Pagi itu, saya duduk di depan kelas VII A, saya sengaja duduk di sana sambil menunggu bunyi bel waktu istirahat berdering. Sambil menunggu, saya membaca sebuah buku yang baru saya beli dari Gramedia yang ada di kota yang baru saya kenal. Saya membaca buku tentang anak-anak Autis, saya tiba-tiba tertarik membaca buku-buku tentang Autis setelah melihat bahwa di tempat saya mengajar ternyata ada anak-anak yang special.
Bel tanda istirahat berbunyi, saya berdiri menunggu seseorang keluar dari pintu kelas VII A, beberapa detik kemudian, yang saya tunggu terlihat memegang selembar kertas dengan pandangan kosong dan keluar dari kelas. Saya memperhatikan gerak-geriknya, kadang dia melipat kertas yang sedari tadi ia pegang, setelah dilipat, dia buka kembali lipatan-lipatan kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Setelah membuang kertas ke tempat sampah, ia duduk menyendiri di pojok sekolahan, sambil mengayunkan kakinya dan memperhatikan sepatu yang ia gunakan, ia melepas tali sepatunya, namun beberapa saat kemudian, ia memasang kembali tali sepatunya. Saya memperhatikan gerak-geriknya, rasa ingin tahu saya tentang anak itu timbul.
Saya berjalan perlahan menghampirinya dan memastikan dia tidak kaget dengan kedatangan saya, dari kejauhan saya melihatnya dengan senyum, dia menatap sekilas kemudian kembali menundukkan kepala.
Assalamu’alaikum , boleh bapak duduk disini ?
“dia mengangkat kepala dan menatapku seolah memastikan bahwa dia pernah mengenalku, kemudian dia menganggukkan kepalanya dan kembali melihat ke lantai keramik dimana tempat ia sedang duduk”.
"Nama kamu siapa ?"
“Endang”
"Sekarang kan waktunya istirahat, kenapa nggak jajan di kantin ?"
“uangnya mau di tabung”
"Di tabung ?, jadi setiap hari nak endang selalu menabungkan uang jajan yang dibawa dari Rumah ?"
“iya”
Setelah menjawab pertanyaan saya, Endang pergi berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saya masih penasaran dengan sosok Endang, saya menuju ruang Bimbingan Konseling (BK) yang berada di lantai dua, dan bertanya tentang Endang.
“Assalamu’alikum Buk”
“wa’alaikumussalam”
Silahkan masuk pak, ada yang bisa saya bantu ?
“Begini buk, saya hanya ingin tahu lebih jauh tentang anak yang bernama Endang”
“Endang kelas VII A ?”
“Iya buk”
“ Endang merupakan anak yang menderita Autis Pasif, pada umur dua tahun, orang tuanya sudah melihat ada kelainan pada Endang, sejak saat itu, orang tuanya rutin membawanya ke tempat terapi ABA (Applied Behavior Analysis), yaitu terapi yang didasarkan pada pendekatan behavioristik, melibatkan peran aktif orang tua dirumah, seperti kemampuan memperhatikan, meniru, dan ketrampilan bina diri”
Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari Guru BK, saya sempatkan untuk bertanya dengan guru-guru mata pelajaran bagaimana Endang pada saat proses pembelajaran.
Guru TIK :
“ Endang itu pada saat pembelajarn saya biasa saja, kalo disuruh ngerjain tugas kadang selesai kadang tidak, dia lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri”
Guru Fiqh :
“ Pada saat pembelajaran dia jarang memperhatikan, dia sibuk dengan dunianya sendiri”
Guru Al-Qur’an :
“Endang masih sangat susah untuk disuruh membaca Al-Qur’an, dia lebih sering memperhatikan ukiran-ukiran yang ada di dinding Masjid, dia paling suka membaca surat An-Nas, Al-Falaq, dan Al-Ikhlas”.
Saya berpikir sejenak, sambil duduk di meja wali kelas yang ada di kelas yang saya ampu, kebetulan saya merupakan pendamping wali kelas VIII A, pertanyaan dalam benak saya adalah jika anak itu terus seperti itu, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa selama di sekolah.
Dua bulan berlalu, tiba-tiba saya melihat Endang memakai sepatu di depan masjid, saya menghampirinya.
Assalamu’alaikum nak Endang
“Endang barusan Sholat Dhuha?”
“Iya”
Setelah menjawab dia langsung pergi menuju kelas, namun ia berhenti di gerbang sekolah dan menunggu teman-teman yang lain datang, seperti biasa, dia tidak pernah mau masuk ke Sekolah jika hanya seorang diri, mungkin dia masih canggung untuk bersalaman dengan Guru-guru yang berdiri di pintu gerbang sekolah. Setelah beberapa teman datang, dia ikut dalam barisan dan bersalaman dengan Guru-guru.
Aku tersenyum melihat dia sudah mulai mau sholat Dhuha, dan saya berharap dia akan terus mengalami perubahan-perubahan, karena sekecil apapun perubahan yang ada, kebahagiaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Saya menemui wali kelasnya dan mulai bertanya akan perkembangan Endang.
Pak, Alhamdulillah Endang sekarang sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman di Sekolah, pada saat pembelajaran pun dia sudah lebih tenang, dia juga sudah mulai bisa menerima dengan kebisingan-kebisingan yang terjadi di kelas.
Kalau saya perhatikan, Endang mulai mengalami perubahan-perubahan itu sejak dia mendapatkan Reward di kelas. Beberapa waktu lalu, saya pernah menanyakan kepada anak-anak di kelas,
"Siapa teman yang menurut kalian paling baik di Kelas ?"
"Anak-anak menyebut satu nama “ Zaid” Buk,"
"Namun ada satu anak yang tidak setuju dengan nama “Ahmad”.
"Tiba-tiba seorang anak menyebut nama Endang dan diikuti oleh teman-teman yang lain.
Baiklah, karena kalian semua memilih Endang, maka penghargaan ini akan Ibuk berikan kepada Endang, tapi bukan sebagai murid yang paling baik dari semua segi, namun penghargaan ini adalah penghargaan Siswa Terfavorit di kelas.
Endang pun saya minta untuk maju ke depan dan saya berikan ia sebuah buku dan ballpoint.
Ia terlihat begitu senang menerima reward itu.
Dan sejak saat itulah, perubahan-perubahan kecil mulai terjadi, dia sudah mulai berani jajan di kantin, bahkan pada saat ditanya apa Endang mau ikut latihan Taekwondo, dia sempat mengatakan “Ia”.
Saya kembali tersenyum lebar mendengarkan cerita wali kelas akan kemajuan Endang. Tidak berhenti disitu, saya juga bertanya dengan teman-teman di kelasnya, bagaimana sikap Endang, dan mereka mulai mengatakan bahwa Endang sudah mulai bisa bermain bersama dengan mereka. Satu pesan yang saya tekankan ke anak-anak, jangan kalian abaikan keadaan Endang, buat dia merasa nyaman berada di dekat kalian, hingga Endang tidak akan merasa sendirian.
Sampai hari ini, saya masih memperhatikannya, kadang-kadang saya sempatkan untuk mengajaknya berbicara meski kata yang keluar dari mulutnya tidak lebih dari 10 kata tiap kali saya ajak berbicara.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan