Mobil yang
akan membawaku pergi perlahan meninggalkan kampung halaman. Emak melepas
kepergianku dengan air mata. Entah kapan aku bisa bertemu dengannya lagi, aku
pun tidak tahu akan hal itu. Rasanya kali ini adalah pertemuan terakhirku
dengan Emak. Perpisahanku dengan orang yang telah melahirkanku ke dunia ini,
membesarkanku, dan mendidikku adalah bagian dari kesalahanku. Iya, salahku. Aku
yang telah membuat perpisahan ini terjadi. Aku yang telah membuat mata Emak mengeluarkan
bola-bola kristal, kemudian membasahi pipinya yang sudah dipenuhi oleh
garis-garis kehidupan.
Aku
menoleh ke belakang, melihat kembali Emak yang masih mematung di pinggir jalan,
melambaikan tangannya padaku, kemudian mengusap air matanya dengan tangannya
yang sudah lelah menggenggam derita hidup. Lambaian itu seakan-akan mengajakku
kembali bersamanya, tidak ingin berpisah denganku, memintaku turun dari mobil
dan berlari memeluk tubuhnya yang sudah ringkih.
Emak,
maafkan aku yang telah menyakitimu, tapi Emak tahu kan betapa aku menyayangimu?
Memujamu? Dan tidak pernah terbesit dalam benakku untuk meninggalkanmu atau menyakitimu.
Tapi, kali ini aku meninggalkanmu dan menyakitimu, meski bukan aku yang
menginginkan semua ini terjadi. Keadaan yang memaksaku melakukan semua ini. Aku tidak pernah merencanakan semua ini
terjadi, dan Emak tahu akan hal itu. Biarlah yang lalu menjadi kenangan pahit
dalam hidupku. Jika semua ini adalah akhir dari perjalanan panjang hidupku,
maka aku pun akan merelakan diri mati di tiang gantungan.
Aku
tidak ingin Emak melihatku mati dengan leher yang diikat tali, apalagi mati
karena ditembak. Sebelum polisi membawaku pergi dari Emak, aku sudah meminta
Emak untuk tidak datang menemuiku selama di bui, aku juga meminta Emak untuk
berjanji tidak akan datang pada saat hukuman gantung itu menjadi akhir dari
hidupku. Biarlah Emak menunggu kedatangan keranda mayatku di rumah,
memandikanku, kemudian menyalatiku dan menyemayamkan tubuhku di dalam tanah
sendirian.
Ibu
mana yang rela melihat anaknya mati digantung? Setelah sekian lama Emak
membesarkanku dengan tetesan keringat yang menjadi saksi perjuangan hidupnya,
aku tahu perasaan Emak sedang tersakiti oleh jalan hidup yang aku lalui. Dan
aku meminta maafmu, Mak.
Jika
esok adalah akhir hidupku
Biarkan
mentari tetap menyapa semesta
Meski
esok aku tidak bisa melihat sinarnya
Namun
Emak masih ada di semesta
Biarkan
duka itu pergi dari dirinya
Biarkan
bahagia menghampirinya
Dan
membuat Emak tersenyum
Meski
aku sudah tidak bisa melihat senyumnya
∞
Emak
berdiri di pinggir sawah, melihat aku yang sedang mengayunkan cangkul, membersihkan
jerami yang tumbuh di pelang sawah. Padi sudah mulai menguning, tiga minggu
lagi sudah saatnya untuk dipanen. Panen tahun ini sepertinya akan lebih
melimpah dari tahun lalu. Padi-padi yang menggantung, menunduk menahan beratnya
sang buah yang terlihat gemuk dan berenas. Semoga panen kali ini berkah, bisa
memenuhi kebutuhanku dan Emak, serta bisa membagi sedikit rizki pada mereka
yang membutuhkan.
Dari
kejauhan, aku bisa melihat Kak Doni berjalan menuju ke arah Emak, kemudian
berbicara dengan Emak dengan gerak tubuh yang sangat tidak mempunyai etika. Aku
melihat Kak Doni mendorong-dorong tubuh Emak yang kurus. Emak terlihat
menghapus air matanya, terduduk di pelang sawah karena dorongan Kak Doni. Aku
berlari menuju Emak, sambil membawa cangkul yang tadi kupakai untuk
membersihkan jerami. Aku mendengar ucapan Kakak pada Emak, meski samar-samar.
Barulah setelah aku dekat, aku bisa mendengar dengan baik apa yang sebenarnya
sedang terjadi. Aku memeluk tubuh Emak, kemudian membantunya berdiri.
“Mak,
aku membutuhkan sertifikat sawah itu sebagai jaminan usahaku.” Ucap Kak Doni
sambil membentak Emak yang sedang menangis.
“Tapi,
Nak…Sawah ini adalah satu-satunya peninggalan mendiang Bapakmu, Emak tidak
sanggup jika nantinya sawah ini akan menjadi milik orang lain, seperti yang
sudah kamu lakukan pada rumah kita.”
“Aku
hanya meminjamnya sebagai jaminan, bukan untuk dijual.” Jawab Kak Doni bengis.
Bukan
kali ini sebenarnya Kak Doni memaksa Emak untuk memberikan sertifikat sawah
sebagai jaminan untuk usahanya. Sudah berulang kali. Tapi Emak tidak pernah
memberikannya pada Kakak. Kak Doni juga sudah berulang kali membuat Emak
menangis. Dulu, ia juga meminjam sertifikat rumah sebagai jaminan untuk
meminjam uang di Bank. Tapi Kakak tidak bisa melunasi hutangnya di Bank,
kemudian pihak Bank menyita rumah yang kami tempati. Emak menangis saat
mengetahui rumah disita oleh pihak Bank. Emak tidak membenci Kak Doni karena
telah lalai menjaga amanah yang Emak titipkan. Emak hanya menangis, mengingat
begitu banyak kenangan yang ada di rumah yang telah kami tempati hampir dua
puluh tahun lamanya. Dan kini, aku dan Emak tinggal di gubuk yang ada di
pinggir sawah. Sedangkan Kak Doni sudah tinggal di rumahnya sendiri. Aku tidak
tega meninggalkan Emak sendirian, aku memilih untuk menemaninya.
“Nanti
kalau ada rizki, kita bisa beli rumah lagi” ucap Emak kala itu dengan suara
yang menahan luka.
Kak
Doni melanjutkan serapahnya pada Emak.
“Dasar
ibu tidak berguna” teriak Kak Doni, kemudian mendorong Emak hingga terjerambab
ke tengah sawah, dan bermandikan lumpur. Kak Doni membiarkan Emak menangis di
dalam lumpur, lalu beranjak pergi meninggalkan Emak yang sedang menangis dan
aku yang mematung. Aku tidak sempat melindungi Emak dari tangan Kak Doni.
Aku
tidak tahan melihat perlakuan Kak Doni, selama ini aku hanya diam melihat semua
tingkahnya pada Emak yang semenan-mena. Kali ini, aku sudah tidak bisa menahan
diri lagi. Kuayunkan cangkul yang sedang kupegang, dan kupukulkan dengan sekuat
tenaga ke kepala Kak Doni. Ia tidak sempat mengelak, karena aku memukulnya dari
belakang. Darah segar mengalir deras dari kepalanya, ia terjatuh.
“Ku…rang…..ajjjj…arrr”
ucapnya terbata-bata, kemudian matanya menutup, mulutnya mengatup, detak
jantungnya berhenti dan ia pergi untuk selamanya.
Itu
adalah akhir kisah Kak Doni, dan kini aku sedang menunggu akhir kisahku.
Setelah mengikuti proses persidangan yang alot dan panjang, pihak pengadilan
memutuskan hukuman gantung sebagai balasan atas apa yang telah kuperbuat.
Mereka tidak mendengarkan Emak yang sudah membelaku mati-matian, menangis, dan
mengharap pihak pengadilan tidak menghukum mati permata hatinya. Tapi,
pengadilan menjadikan keputusan itu sebagai keputusan akhir. Bukannya aku tidak
mencoba untuk membela diri, tapi semua pembelaanku seakan tidak ada yang benar.
Semua pembelaan yang pernah aku ajukan menguap, hilang tak berbekas.
Emak,
maafkan aku
Kini
aku sudah tidak bisa lagi menjagamu
Membiarkanmu
hidup sendirian di gubuk derita
Tapi
aku percaya Tuhan akan menjaga Emak hingga akhir hayat
Kok bikin cerita sedih sihh ;-(
ReplyDeleteidenya sedang pengen nulis yang sedih2 ni :))
Deletehiks... hikss.. sampe merinding saya pak bacanyaa...
ReplyDeleteberarti tujuan saya menulis ini tercapai :)
Deletenangis aku membacanya
ReplyDeletenangis aku membacanya
ReplyDeleteaihh bukan maksud hati ingin membuat pembaca menangis.
Delete