Sore
ini, menjelang berbuka puasa, aku pergi ke kedai nasi yang ada di depan Masjid
Fatimatuzzahra. Aku memesan menu favorit kesukaanku, yaitu “ayam selasih”.
Pesananku sedang disiapkan, pandanganku tertuju pada seorang muslimah yang
mengenakan jilbab berwarna biru muda, dipadu padan dengan gamis panjang hingga
mata kakinya. Mataku seolah tidak ingin berhenti untuk menatapnya. Ada rasa
yang secara tiba-tiba menyeruak di dalam dada, sebuah rasa yang aku sendiri
tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi pada hatiku. Inikah yang
namanya cinta pada pandangan pertama?
Saat
lamunan sedang menggunung di dalam benakku, kemudian aku dikejutkan oleh sapaan
seorang anak kecil,
“Ustadz
Adam,”
“Astaghfirullah,”
aku mengucapkan istighfar atas apa yang baru saja kulakukan. Tidak seharusnya
aku menatap muslimah yang ada di depanku dengan pandangan seperti itu. Tuhan
sangat tidak menyukai apa yang baru saja kulakukan. Aku tidak menjaga
pandanganku. Seharusnya aku bisa menjaga pandanganku dengan baik.
Aku
tersenyum kemudian menjawab sapaan anak kecil tadi, dia adalah adik dari salah
satu muridku. Entah dari mana dia mengenalku, mungkin saja karena aku sering
makan disini, jadi dia hafal wajah dan namaku. Anak kecil tadi terus
berlari-lari kecil ke arahku, ditangannya ada sebuah bolpoint berwarna merah.
Dia mencoret-coret dinding kedai nasi.
“Nulisnya
jangan di tembok, Dek” ucap muslimah yang sekarang sedang duduk tidak jauh dari
hadapanku.
“Ini
pacal Ustadz Adam, ya?” ucap malaikat kecil itu dengan lidahnya yang masih
belum terlalu sempurna mengucapkannya.
Seketika
aku terbatuk mendengar pertanyaannya. Air minum yang sedang kuminum muncrat ke
bagian luar mulutku. Dan sepasang mata muslimah yang ada di depanku terlihat
tersenyum, dan memberikan sehelai sapu tangan padaku.
“Pakai
ini, Mas.”
Di kedai
nasi ini memang tidak ada tissue. Aku mengambil sapu tangannya, kemudian
membersihkan air yang sedikit membasahi kemeja lengan panjang berwarna biru
yang kukenakan.
“Terimakasih,
Mbak.” Ucapku pelan. Jantungku berdetak, perasaanku tak menentu.
Muslimah
itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku hanyut dalam diam, hanyut
dalam pikiranku sendiri. Anak kecil yang tadi mendekatiku, sekarang sedang
asyik dengan bolpoint yang ada di tangannya. Menu yang kupesan untuk berbukan
masih belum siap. Aku masih harus menunggu.
Yaa
Allah, haramkah jika aku jatuh cinta pada pandangan pertama ini? Aku tidak bisa
memungkiri perasaanku ini. Kepada Engkaulah aku mengadukan segala rasa yang
sekarang sedang berkecamuk dalam hatiku. Baru kali ini aku merasakan perasaan
seperti ini. Pandanganku tak menentu saat kedua mata itu beradu dengan kedua
mataku. Aku malu padaMu, Yaa Allah.
***
Keringatku
membasahi kaos oblong yang kukenakan. Aku terus memacu sepeda yang kupakai,
menikmati suasana pagi hari Minggu di sekitar alun-alun Kota Purwokerto. Aku
dan dua orang muridku bersepeda, mengirup sejuknya udara pagi, dan merasakan
dinginnya udara dipagi hari nan mendung ini.
“Ustadz,
aku coba sepedanya, ya.” Ucap salah satu muridku. Dia ingin memacu sepedaku dan
aku memacu sepedanya.
Kakiku
dengan gontai memutar pedal sepeda, sepertinya tenagaku sudah habis terkuras.
Tidak biasanya aku merasakan pegal di kedua betisku seperti ini. Biasanya aku
mampu bersepeda sejak pukul enam pagi, hingga pukul delapan. Namun tidak dengan
hari ini, aku hanya mampu bersepeda tidak lebih dari 30 menit. Dan kami pun
berhenti di salah satu tempat makan cepat saji, untuk menikmati menu sarapan
yang tersedia.
Aku meletakkan
sepedaku di tempat parkir, kedua muridku sudah terlebih dahulu masuk dan duduk
di kursi bagian depan. Jam masih menunjukkan pukul 6.45 pagi, kami masih harus
menunggu 15 menit lagi, baru bisa memesan menu yang akan kami nikmati.
Aku dan
kedua muridku berbincang begitu akrab, bersama mereka aku merasakan kebahagiaan
yang begitu dalam. Aku bahagia bisa menjadi bagian dari mereka. Dan saat
perbincangan sedang berlangsung hangat, aku mendengar seseorang mengucapkan
salam dan menyebut namaku.
“Assalamu’alaikum
Ustadz Adam.”
“Wa’alaikumussalam,”
aku menjawab salam sambil membalikkan badanku ke arah ucapan salam barusan. Dan
perasaan aneh pun kembali hadir, perasaan yang sama saat pertama aku
melihatnya. Dia menangkupkan kedua tangannya di dada, kemudian mengambil posisi
duduk tidak jauh dari hadapanku. Dia datang tidak sendirian, melainkan dengan
seorang anak kecil.
“Itu
siapa, Ustadz?” Tanya salah seorang dari muridku yang ternyata menangkap
pandanganku yang sedari tadi tertuju pada muslimah dan seorang anak kecil yang
sekarang duduk hanya beberapa meter di hadapanku.
“Bukan
siapa-siapa.” Jawabku sambil berusaha setenang mungkin. Aku tidak ingin mereka
tahu bahwa aku sedang merasakan gejolak aneh di dalam dada.
***
Idul
Fitri sudah berlalu, hari ini syawal akan berakhir. Aku sudah menyelesaikan
puasa syawal sejak dua hari yang lalu. Dan sekarang aku sedang duduk dibagian
pojok kanan masjid, menghadiri acara silaturahmi keluarga besar Masjid Fatimatuzzahra.
Banyak tamu undangan yang datang. Aku memandangi satu persatu tamu undangan
yang hadir, dan lagi-lagi mataku menemukan sosok yang beberapa hari ini sudah
membuatku gelisah. Aku terus mengadu pada Allah akan rasa ini.
Yaa
Allah,
Jika
memang ini adalah cinta, jangan jadikan cinta ini sebagai penghalang cintaku
padaMu. Jika memang ini adalah rasa yang Engkau ridhoi, aku akan meminangnya
karenaMu. Aku tidak ingin berlama-lama dengan rasa ini. Bantu hamba Ya Rahmaan.
“Dia
adiknya Ustadz Wildan,” ucap salah seorang yang duduk di sampingku.
Dahiku
berkerut,
“Siapa?”
“Muslimah
yang sedari tadi antum lihat itu adiknya Ustadz Wildan.”
Jadi
muslimah itu adalah adiknya Ustadz Wildan? Tanyaku pada hati. Wildan, dia
adalah salah satu dosenku di kampus dulu, sekarang beliau mengajar di salah
satu kampus yang ada di Purwokerto.
***
Cahaya
redup rembulan menemani shalat malamku, aku kembali mengadu padaNya. Aku sudah
menyampaikan keinginanku pada Ustadz Wildan, aku sudah berkata jujur padanya
bahwa aku ingin menikahi adiknya. Hatiku sudah yakin dengan pilihanku. Aku
sudah melakukan shalat istikharah guna memohon petunjuk dari Sang Pencipta. Dan
Allah memberikan jawaban atas doaku. Aku semakin mantap dengan semua yang
kuputuskan. Mungkin memang sudah waktunya aku menikah.
Namun
Tuhan masih belum menghendaki cinta ini membangun hubungan menuju ridhoNya. Di
siang yang terik, Ustadz Wildan menemuiku, mengajakku makan siang di salah satu
warung makan yang tidak jauh dari rumahku. Aku berharap apa yang aku inginkan
bisa terwujud. Aku ingin menikahi Aisyah, adik kandungnya.
“Syukron,
Antum sudah bersedia datang memenuhi undangan Ana.” Ucap Ustadz Wildan. Aku
menjabat tangannya, kemudian mengambil posisi duduk di dekatnya.
“Ana
mohon maaf baru bisa ketemu Antum sekarang. Ada hal yang perlu Ana bicarakan.”
“Tentang
apa, Ustadz?” ucapku sambil mencoba untuk lebih tenang.
“Tentang
Aisyah. Ada hal yang baru diutarakannya pada Ana. Dan ini berkaitan dengan
keinginan Antum meminang Aisyah sebagai istri.”
Aku
menelan ludahku, kemudian mencoba untuk menenangkan hatiku dengan segelas air
putih yang ada di meja makan.
“Ada apa
dengan Aisyah, Ustadz?
“Hati
Aisyah sudah memilih laki-laki lain sebelum Antum datang meminangnya.”
Kalimat
itu singkat, padat dan menghancurkan benteng pertahananku. Aku hanya diam dan
berusaha untuk menguasai hatiku yang gelisah. Kusebut asmaNya, mengharap Ia
memberikanku ketenangan mendengar semua ini.
Terik
matahari tak lagi kurasa
Pikirku
melayang entah kemana
Langkah
kakiku terus berjalan
Menyusuri
jalanan yang berbatu
Yaa
Allah,
Kembalikan
ketenangan hatiku
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan