
mengakhiri pertemuan kami dengan menjabat tangan mereka.
Setelah
menjabat tangan mereka, suara adzan ashar berkumandang, aku langsung shalat
ashar berjama’ah bersama dengan murid-murid. Lepas shalat ashar, hujan masih
setia dengan rintiknya, sementara anak-anak kelas VII sudah siap dengan pakaian
taekwondo. Mereka masih menunggu pelatih taekwondo datang. Aku menghampiri
mereka, bercanda bersama mereka, berbagi cerita, dan ikut berlari-lari kecil
bersama mereka.
Sudah
satu tahun lebih aku menjadi seorang guru, mengabdikan diri guna mendidik
putra-putri bangsa ini menjadi putra-putri yang sholeh dan sholehah. Kerap kali
berbagai macam komentar dari kawan-kawanku tentang profesiku,
“Betah
amat jadi guru, emangnya enak?”
Saya
tidak menjawab pertanyaan mereka dengan sorotan mata tajam, atau menjawab
pertanyaan itu dengan kalimat,
“Masalah
buat, lo?”
Tidak.
Saya tidak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat di atas. Saya hanya menjawab
pertanyaan itu dengan senyuman, sambil berucap,
“Menjadi
guru itu sebuah profesi yang sudah ada di dalam sini,” jawabku sambil menunjuk
dadaku.
Mereka
tidak tahu betapa aku menikmati profesi ini, mereka tidak tahu betapa banyak
cerita-cerita bahagia yang sudah ada antara aku dan murid, meski aku baru
mengajar kurang lebih 1 tahun 3 bulan lamanya. Namun, bagiku, menjadi guru
adalah panggilan jiwa. Dan aku betul-betul bahagia dengan pilihan ini.
“Lantas,
jika kebahagiaan bisa kuraih bersama mereka, alasan apa yang patut kuajukan
untuk berhenti menjadi guru?”
∞
“Ustadz,
ikut latihan taekwondo, yuk,” ucap Imam, muridku yang kebetulan dekat denganku.
Tidak
perlu berpikir panjang, aku langsung melepas baju kerja, kemudian membiarkan
kaos oblong melekat di badanku, bersama dengan celana bahan berwarna hitam
polos. Aku ikut bergabung bersama mereka di tengah halaman sekolah, basah di
bawah rintik hujan. Mereka dengan penuh semangat menarik tanganku untuk ikut
merasakan dunia mereka; canda, tawa, dan senyum mereka membuatku sungguh
bahagia.
Andra
langsung menarik tanganku ke bawah pancuran air hujan, mengajakku untuk
merasakan kebahagiaannya, dan membiarkanku basah. Mereka berebut membasahi kaos
oblong yang kukenakan. Aku hanya tertawa, melihat betapa lugu mereka, mereka
berlari ke arahku dan menarik-narik tanganku dengan jari-jari mungil mereka.
Arghhh Tuhan, sungguh bahagia itu sangat sederhana. Seperti sore ini, ikut
latihan taekwondo bersama mereka saja aku sudah bahagia.
Wajah-wajah
itu adalah wajah-wajah seribu malaikat yang selalu hadir dalam kehidupanku.
Wajah-wajah itu adalah pelangi yang akan selalu ada di dalam hatiku. Semoga
kebersamaan ini tetap ada, semoga kalian menjadi anak-anak yang sholeh dan
sholehah.
Anak-anakku,
kali ini izinkan aku menuliskan bait-bait rasaku pada kalian. Aku ingin kalian
tahu bahwa aku bahagia bersama kalian.
Bait-Bait Rasa
Kalian
adalah pelangi
Pelangi
yang membuat duniaku lebih berwarna
Kalian
adalah mentari
Mentari
yang selalu menghangatkan semestaku
Kalian
adalah rembulan
Rembulan
yang selalu hadir menemani malamku
Kalian
adalah bintang
Bintang
yang setia menemani sang rembulan
Kalian
adalah angin
Angin
yang selalu berhembus menyejukkanku
Kalian
adalah murid-muridku
Pelangi
yang akan selalu ada di hatiku
pantesan aja ada murid yang "lengket" bukan kepalang ;p
ReplyDeletehaha hubungannya apa? wkwkw
Delete