Ibu, sudah lama aku tidak melihat senyum terlukis indah di wajahmu.
Senyum yang dulunya selalu menguatkan di saat aku sedang terpuruk, lemah, dan
tak berdaya. Senyum yang dulunya mengantarkanku meraih cita-cita. Senyum yang
dulu senantiasa menghiasi hari-hariku. Ibu, di manakah letak senyum itu?,
mengapa engkau biarkan wajah sendu, tak bercahaya itu menatapku?, izinkan aku
melihatmu tersenyum dan izinkan aku untuk kembali dalam pelukanmu. Izinkan aku
merawatmu di usia senjamu. Dan jangan engkau biarkan air mata menetes dari
kedua bola matamu.
Aku sadar, semua itu adalah kesalahanku. Senyum itu hilang sejak
aku memutuskan semua ini sendirian tanpa peduli dengan kehendakmu Ibu. Akan tetapi,
aku juga tidak bisa terus hadir dalam anganmu, terus berkata iya akan semua
keinginanmu. Ada jalan di mana aku dan Ibu tidak bisa terus satu jalan. Ada kalanya
aku harus berbelok arah sementara Ibu ingin terus berjalan lurus. Aku manusia
yang tidak luput dari kesalahan.
*
Kota ini terasa sepi, setelah sekian lama aku pergi meninggalkan
Ibu bersama dengan kedua adikku. Sepi karena aku tidak bisa melihat senyum yang
sudah kunanti sejak lama. Lama sudah aku tidak bertemu dengan Ibu. Sejak tiga
tahun yanga lalu, aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota ini. Kota yang
menjadi tempat kelahiranku, kota yang menjadi kenangan indah di masa kecilku. Kota
yang menjadi tempatku merangkai satu persatu dari mimpi-mimpi yang aku, Bapak
dan Ibu inginkan.
Aku sudah berdiri di depan rumah Ibu bersama dengan Shaulla
Istriku. Kami masih belum dikarunia oleh Tuhan malaikat kecil, sepertinya Tuhan
belum yakin untuk menitipkan senyum indah malaikat-malaikat kecil itu di rumah
kami. Tuhan masih membiarkan kami menikmati hidup berdua saja. Tidak apa,
pikirku. Jika memang Ia menghendaki kami mempunyai keturunan, maka Ia akan
memberikan itu kepada kami. Yang terpenting kami sudah berusaha, selanjutnya
adalah berdoa dan tawakkal kepada yang memberi segalanya.
Tidak ada siapa-siapa yang menyambut kedatangan kami ke kota ini. Rumah
Ibu tertutup rapat seolah-olah tidak menerima kedatanganku kembali. Adik-adikku
yang sudah menyelesaikan sekolah menengah atas juga tidak kelihatan menyambut
kedatangan kami berdua. Sudahlah, mungkin mereka sedang tidak ada di rumah,
ucapku menghibur Istriku yang sedikit letih.
Setelah mengucap salam, tidak ada jawaban terdengar dari dalam
rumah. Rumah ini seakan-akan sudah lama tidak berpenghuni. Aku mencoba melihat
ke bagian dalam rumah melalui kaca jendela, ada Ibu sedang tidur di kursi
panjang terbuat dari bambu, beralaskan tikar, berbantalkan sebuah bantal usang.
Aku memanggil Ibu, berharap dia akan terbangun dan membukakan pintu untuk kami
berdua. Kasihan melihat bidadariku sudah mulai letih setelah menempuh perjalanan
yang cukup jauh.
Setelah beberapa lama menunggu di teras depan rumah, aku melihat kedua
adikku, Meko dan Didi membuka pintu pagar. Sepertinya mereka berdua baru pulang
dari kebun. Mereka berdua mengais rizki dari hasil berkebun jagung. Dua bulan
yang lalu, Meko mengirimkan surat dan memberitahukan tentang hasil kebun mereka
berdua. Dengan hasil berkebun inilah mereka berdua membiayai Ibu yang
sakit-sakitan. Meski aku rutin mengirimi mereka uang untuk berobat Ibu, namun
uang yang kukirimkan tidaklah seberapa. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk
Ibu.
“Mas, Akmal?, Mbak Shaulla?,”
Meko terlihat terkejut melihat kehadiran kami berdua. Keduanya langsung
menjabat tangan kami berdua. Air mata kerinduan menetes membasahi pipiku,
Shaulla juga tidak bisa menahan air matanya, dia juga menangis karena haru
bertemu adik ipar yang sudah lama ia rindukan.
‘Kalian apa kabar?”
Shaulla menanyakan keadaan mereka berdua.
Sambil membukakan pintu, Meko menjawab;
‘Alhamdulillah, Kami sehat-sehat saja Mbak. Tapi kasian dengan Ibu
yang terus sakit-sakitan.’
Pintu terbuka, Ibu masih tidur sambil memeluk bantal guling
berwarna abu-abu. Aku duduk di sampingnya, mengelus keningnya yang sudah
keriput dimakan usia, mengelus rambutnya yang sudah tidak hitam lagi. Ibu terbangun
dari tidurnya, ia melihat ke arahku dan Shaulla yang duduk di sampingku. Tidak ada
senyuman di wajahnya. Ibu langsung menjauhkan tanganku dari mukanya, mukanya
juga langsung menunduk tidak ingin melihatku. Ia berdiri dan hendak pergi
menuju dapur.
‘Ibu, Akmal sudah kembali ke sini, memenuhi keinginan Ibu yang dulu
pernah aku abaikan, kami berdua datang untuk menjagamu Ibu. Kami betul-betul merindukanmu Ibu.’ Ucapku pelan
Ibu berhenti, sambil berpegang ke sebuah tongkat yang membantunya
untuk berdiri. Ibu sudah tidak kuat lagi untuk
berdiri. Ibu, begitu besarkah luka yang telah kubuat sehingga Ibu sudah
tidak ingin melihatku lagi?, sudah tidak berkenan untuk menyunggingkan senyuman
untukku?. Akmal tahu, semua adalah kesalahanku. Akan tetapi, Aku sudah berusaha
untuk menjadi anak yang baik, meski aku tahu Ibu tidak pernah menginginkanku
kembali. Izinkan aku anakmu ini untuk menebus kesalahan masa lalu yang telah
membuat Ibu jadi seperti ini. Beri aku kesempatan Ibu. Ibu terisak menangis. Kusentuh
kedua kakinya dan memohon maaf darinya.
‘Ibu, izinkan aku kembali’
*
Beberapa tahun yang lalu, kami adalah keluarga bahagia. Meski aku
tinggal di rantau, namun aku masih sering mengirim kabar ke kampung halaman. Akan
tetapi kebersamaanku dengan Ibu dan Bapak menjadi hilang sejak kejadian itu.
Dusta, iya. Karena aku sudah berani berdusta kepada keduanya,
membuat mereka merasakan sakit yang begitu dalam. Sakit yang mungkin tidak bisa
terobati oleh waktu. Kepergiaanku ke pulau seberang untuk menuntut ilmu, meraih
mimpi yang aku harapkan. Bapak bekerja keras demi keberhasilanku, menanam jagung,
dan menaman padi. Hasil jerih payahnya dikirimkan ke padaku agar aku bisa belajar
dengan baik dan membuat mereka bangga.
Akan tetapi, bukan kebanggaan yang mereka dapatkan. Melainkan hanya
kepingan dusta yang kususun demikian indah sehingga mereka percaya bahwa aku
benar-benar belajar, meraih mimpi dan membuat mereka bangga. Hingga akhirnya
mereka tahu bahwa sebenarnya aku tidak melakukan apa-apa. Tidak ada yang
namanya kuliah, tidak yang namanya belajar. Waktuku hanya habis untuk
berhura-hura. Semua jerih payah kedua orangtuaku tidak berhasil menjadikanku
permata, indah, dan menawan. Hanya kegelapan yang mereka dapat.
Sejak saat itu, Bapak sakit-sakitan. Ibu merawat bapak hari demi
hari dan aku tidak pernah berani pulang ke rumah karena dipenuhi rasa bersalah
yang begitu besar. Setelah sekian lama berada di dalam kegelapan, Tuhan memberikanku
seberkas cahaya melalui tangan Shaulla. Dia datang dan membimbingku menjadi
lebih baik. Dia bersedia menikah denganku, dan membujukku untuk kembali dan
meminta maaf kepada keduanya. Akan tetapi, keinginanku untuk pulang masih belum
bisa membawaku kembali kepada Bapak dan Ibu. Sakit Ibu yang begitu dalam
semakin bertambah setelah kepergian Bapak. Ibu tidak pernah tersenyum
melihatku. Terakhir kali bertemu dengan Ibu, pada saat Bapak menghembuskan
napas terakhirnya. Ia kembali dengan sakit yang telah kubuat, dan sekarang Ibu
pun masih memendam rasa sakit yang begitu dalam.
‘Pergi dari sini, lihat apa yang telah kamu perbuat Akmal. Sekarang
apa kamu puas membuat Bapakmu sudah tidak bisa lagi bersama kita?, ia pergi karena
sakit yang engkau torehkan dengan begitu kejam ke lubuk hatinya. Ibu tidak
ingin melihatmu lagi.’ Kata-kata itu
adalah ucapan terakhir Ibu.
*
Ibu,
jika memang kedatanganku hanya membuatmu semakin sakit
Jika
memang kedatanganku membuatmu menangis tanpa henti
Jika
memang kedatanganku membuat luka lama itu kembali terbuka
Maka
izinkan aku mencium kedua kakimu untuk terakhir kalinya
Izinkan
aku memelukmu dan melihatmu tersenyum meski hanya sekali
Jangan
buat aku menjadi gila karena rasa bersalah yang begitu besar
Sudah
cukup kegilaan yang telah kuperbuat di masa lalu
Dan aku
tidak ingin mengulanginya untuk yang kesekian kalinya.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan