Aku berdiri di tepian jalan, mengenakan gaun berwarna merah, dengan
rambut yang tergerai panjang. Sesekali aku masih melihat ke selembar kertas
yang ada di tanganku, kertas yang tempo hari aku temukan terselip di bawah
pintu rumahku. Surat itu aku temukan dengan beberapa benda yang mengejutkanku.
Liontin berbentuk hati, sepatu hak tinggi berwarna merah, dan gaun yang juga
berwarna merah yang kukenakan sekarang ini.
"Merry,
tunggu aku di tepian jalan depan rumahmu. Dari penggemar rahasiamu, Mr. G" pesan di akhir kalimat dalam surat yang aku temukan itu.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sore sudah
tenggelam. Sebentar lagi malam datang dan biasanya jalanan ini selalu sepi
setiap malamnya. Hatiku mulai gelisah, benarkah
Mr. G si pengirim pesan misterius itu akan datang? Atau sebaiknya aku
pulang saja dan menunggu pesan selanjutnya? Toh
kalau ia memang ingin bertemu, ia akan mengirimkan pesan lagi untuk
menemuiku.
Jangan, tunggu
saja sebentar lagi. Pikiranku
memberontak untuk tidak pulang ke rumah. Akhirnya aku memutuskan menyetel lagu
dari IPod putihku demi membunuh waktu.
"Merry, kamu percaya kan kalau aku bilang kamu satu-satunya
yang membuat aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya?" ucapmu pada malam itu. Aku
diam saja. Entah apa maksud pertanyaanmu, karena sama sekali aku tidak
meragukanmu.
Semenit kemudian, ku sentuh jidat Niko. "Kamu ngga sakit, ada
apa dengan kamu, Nik? Kenapa kamu menanyakan pertanyaan seperti itu?"
*
Niko kemudian memegang tanganku.
"Justru aku bakalan sakit kalau kamu nggak menanggapi
perasaanku ini sama sekali." Aku terdiam, entah untuk berapa lama. Malam
yang kurasa cukup panjang dan melelahkan untuk membahas masalah perasaan.
"Cinta butuh waktu, Niko," aku menatap matanya
lekat-lekat.
"Kamu yakin yang kamu rasakan ini cinta? Bukan sekedar suka?
Itu dua hal yang berbeda, Niko."
Di dalam satu ruangan, hanya aku berdua dengan Niko, seperti sedang
berperang dengan pertanyaan dan disertai jawabannya masing-masing. Sejenak aku
terdiam, menghela napas untuk memulihkan rasaku, karena kadang aku merasa lelah
dengan perilaku Niko yang sering mempertanyakan tentang sebuah rasa.
Aku mendengar suara ketukan pintu, sejenak aku meninggalkan Niko
sendiri. Mungkin dia juga butuh waktu untuk merangkai pertanyaan selanjutnya.
Kubuka perlahan pintu itu, seperti seorang yang sedang mengintip, aku melihat
keluar rumah. Ternyata hanya seorang pengantar pizza. Tapi siapa yang memesan pizza?
"Pizza? Siapa yang pesan?" tanyaku. Aku melihat nama
kurir pengantar pizza itu.
"Galih
Prahmana" aku membacanya
pelan.
“Di sini nggak ada yang mesen pizza, Mas.” Keningku berkerut. Kurir
bernama Galih itu tersenyum, “wah, saya nggak tahu, Mbak. Saya cuma
diperintahkan mengantar pizza ke alamat ini.”
Tadinya aku akan bertanya pada Niko, siapa tahu sebelum kami
ngobrol ia sempat menelpon pizza delivery,
tapi mengingat obrolan kami barusan, aku mengurungkan niatku. Akhirnya aku
menerima pizza ukuran medium itu, lalu membayar sejumlah uang yang tercantum di
struknya; walaupun dengan perasaan heran. Ada
pemesanan delivery yang bisa sampai sendiri ke alamat tertentu bahkan tanpa
dipesan? Aneh.
Aku melangkah kembali ke ruang tengah, lalu meletakkan pizza itu di
atas meja tanpa berniat menyentuhnya sedikit pun. Selera makanku sedang lenyap.
Niko menoleh, “siapa yang pesen pizza?”
Aku hanya mengangkat bahu, “entah, kayaknya delivery nyasar. Tapi kurirnya kekeuh kalau alamatnya memang di
sini. Jadi aku bayar aja.”
*
Ini jelas sudah
malam. Aku merasa ini ada yang tidak benar, kenapa dia tega membuatku menunggu
lama? Ocehku dalam hati.
Aku memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba telah meluncur sebuah mobil
sedan hitam dan berhenti tepat di depanku. Jalanan sepi. Aku sedikit panik,
kulangkahkan kakiku dengan cepat menjauhi lokasi itu. Tapi ada dua orang
berbadan besar yang mengikutiku dari belakang.
Aku berlari, dua orang itu benar-benar menyeramkan. Baru beberapa
langkah aku terjerembab, highheels
yang kukenakan sekarang penyebabnya. Aku meringis kesakitan.
Segera saja kulemparkan kedua highheels
yang menghambat pelarianku itu. Aku berlari masuk ke dalam taman, pepohonan
disana menambah suram suasana, ditambah dua orang tadi masih saja membuntutiku
dengan gigih. Langkahku semakin melemah, ditambah banyak sekali kerikil tajam
yang dengan relanya mencabik - cabik telapak kakiku.
Bayang - bayang mereka semakin mendekat, dan bisa kurasakan
hembusan nafas mereka yang memburu di tengah dinginnya malam.
Kini aku bagaikan seekor kelinci yang masuk ke dalam sarang
serigala. Kenapa bisa sebodoh itu aku
mengamini ajakan seseorang yang belum tentu aku ketahui secara jelas rupanya?
Kakiku beradu dengan ranting pohon
sebesar lengan orang dewasa. Aku terjatuh, aku tidak bisa melihat dengan jelas,
hanya baying-bayang yang bisa kulihat. Dan beberapa detik kemudian Aku sudah
tidak tahu apa yang terjadi kemudian, aku pingsan.
*
Rasanya aku baru saja hanyut dalam mimpi dan tidur yang panjang.
Perlahan kubuka kedua mataku. Aku berada di sebuah ruangan yang berwarna putih,
terbaring lemah di atas sebuah ranjang yang juga berwarna putih. Sepertinya aku
sedang berada di sebuah rumah sakit. Di bagian pojok ruangan, ada sebuah kursi,
seorang pria berambut pendek bak seorang tentara sedang tertidur. Aku bisa
mendengar dengkuran tidurnya. Sepertinya dia baru saja tidur. Di keningnya ada
perban putih yang ternoda oleh warna merah darah, di tangannya juga ada luka
karena goresan sesuatu. Aku masih memandangi pria itu dan mencoba untuk
mengingat siapa dia?
Beberapa menit kemudian, aku mulai ingat siapa gerangan pria itu.
Dia adalah pria yang pernah mengantarkan pizza ke rumahku beberapa waktu lalu,
aku tidak bisa mengingat siapa namanya. Aku masih belum bisa berdiri untuk
menghampiri dan membangunkannya. Kubiarkan dia terlelap dalam tidurnya.
Tanganku mencoba untuk meraih segelas air putih yang berada di sebuah meja di
samping tempatku berbaring. Akan tetapi, aku malah menjatuhkan air putih
tersebut dan membuat dia terbangun dari mimpinya.
“Hey, kamu sudah bangun?”.
Pria itu menghampiriku dan tersenyum. Aku mencoba untuk tersenyum,
meski aku sendiri masih mempunyai beberapa pertanyaan yang masih belum bisa
kujawab. Benarkah dia yang membawaku ke rumah sakit ini?. Dia kah Mr. G
yang menuliskan pesan singkat waktu itu?. Dia kembali tersenyum dan sepertinya
dia mengerti akan kebingunganku. Dia duduk di samping ranjangku dan mengulurkan
tangannya.
“Saya Galih alias Mr. G. Kamu pasti bingung bagaimana aku bisa
berada di sini?”
“Iya, aku masih bingung”
jawabku pelan.
“Nanti saja saya ceritakan. Sekarang yang terpenting adalah kamu
baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir. Tidak ada yang perlu kamu
khawatirkan.”
*
"Saya tadi melihatmu sedang
dikejar-kejar dua orang pria." Mr.G mengawali ceritanya. "Kebetulan
aku juga sedang disana."
"Terima kasih. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi pada diriku bila kamu tidak ada di daerah
situ," ujarku tersenyum lega.
"Maafkan aku, kamu jadi
terluka karena menyelamatkanku. Sekarang dua orang itu kemana? Kantor polisi?
Atau.." aku tak berani melanjutkan kalimatku.
"Di kantor polisi. Saya
sempat berkelahi dengan mereka, tapi mereka juga membuat saya terluka, mungkin
karena gelap, jadi saya tidak bisa banyak melihat senjata mereka, tapi
kata dokter, saya terkena pisau. Tak apalah, yang penting engkau selamat,"
senyumnya mengembang.
Aku kembali merebahkan tubuhku.
Melamun. Pikiranku melayang, tentang kemarin, hari ini dan kenapa harus Mr. G
yang ada ditempat itu. Kenapa bukan Niko?
Niko!!! Kemana dia? Apakah dia
tahu aku di rumah sakit? Apakah dia yang ternyata mengejarku semalam? Aku
mencari-cari ponselku.
"Kamu sedang mencari
ini?" Mr. G menunjukkan ponselku, lalu memberikannya padaku.
Kulihat tidak ada pesan singkat
atau telepon masuk dari Niko pagi ini. Kemana
dia?
"Kenapa engkau disini Mr. G?
Atau harus aku panggil Galih?" Selidikku.
"Yah, karena aku peduli
kepadamu..."
"Peduli??" Aku tak
mengerti apa yang dia maksud.
Ponselku berbunyi. Sebuah pesan
masuk. Ah, pesan dari Niko. Kubuka perlahan, entah mengapa, aku begitu
menunggunya hari ini.
"Merry, ini Mita, adik Niko.
Semalam Niko dibunuh. Sekarang aku sedang dikantor polisi. Kamu dimana? Tolong,
temani aku."
Aku terperangah. Shock, terkejut, takut. Pikiranku
campur aduk.
"Kenapa Merry? Kenapa
wajahmu pucat? Apa yang salah?" Mr.G mencecarku dengan seribu pertanyaan
yang tidak dapat kujawab.
Aku menelepon Mita, "aku
akan segera kesana."
"Kutunggu. Tadi pagi, aku
menemukan jasad Niko berlumuran darah. Jam tangan kulit yang dia banggakan itu
dicuri, tapi barang lain tidak ada yang hilang," kata Mita sesegukan.
Mataku sedang memandang Mr. G
yang sedang meniup luka gores ditangannya yang memakai jam tangan yang sangat
aku kenal. Jam
tangan Niko.
--
Cerpen (gaje) hasil kolaborasi
saya dengan Yomi Hanna, I.L Putra, Petronela Putri, Ramadhan Kurniadi, dan Anie Oktarini.
keliatan banget kolaborasinya. masing-masing penulis masih 'egois'
ReplyDelete*saya mengomentari sebagai pembaca*
ini kolaborasi paling ribet yg pernah saya lakukan :D
Delete