Prakiraan cuaca kemarin mengatakan bahwa Jakarta akan diguyur hujan hari ini. Sang pewarta juga sempat mengatakan bahwa sebaiknya warga yang hendak bepergian bersiap-siap akan angin kencang dan yang sedang marak pula, pohon tumbang.
Airin menyeka keringatnya. Hari ini panas. Ia mendengus sebal. Merasa bahwa seharusnya ia sadar, yang dikatakan hanyalah prakiraan, yang berarti itu adalah sebuah ketidakpastian. Jarum jam menunjukkan jam 9 pagi tapi panasnya terasa seperti tengah hari. Kendaraan masih merayap lambat. Mendenguskan asap-asap penuh racun yang dalam kenyataannya harus dihisap oleh makhluk bernama manusia. Airin merogoh tasnya, mengambil masker dan menggantungkannya di telinganya. Ia melihat ke arah kanan, menanti Metro Mini yang akan membawanya ke kampus tersayang.
Jarum panjang menuju ke angka 2, sebuah bus melaju lambat. “Yak, kosong-kosong mbak, kosong duduk, duduk”, ujar seorang pria. Airin melangkahkan kaki kanannya, memilih tempat duduk yang dirasa tidak terlalu terkena sorotan sang bintang paling cemerlang, sang matahari. Belum ada satu menit ia mencoba membuat dirinya nyaman, seorang gadis kecil naik ke atas metro mini.
“Assalamualaikum. Ya, permisi ya Bapak Ibu ya, maaf mengganggu kenyamanan anda. Saya di sini hanya numpang ngamen”.
Tak lama kemudian, dengan suaranya yang nyaring ia menyanyikan sebuah lagu mendayu dari sebuah grup band terkenal. Setelah selesai mencoba menghibur, ia meminta imbalan jasa dari para penumpang. Airin merogoh dompet kecilnya yang berisi sekumpulan logam. Tanpa berpikir apapun, ia memberikan sekeping lima ratus rupiah ke dalam kantung bekas permen milik gadis kecil itu.
Lima menit kemudian, datanglah penghibur kedua. Kali ini pria dewasa dengan potongan sederhana. Ia membawa gitar yang ditempelkan sebuah gambar bibir dengan lidah menjulur. Airin menghela nafas. “Hhh.. Yang kedua. Pagi ini berapa yang akan naik ke bis?”, pikirnya.
Tanpa sangka, sang pengamen berhasil membuat Airin sedikit membelalakkan mata. Ia menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris yang walaupun dilafalkan tidak fasih namun suaranya tidak kalah dengan artis nasional yang menyanyi di televisi. Karena kagum dan takjubnya, tanpa ragu ia merogoh dompetnya, kali ini bukan yang kecil dan memberikan selembar uang kertas dengan tiga buah nol sebagai nominalnya.
Selepas itu, tanpa jeda. Naiklah tiga orang laki-laki. Berpakaian serba hitam. Memiliki hiasan gambar berwarna tidak menarik di tangannya. Rambut berwarna yang berdiri kaku. Pakaian menempel badan. Logam bertaburan di wajahnya. Lalu berbicara. Atau mungkin bisa disebut berteriak. Sambil mengeluarkan silet dan kertas dari dalam kantungnya.
“Permisi Bapak-Ibu sekalian, mohon maaf mengganggu kenyamanan Bapak dan Ibu sekalian. Kami di sini hanya mencari sesuap nasi, dari pada kami melakukan tindak kriminal demi sesuap nasi, maka kami lebih memilih untuk mengais rizki dari kebaikan Bapak dan Ibu lewat kepingan-kepingan rupiah yang Bapak dan Ibu punya”
Setelah berkata demikian, ketiganya melakukan sebuah atraksi yang sama, ketiganya sama-sama mengunyah beberapa silet yang sudah mereka sediakan. Airin yang duduk di bagian pujuk metro mini langsung mual melihat atraksi mereka dan menutup matanya dengan buku yang ia bawa.
Setelah selesai memberikan sebuah pertunjukan kepada penumpang metro mini, mereka mulai meminta imbalan jasa kepada penumpang. Airin mengeluarkan uang lima ratus rupiah dan memberikannya dengan wajah masam. Dia masih sebel dengan pertunjukan yang baru saja mereka lakukan. Tiga orang laki-laki tadi sudah selesai meminta imbalan jasa, dan melihat tidak banyak dari penumpang yang memberi, terdengar jelas dari kedua telinga Airin, seorang dari tiga laki-laki itu berkata,
“Semua penumpang ini tidak punya hati, pelit, apa susahnya memberi lima ratus rupiah saja” dan setelah mengucapkan kalimat itu, mereka langsung turun.
Muka Airin langsung berkerut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, bukannya mengucap terimakasih, tapi laki-laki itu malah menggerutu dan mencela penumpang-penumpang yang tidak memberikan imbalan jasa atas apa yang mereka lakukan. Penumpang juga tidak mengharapkan kehadiran mereka, gerutunya di dalam hati, hatinya menggerutu dan terpancar jelas ketidaksukaannya terhadap tiga orang laki-laki yang baru saja turun.
“Ada apa dengan mukamu nak? “, tiba-tiba seorang Ibu bertanya kepada Airin yang masih memamerkan mukanya yang cemberut.
Ia mencoba untuk tersenyum, dan menjawab tanya Ibu tersebut
“Nggak apa-apa Bu, saya hanya tidak habis pikir aja dengan tiga orang laki-laki yang baru saja turun, bukannya terimakasih, tapi mereka malah mencela”
Ibu itu tersenyum mendengar apa yang diucapkan Airin dan berkata
“Itu manusiawi nak, kadang susah untuk membalas kebaikan orang lain dengan sebuah senyuman yang tulus, kerap kali kita lupa bagaimana melakukan sesuatu dengan tulus. Jangan engkau pupuk amarahmu ya nak, biarkan saja mereka berkata demikian, yang perlu kamu lakukan adalah berusaha untuk tulus memberi tanpa mengharapkan mereka akan membalas apa yang baru saja engkau berikan kepada mereka”
Airin tersenyum mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibu tersebut.
‘Ketulusan akan membentuk kebijaksanaan, dan dengan kebijaksanaan itu engkau akan tersenyum”
#20HariNulisDuet
Kolaborasi Arian Sahidi dan @opathebat
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan