Bersatunya
Dua Hati Karena Cinta (4)
Kini,
engkau duduk di sampingku
Mendekapku
dengan hangatnya cinta
“Winda, maukah
engkau menikah denganku?”
Pertanyaan itu
mengalir pelan dari bibir Evan, disaksikan Bang Ucup yang sedang sibuk melayani
ibu-ibu yang membeli dagangannya. Meski pelan, tapi Bang Ucup dan ibu-ibu itu
bisa mendengar dengan jelas apa yang baru saja diucapkan oleh Evan. Winda diam
membisu, hening. Evan menunggu jawaban kekasih hatinya. Bukan jawaban “tidak”
yang ingin dia dengar, melainkan jawaban “iya” yang ingin dia dengar dari sang
kekasih. Bang Ucup dan ibu-ibu yang sedang membeli sayur mayur ikut hanyut
dalam suasana hening. Mereka semua menunggu jawaban yang akan mengubah dunia
Evan. Jika jawaban “Iya”, maka dipastikan kebahagiaan akan memuncak dalam jiwa
Evan. Akan tetapi, jika jawaban “tidak” yang winda ucapkan, maka bunga-bunga
cinta yang ada di hatinya akan layu.
Winda sama sekali
tidak pernah membayangkan bahwa dia akan dilamar di depan gerobak sayur Bang
Ucup. Evan memang bukan pria yang romantis, seharusnya dia datang ke rumahnya
dan menyatakan keinginannya untuk melamarnya di depan kedua orangtuanya. Evan
tidak melakukan itu. Tapi, pertanyaan Evan mampu menumbuhkan keyakinan yang
kuat dalam diri bahwa dia adalah pria yang Tuhan janjikan untuknya. Dia adalah
pria yang mencintainya dengan penuh ketulusan. Dia mengajarkannya banyak hal
tentang hidup, yang membuat hari-harinya lebih berwarna.
Winda masih
diam, sambil memainkan kantung plastik berwarna hitam yang berisi wortel segar
dan sayur bayam. Dia melihat ke arah Bang Ucup, laki-laki itu hanya tersenyum
melihatnya. Bang Ucup tersenyum bahagia dan berharap mereka berdua bisa menyatu
membina rumah tangga. Kisah cinta mereka sudah bagian dari kehidupannya, di
gerobak sayurnya mereka menata hati, dan membina cinta.
“Haruskah aku
menjawabnya sekarang?” tanya winda.
“Tentu, Winda”
jawab seorang ibu yang berdiri di samping Bang Ucup sambil tersenyum kepadanya,
kemudian diikuti anggukan yang lainnya.
“Winda, aku
tidak memaksamu menjawabnya sekarang, engkau bisa menentukan sendiri kapan
waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Tanyakan pada hatimu, adakah aku
di dalam sana.” ujar Evan.
“Mas, beri aku
waktu, aku tidak bisa memutuskan sekarang.”
Evan mengangguk,
dia harus bersabar menunggu jawaban dari kekasih hati.
“Aku ingin Bang
Ucup dan gerobak sayurnya menjadi saksi cinta kita, aku akan menunggumu disini
sampai engkau menemukan jawaban apa yang akan engkau berikan padakau. Jika
engkau sudah menemukan jawaban, temui aku di sini, di depan gerobak sayur Bang
Ucup.”
Seandainya
gerobak itu bisa berbicara, mungkin dia akan memberitahukan hal ini kepada
sahabatnya sesama gerobak bahwa dia menjadi saksi cinta dua anak manusia. Kisah
cinta mereka berdua berbeda dengan yang lain, mereka bertemu di depan gerobak
sayur, saling menyatakan cinta, dan sekarang Evan melamar Winda di depan
gerobak sayur Bang Ucup. Kisah cinta yang langka.
Winda duduk
sendirian di kursi kayu yang ada di belakang rumah majikannya, sambil melihat
ke arah Gunung Slamet yang diselimuti oleh awan putih. Mbok Inah
menghampirinya, kemudian duduk di sampingnya. Dia melihat ada kegelisahan di
wajah Winda.
“Nduk, lagi mikiri
apa? Dari tadi mbok perhatikan kamu melamun terus.”
“Mbok, tadi pagi
Mas Evan melamarku, tapi aku belum memberikan dia jawaban. Aku masih bingung.”
“Semua keputusan
ada padamu, turuti apa kata hatimu. Karena hatimu yang paling tahu tentang
perasaanmu. Jika memang ada cinta antara hatimu dan hatinya, maka kamu pasti
tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan lupa minta petunjuk kepada Tuhan,
karena dia yang mengendalikan hatimu.”
Mbok Inah
mengusap rambut Winda dengan penuh kasih sayang. Dia sudah menganggap Winda
seperti anaknya sendiri. Diusia senjanya, dia hanya hidup sendiri. Tidak ada
anak-anak yang menemani hari-harinya, karena dia memang tidak mempunyai anak.
*
Sudah beberapa
hari ini, Evan tidak melihat Winda membeli sayuran, hanya ada Bang Ucup dan
ibu-ibu komplek yang berbelanja.
“Bang, sudah
beberapa hari ini Winda nggak ada kelihatan, dia ada cerita sesuatu dengan Bang
Ucup nggak?” Evan duduk di trotoar sambil menyesap segelas kopi hitam menemani
pagi yang mendung.
“Kemarin, Mbok
Inah bilang Winda sedang pulang kampung. Ada urusan keluarga katanya.”
Evan
meninggalkan Bang Ucup dan gerobak sayurnya, dia berjalan menyusuri jalan
setapak yang ada di taman sekitar komplek. Dia Menata kepingan rindu yang
menyesakkan dada. Tiba-tiba dia teringat akan sahabat-sahabatnya yang ada di
Jogja. Apa kabar mereka? Semenjak selesai kuliah di UGM, mereka tidak pernah
bertemu lagi. Sudah hampir satu tahun lamanya mereka berpisah. Aldo, Faraj, dan
Hesta memilih melanjutkan pendidikan magister di kampus yang sama. Sedangkan
Evan kembali ke kampung halaman, dia menjadi seorang guru. Dia mempunyai keinginan
yang kuat untuk mengabdikan ilmu yang ia dapat di tempat dimana dia dilahirkan.
Purwokerto adalah kota kecil, namun menyejukkan. Keindahan Gunung Slamet selalu
menyapanya setiap hari, kesejukan udaranya membuatnya rindu untuk kembali.
Kabar terakhir
yang dia dengar, Faraj sudah menikah dengan wanita pujaannya di Lombok. Dia membawa
istrinya ke Jogja untuk menemaninya. Faraj memang penuh misteri,
sahabat-sahabatnya tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai kekasih hati.
Sedangkan Aldo dan Hesta masih setia dengan kesendirian mereka.
Evan membuka
album photo kebersamaannya dengan ketiga sahabatnya, rumah kontrakan mereka
yang sederhana menjadi saksi kuatnya ikatan bathin antara mereka. Kampus UGM
menjadi saksi bisu persahabatan yang terjalin antara mereka. Dia merindukan
semua kenangan itu, merindukan sahabat-sahabat yang sudah mengajarkannya banyak
hal tentang arti hidup dan juga tentang cinta. Dia merindukan tawa ketiga
sahabatnya, mereka sering menertawakan perjalanan cintanya pada Winda. Menurut
mereka, cintanya itu aneh dan lucu.
Sore hari adalah
waktu yang paling mereka tunggu, mereka sering menghabiskan sore di Stasiun
Kereta Api Lempuyangan. Kawasan teteg sepur ini selalu dipadati oleh
masyarakat yang menikmati suasana sore di Stasiun. Jogjakarta adalah kota
budaya, menikmati sore di Stasiun Lempuyangan adalah kegemaran Evan dan ketiga
sahabatnya. Banyak orangtua yang membawa anak-anak mereka untuk menikmati sore,
menunggu malam tiba. Suara gelak tawa anak-anak yang bermain di sekitar
stasiun, petugas yang menjaga pintu perlintasan, para remaja yang sedang asik
mengabadikan kebersamaan mereka dengan pasangan, semua itu adalah bagian dari
episode persahabatan mereka. Sahabat, semoga ada waktu untuk bertemu kembali
dan mengulang kembali cerita-cerita yang sudah kita lalui.
Purwokerto
diguyur hujan, matahari sudah kembali ke peraduannya. Mungkin saja esok dia
akan kembali menyinari semesta, semua adalah kehendak Tuhan yang maha kuasa.
Evan duduk di meja belajarnya, melihat photo Winda yang sedang membeli sayuran
di gerobak sayur Bang Ucup. Dia sengaja mengambil gambar itu tanpa
sepengetahuan Winda. Sekarang, ada dua photo yang menemani malamnya, photo
Winda dengan seragam SMP, dan photo sedang membeli sayuran di depan gerobak
Bang Ucup. Saat rindu dengan si dia, dia mendekap erat-erat kedua photo itu
hingga dia tertidur lelap.
Pagi ini, suara
Bang Ucup sudah terdengar di depan gerbang rumah Evan. Evan segera berlari ke
luar rumah dan menemui Bang Ucup. Dia tidak bermaksud untuk membeli dagangan
Bang Ucup, namun dia berharap pagi ini bisa melihat senyum Winda yang sudah dia
nanti sejak belakangan ini. Sesuai dengan keinginan, Winda keluar dari rumah
dan menuju Bang Ucup. Hati evan berbunga-bunga, mekar, bak rumput yang sudah
lama menguning, kemudian disiram oleh air hujan yang jatuh membasahi semesta.
Bahagia memenuhi relung hati. Dia melihat wajah Winda, wajah itu memancarkan
kebahagian yang menyusup ke dalam hatinya. Mungkinkah ini adalah waktu yang
tepat? Winda akan memberikan jawab atas pintanya beberapa hari yang lalu? Ia
berharap demikian adanya. Rasanya, dia sudah tidak sanggup menunggu terlalu
lama. Dia ingin segera duduk bersanding dengan pujaan hati. Bidadariku, aku
menunggumu.
Winda berdiri di
ujung kanan gerobak sayur, sesekali dia memperhatikan Bang Ucup yang sedang
menikmati sensasi rokok lintingan. Rokok lintingan merupakan tembakau yang
dilinting dengan kertas rokok. Rokok itu selalu menemani Bang Ucup dan gerobak
sayurnya. Sedangkan Evan, dia berdiri di ujung kiri gerobak. Mereka berdua
hanya saling pandang, belum ada kata-kata yang mengawali pertemuan mereka.
Entahlah, mereka berdua sama-sama canggung untuk menyapa. Padahal, Winda sudah
menyiapkan jawaban yang akan ia berikan pada Evan. Akhirnya, Evan menghampiri
Winda, menyapanya dengan sapaan rindu. Keduanya sedang berbincang satu sama
lain, membiarkan Bang Ucup menjadi penonton setia drama cinta yang mereka buat.
Drama tentang cinta yang akan menghangatkan pagi dengan cerita-cerita cinta
yang mereka jalani bersama sinar mentari pagi.
“Mas, maaf sudah
membuatmu lama menunggu.”
“Tidak apa-apa,
mas rela menunggu kata cinta darimu. Jangankan satu minggu, satu abad pun akan
mas tunggu” jawab Evan gombal.
Winda tersipu
malu, dia menarik nafas dalam-dalam seolah-olah sedang menyiapkan keberanian
untuk memberi sebuah jawaban. Untuk menjawab ini semua, Winda tidak memutuskan
sendiri. Ada peran orangtua yang menjadi tempatnya mencurahkan kegundahan hati,
ada Tuhan tempatnya mengucapkan doa-doa agar jalan yang ia pilih diridhoi
oleh-Nya.
“Mas, aku…..”
ucapan Winda terhenti.
Evan membiarkan
Winda merangkai kata menjadi sebuah jawaban.
“Mas, aku mau
menjadi istrimu. Ketika mas datang menawarkan cinta kepadaku, aku melihat kedua
matamu, tidak ada keraguan di sana. Aku melihat cakrawala penuh cinta yang
terpancar dari sinar matamu. Aku melihat tatapan penuh butir-butir ketulusan.
Aku memercayai cintamu, dan aku ingin memiliki cintamu” ucap Winda sambil memberanikan diri untuk menatap
wajah Evan.
Kata-kata yang
mengalir dari Winda merambah jiwa Evan, membuat jantungnya berdetak bersama
waktu. Langit seketika cerah melihat senyum yang terukir di wajah Winda, tidak
ada keraguan yang ia sembunyikan. Jawaban itu tulus. Suasana bahagia menyeruak
seketika. Bang Ucup meneteskan air mata bahagia melihat dua hati yang menyatu
karena cinta. Mereka berhak bahagia karena cinta, gumamnya dalam hati.
-bersambung-
Tanyakan pada hatimu, adakah aku di dalam sana.” ujar Evan.
ReplyDeleteTunggu ya Evann... Saya cari hati saya yg hilang dulu, nanti saya tanyakan (Winda Gadungan) :D
haha niat ngerusuh. terimakasih sudah bersedia membaca tulisan saya :)
DeleteAkhirnya mereka menikah, yey, menunggu undangan :)
ReplyDeletetunggu kelanjutan ceritanya ya. :)
DeleteAku mau donk dilamar gitu.... *sambit arit* :D :D
ReplyDeletehaha. semoga segera ya :D
Deletehmmm...“Mas, aku mau menjadi istrimu. Ketika mas datang menawarkan cinta kepadaku, aku melihat kedua matamu, tidak ada keraguan di sana. Aku melihat cakrawala penuh cinta yang terpancar dari sinar matamu.
ReplyDeletebukankah itu terlalu nyastra?
hehehehe
emang di sengaja haha
Delete