“Ibuuuuuu”
Aku
tersentak, terbangun dari tidur. Kepalaku terasa nyeri seperti ada luka. Kedua
kaki dan tanganku dipenuhi perban yang sudah memerah karena bekas darah. Kugerakkan
kedua kakiku, namun aku tidak bisa merasakan gerakan kakiku. Kucoba untuk
menggerakkan kedua tanganku, namun kedua tanganku hanya diam menetap. Kucoba
untuk memiringkan badanku, namun hanya bagian kepalaku yang mampu untuk
bergerak, menoleh ke arah kiri dan kanan. Aku panik, aku berteriak sekuat
tenaga memanggil ibu. Aku mencari-cari sosok itu, namun aku tidak bisa
menemukan sosok ibu di dalam ruangan yang sekarang menjadi tempatku terbaring.
Hanya ada beberapa kotak obat-obatan yang membuatku mual ingin muntah.
Aku
masih berteriak memanggil ibu, namun ibu tak kunjung datang menghampiriku.
Seorang suster masuk ke ruanganku, mungkin karena mendengar teriakanku yang
memenuhi seluruh penjuru ruangan.
“Ada
yang bisa saya bantu, Mas?” tanya suster berbasa-basi.
Aku
mengacuhkan suster yang tersenyum di depanku. Aku tidak memedulikan dirinya
yang berusaha untuk menenangkanku, berusaha untuk mencari tahu apa yang mungkin
bisa dia lakukan untuk membantuku. Aku masih berteriak memanggil ibu.
“Ibu….Ibu…Ibu….”
Entah
sudah berapa kali kuteriakkan panggilan ibu, namun ibu tidak mendengar
panggilanku. Ibu membiarkan aku terbaring lemah dengan kelumpuhan, ibu bahkan
tidak ada di kamarku saat aku sedang dalam keadaan seperti ini.
“Dimana
ibu, Sus?” tanyaku pada suster yang masih berdiri di hadapanku.
Kali
ini suster tidak menjawab pertanyaanku. Ingin rasanya kugoncang tubuhnya agar
dia mau menjawab pertanyaanku, namun aku tidak mampu melakukan itu. Aku
mengulangi pertanyaanku pada suster yang mengenakan pakaian kebanggaannya
sebagai suster.
“Suster,
ibu dimana?”
Dia
masih diam. Suster tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah membelakangiku dan
mengambil kotak obat-obatan. Aku tidak bisa mengingat apa-apa selain ibu. Kali
ini ingatan akan ibu memenuhi benakku. Aku ingin bertemu dengan ibu. Apakah ibu
baik-baik saja? Dimana ibu? Segudang pertanyaanku tentangnya tidak mampu
kujawab sendiri. Aku mencoba untuk bangkit dari tempat tidur, namun aku malah
terjatuh.
“aw…ww”
Aku meringis menahan sakit.
Suster
terlihat kaget saat mengetahui aku terjatuh. Dia sedang menyiapkan obat-obat
yang mungkin harus aku minum demi kepulihanku. Dia membantuku kembali ke
ranjang, membantuku berbaring. Aku masih menyebut “Ibu” dengan suara yang
pelan. Tenagaku habis. Aku kelelahan.
“Silahkan
istirahat, Mas” ujar suster sambil memberikan segelas air putih dan tiga butir
pil yang berwarna putih dan berbentuk kotak.
“Haruskah
saya meminum semua pil ini?”
Suster
mengangguk. Aku meminumnya dengan bantuan suster, kemudian aku terlelap dalam
tidur. Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Mungkin dengan lelapnya tidur,
aku akan bisa lebih tenang saat bangun. Dan aku berharap akan kehadiran ibu.
∞
Ibu
memakai kebaya berwarna ungu muda, rambutnya disanggul tinggi, wajahnya dipoles
make up yang membuat ibu terlihat lebih muda dari usianya. Ibu memang
tidak pernah merias wajahnya dengan berbagai macam bedak, atau memoles bibirnya
dengan lipstick. Ibu tidak pernah melakukan itu. Ibu hanya membiarkan
wajahnya terlihat apa adanya. Namun berbeda dengan hari ini, ibu merias
wajahnya dengan bantuan seorang pegawai salon.
Hari
ini adalah hari bahagia, karena hari ini ibu akan melihatku menikah dengan
Jamilah calon istriku. Ibu sangat menyukai tutur kata Jamilah yang halus,
senyumnya yang meneduhkan, jilbabnya yang menutupi bahu hingga dadanya, dan
jubahnya yang terjuntai panjang menutupi lekuk tubuhnya. Dia wanita sholehah.
Aku pun bahagia bisa meraih hatinya untuk menjadi pendamping hidupku.
“Jamilah
itu adalah bidadari surga, dia baik, sholehah, dan dia juga cantik” ucap ibu
padaku yang sedang memakai baju pengantin yang sudah kusiapkan.
Aku
tersenyum mendengar ucapan ibu, kemudian aku menciumnya.
“Ibu,
terimakasih atas kasih yang telah engkau berikan padaku. Raihan bahagia menjadi
putra ibu.” Kemudian kami berpelukan. Ada air mata ibu yang menetes di jasku.
Menjelang
akad nikah, ibu bertingkah sedikit aneh. Ibu mondar-mandir, kemudian memerhatikan
suasana yang ada di sekeliling rumah. Ibu melakukan itu beberapa kali. Aku
merasakan ada yang sedang ibu khawatirkan. Tapi, apa yang ibu risaukan?
Mungkinkah naluri seorang ibu sedang merasakan sesuatu yang mungkin akan terjadi?
Entahlah. Aku menghampirinya, ingin memastikan bahwa ibu baik-baik saja.
“Ibu,
ada apa? Ayo masuk ke dalam, akad nikah akan segera dimulai.” Pintaku pada ibu.
Di
wajah ibu, aku bisa melihat kegelisahan. Di wajah ibu, aku bisa melihat ada
sesuatu yang sedang membuatnya takut. Namun ibu tidak memberitahuku apa sebenarnya
yang membuatnya gelisah.
“Kamu
masuk saja, ibu masih mau di luar.” Jawab ibu sambil memegang tasbih berwarna
putih yang sedari tadi dipakainya untuk memuji Tuhan.
Aku
tidak ingin memaksa ibu, aku membiarkan ibu di luar sendirian, sementara aku
masuk ke dalam rumah, menunggu Pak Penghulu yang akan menikahkanku dengan
Jamilah. Suasana akad nikahku memang tidaklah banyak undangan yang hadir. Aku
memang sengaja tidak mengundang sanak saudara. Aku hanya ingin proses
pernikahan ini dihadiri oleh kedua orang tua Jamilah, Ibu, Pak RW dan Pak RT
yang menjadi saksi, Pak Penghulu, dan Kak Hamzah yang merupakan kakakku
satu-satunya.
Aku mendengar
suara gemuruh yang keras, suara teriakan dari warga, dan suara ibu yang
memanggil namaku. Aku keluar rumah, namun belum sempat aku menghampiri ibu,
banjir bandang datang dan menghanyutkan
rumah-rumah yang ada di kampungku, menghanyutkan warga yang tidak sempat
menghindari amukan banjir yang datang secara tiba-tiba. Sepertinya air berasal
dari bendungan yang ada di ujung desa, atau mungkin saja bendungan itu hancur
karena tidak kuat menahan volume air yang terus meningkat bersamaan dengan
musim hujan, hingga menyebabkan banjir bandang. Ibu ikut terbawa arus, ia
melambaikan tangannya ke arahku, memanggil-manggil namaku, dan memintaku untuk
menolongnya. Ibu mengucapkan puji-pujian pada Tuhan. Dalam keadaan seperti ini
tidak banyak yang bisa ibu lakukan. Hanya ada Tuhan tempatnya mengadukan segala
asa.
Aku juga
hanyut dibawa arus air yang deras, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Badanku terasa
sakit saat terbentur reruntuhan rumah. Darah segar mengalir dari tanganku saat
tersangkut di puing-puing rumah yang runcing. Aku dan ibu terpisah, aku hanya
bisa melihat ibu dari kejauhan, dan aku berteriak saat melihat ibu tertimpa
sebuah pohon yang tidak bisa menahan kuatnya banjir yang sedang menghantam
desaku. Ibu menghilang dari pandanganku, ada darah yang mewarnai aliran banjir,
darah itu mungkin dari tubuh ibu yang tidak bisa menghindari pohon yang jatuh
menimpanya. Beberapa saat kemudian, aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
Hanya kegelapan yang ada di penglihatanku, suara anak-anak kecil yang berteriak
meminta tolong, serta suara teriakan warga yang hanyut bersama air. Aku
pingsan.
∞
Kubuka
kedua mataku, kulihat ke sekeliling ruangan, ada seseorang yang bersujud di
atas sajadah yang ada di lantai. Ia memakai mukena putih bersih. Kudengar
untaian doa yang ia panjatkan. Suara itu, aku mengenal baik suara itu.
Mungkinkah itu ibu? Lidahku kelu saat aku ingin memanggil ibu, nafasku sesak saat
aku ingin memintanya membantuku untuk duduk, dan airmataku jatuh saat aku ingin
mengatakan padanya bahwa,
“Aku
mencintainya”
Aku
terus mencoba memanggil ibu,
“Ibu…”
Namun
ibu tetap di atas sajadahnya, ibu sama sekali tidak menoleh ke arahku.
Mungkinkah ibu sudah tidak bisa mendengarku? Setelah selesai berdoa, ibu berdiri,
melipat sajadahnya dan meletakkannya di atas meja kecil tempat suster
meletakkan obat-obatan. Ibu berjalan menghampiriku, mengusap keningku, dan
menciumku. Dari senyumnya, ibu terlihat begitu bahagia. Raut wajah ibu
berseri-seri.
“Relakan
kepergian ibu, Nak” ucap ibu.
Setelah
mengucapkan itu, ibu beranjak pergi menjauh dariku. Bayang-bayang ibu perlahan
menjauh dan menghilang dari hadapanku. Aku berteriak memanggilnya, aku
berteriak sekencang-kencangnya, namun ibu sudah pergi meninggalkanku.
“Ibu…uuuuuu….Ibu…uuuuuu”
Tiba-tiba
seseorang mengguncang tubuhku, ternyata aku baru saja memimpikan ibu. Ada air
mata di kelopak mataku. Ada kakak yang sekarang berdiri di sampingku.
“Kak,
biarkan aku bertemu ibu” ucapku sambil menangis.
“Relakan
kepergian Ibu, biarkan ia tenang di alam sana. Percayalah, Tuhan akan
menempatkan ibu di surga-Nya.” Ucap Kak Hamzah, kemudian kami berpelukan.
Tuhan,
di pertengahan malam-Mu
Aku
kembali mengingat Ibu
Damaikah
ia di sisi-Mu?
Berilah
ibu tempat yang layak di sisi-Mu
Dan
biarkan aku bersama ibu di surga-Mu
huwahhhh... pak guru... *nangis sesengukan*
ReplyDeletewuih kok bisa sampai nangis gitu hehe :)
Delete