Menikah, perempuan mana yang tidak ingin menikah? Menjalani hidup
dengan seseorang yang disebut Suami, berbagi suka maupun duka, saling
melengkapi kekurangan masing-masing, dan menjadi seorang Ibu. Begitu pun dengan
diriku, diumurku yang sudah tidak muda lagi, aku menanti hadirnya seseorang
yang akan meminangku, menjadikanku tambatan hatinya, menjadikanku permaisuri
dalam bahtera rumah tangganya.
Tidak bisa kupungkiri, kadang aku bertanya kepada Tuhan, siapa
jodohku Tuhan? Mengapa begitu lama hati ini Engkau biarkan kosong ? Izinkan aku mengetahui siapa kelak yang akan menjadi
suamiku, agar aku tidak perlu risau. Aku tidak ingin menjadi tuna cinta Tuhan.
Tapi, kembali aku menyadari bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang
yang akan menjadi suamiku, dan aku mempercayai itu.
Dan Kami menciptakan kalian
berpasang-pasangan. (QS. An-Naba’
[78] : 8)
*
Bapak memanggilku, mengajakku berbicara tentang seseorang yang
ingin datang ke rumah. Seseorang yang ingin mengenalku lebih jauh dengan ta’aruf.
Seorang lelaki yang sudah kukenal, katanya. Tapi siapa dia? Ah…aku tunggu saja
dia datang ke rumah. Jika memang dia jodohku, aku yakin Tuhan akan
mempersatukan kami.
“Afifah, nurut apa kata Bapak”
ujarku
Tuhan, inikah jawaban atas doa-doaku selama ini?
Aku duduk di depan meja rias di kamarku, memakai gamis dan jilbab panjang
berwarna ungu. Hatiku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentangnya, lelaki
yang malam ini akan datang ke rumah dan mengenalku melalui keluargaku. Siapa
dia? Benarkah aku sudah mengenalnya? Dimana? Kapan? Seabrek pertanyaan itu
datang secara bersamaan.
Seseorang mengetuk pintu kamarku,
“Afifah, Bapak menyuruhmu ke ruang tamu” Ibu mengagetkanku yang
sedang melamun.
Aku berjalan menuju ruang tamu dengan penuh tanda Tanya. Ibu
memegang erat jari tanganku dan membisikkan kata-kata yang menenangkanku,
“Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk hamba-Nya, Nak.”
Aku duduk di antara Bapak dan Ibu. Di depanku ada seorang lelaki
yang sudah tidak asing bagiku. Dia datang bersama kedua orangtuanya. Lelaki itu
sedang menundukkan pandangannya.
Lelaki itu adalah Mas Haikal, aku memang sudah mengenalnya sejak
Ramadhan tahun lalu, dia adalah salah satu Imam di masjid dekat rumah. Selama
Ramadhan, dia menjadi Imam shalat tharawih. Suaranya begitu merdu membaca ayat
demi ayat Kalam Tuhan. Banyak jama’ah yang memuji keindahan bacaannya, merdu
suaranya, dan kerendahan hatinya.
Aku memang tidak pernah berkenalan langsung dengannya. Aku hanya
sebatas tahu namanya, dan tentangnya dari cerita teman-teman akhwat-ku
yang menaruh hati padanya. Tapi, mengapa dia ingin mengenalku? Bukankah masih
banyak akhwat yang lebih cantik, cerdas, dan sholihah dariku?
Astaghfirullah, apa yang baru
saja kupikirkan? Bukankah Tuhan tidak pernah memandang kecantikan, kecerdasan
dan kekayaan seseorang sebagai landasan kemulian?
“Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat [49]:13)
**
Ayah mengenalkanku dengan Haikal dan kedua orang
tuanya. Aku menjabat kedua tangan Ibu haikal, kemudian menangkupkan kedua
tanganku di depan dada sebagai wujud penghormatanku kepada Haikal dan Ayahnya.
Aku tidak mungkin menjabat tangan mereka. Aku yakin mereka mengerti maksudku.
Perkenalan keluarga begitu hangat, Ayah Haikal
menceritakan tentang anaknya yang baru pulang ke Indonesia. Sebelumnya, dia
menuntut ilmu di Negeri Jiran Malaysia. Tepatnya di Universitas Kebangsaan
Malaysia. Haikal satu Universitas dengan Hanisah Adikku. Dia juga menceritakan
tentang niat anaknya yang ingin mengenalku lebih jauh melalui pendekatan
keluarga. Berharap akan ada niat yang sama antara diriku dan dirinya untuk
membangun cinta meraih ridho-Nya. Haikal bukan hanya sekedar ingin mengenalku,
dia langsung melamarku di depan kedua orang tuaku.
Aku sempat terkejut mendengar ucapan Ayahnya. Tapi
kucoba untuk menyembunyikan keterkejutanku, mencoba untuk tenang. Kupegang erat
tangan Ibu di sampingku, Ibu memandangku dan tersenyum.
“Saya serahkan semuanya kepada Afifah, karena dia
yang akan menjalani” Bapak menjawab maksud dan tujuan kedatangan keluarga
Haikal.
“Beri saya waktu untuk memikirkan hal ini”
jawabku.
***
Hanisah duduk di ruang makan, tidak jauh dari
ruang tamu. Dia adalah adik perempuan Afifah. Dia tidak sengaja mencuri dengar
perbincangan di ruang tamu. Ada embun di pojok sana, membasahi kedua bola
matanya. Ada sakit yang menjelma di dalam hatinya. Sakit seperti ditusuk-tusuk
duri tanpa belas kasihan. Terbayang dalam ingatannya saat pertama kali bertemu
dengan Haikal di Bangi, Selangor. Mereka
bertemu pada saat pertemuan Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Kebangsaan
Malaysia (PPI UKM). Sejak itu, dia mulai mengagumi sosok Haikal yang santun,
cerdas dan sederhana.
Tapi, dia mencoba untuk menyembunyikan semua itu
saat Afifah menghampirinya.
“Nisa, kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa, kak. Nisa ke kamar dulu.”
Hanisah berlalu meninggalkan Afifah yang
kebingungan melihat Adiknya. Dia sempat melihat bekas air mata yang membasahi
pipi Adiknya. Hanisah berlari masuk ke dalam kamar sambil menghapus air
matanya. Dia menuju kamar mandi, membasuh anggota badannya dengan air wudhu,
kemudian bersujud di atas sajadah panjang.
Ya Allah,
Ampuni hamba yang menangis bukan karena-Mu
Menangis karena kecintaanku kepada makhluk-Mu
Aku tidak ingin buta karena cinta kepada
ciptaan-Mu
Aku serahkan semua rasa ini pada-Mu.
Aku ingin mencintai karena kecintaanku kepada-Mu.
Setelah mengadukan segala keluh kesahnya kepada
Allah Tuhannya, ada ketenangan di hati Hanisah.
****
Haikal dan Afifah bersanding di pelaminan. Para
tamu undangan mengucap selamat atas pernikahan mereka, mendoakan mereka,
“Barakallahulakuma Wa Barakallahu’alaikuma Wa Jama’a
Bainakuma Filkhair”
Keduanya begitu serasi.
Sedangkan Hanisah, ia membaur bersama tamu
undangan, bercengkerama dengan mereka, mencoba untuk menepis rasa yang sedang
bergejolak di dalam dadanya. Ia mengenakan gamis dan jilbab panjang berwarna
merah marun. Dia cantik.
Dalam untaian do’a, Nisa mengadukan segalanya
kepada yang Maha Cinta, kepada Allah yang menilai hati manusia.
Ya Tuhan, anugerahkanlah kepadaku pasangan dan
anak-anak yang menggembirakan hatiku. Dan jadikanlah aku perintis orang-orang
yang bertakwa.
sumber gambar Disini
baguus cerpennya... ngajarin untuk belajar lebih ikhlas...doa di akhir itu,,, favorit saya...
ReplyDeleteRabbanaa hablanaa min azwaajina wa dzurriyatinaa qurrata a'yun waj'alnaa lil muttaqiina imaman. Nggregel jadinya.. :)
Semoga mendapatkan seseorang yg mencintaimu karena Allah ya. Amin
DeleteDoa yang sama juga untuk panjenengan, Pak :)
DeleteSemoga segera dipertemukan, jangan lupa krm undangannya ke saya :)
DeleteAamiin,,, dateng tapi yaaa.. hehehehe. Pak Guru juga kalau dapet orang purwokerto kan saya bisa main lagi ke purwokerto. *eh?* hehehehe
DeleteInsyaallah, jika diberi kesehatan saya akan datang :)
Deletebisa ijin share cerpennya?
ReplyDeleteUstadz, cerpen-cerpennya selalu menarik untuk dibaca..
ReplyDeletekeren.
:)
Delete