12
Agustus 2012
Hari
ini saya berkunjung ke rumah teman-teman zaman masih di Pondok dulu.
Teman-teman yang dulu menjadi bagian dari perjalanan saya mencari ilmu. Dari
beberapa teman yang saya kunjungi, ada seorang teman yang sudah kembali ke sisi
Tuhan. Ia kembali lebih dahulu meninggalkan kami, dan saya tidak bisa bertemu
kembali dengannya. Saya hanya bisa menatap pusarannya yang masih berupa
gundukan tanah yang sudah gersang karena sudah lama tidak disiram dengan air.
Saya
sudah mewanti-wanti apa yang akan terjadi saat saya sampai ke rumah orang tua
yang yang ia tinggalkan. Almarhum adalah anak tunggal. Dia merupakan
satu-satunya harapan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya pun menunggu waktu
yang tidak sebentar hingga akhirnya Tuhan menganugerahi mereka keturunan, meski
sekarang amanah itu sudah kembali pada Tuhan.
Saat
turun dari motor, saat memasuki pintu gerbang rumahnya, ibunya langsung
menangis saat melihat saya. Dia langsung memeluk saya, kemudian air matanya tak
henti-hentinya membasahi kedua bola matanya. Saya membiarkan ibunya menangis di
hadapan saya, saya bingung mau melakukan apa. Saya hanya membiarkannya dengan
segala perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Karena saya tidak tahu betapa
dia merasa kehilangan, karena saya tidak pernah berada di posisi itu. Saya
tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga. Akhirnya saya
menunggu sampai ibu almarhum teman saya ini berhenti menangis.
Saat
ia mulai berhenti menangis, ia pun memulai cerita saat terakhir dia melihat
putranya membuka kedua matanya, saat terakhir dia merasakan putranya
menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya. Dan hati saya pun akhirnya
menangis, meski kedua mata saya tidak mengalirkan bola-bola Kristal yang
membasahi pipi. Tapi, kenangan demi kenangan tentang sahabat saya ini kembali
hadir dalam ingatan saya, betapa dia adalah sahabat yang begitu baik. Dia
begitu peduli dengan keadaan saya kala itu, saat saya dalam keadaan susah, dia
dengan senang hati membantu. Bahkan saat liburan saya biasa menghabiskan waktu
untuk tinggal di rumahnya. Dia sahabat yang baik, dia anak yang baik dan
berbakti pada orang tuanya. Tapi takdir berkata lain, “Tuhan” sudah
menghendakinya kembali.
Saya
tidak tahu apa yang akan terjadi jika saya berada di posisi kedua orangtuanya,
yang begitu mendambakan kehadiran seorang putra, dan ternyata anugerah itu
hanya sebentar mereka rasakan, hingga akhirnya Tuhan kembali mengambilnya dari
sisi mereka yang menyayanginya.
Selain
sedih merasa kehilangan, saya semakin sedih saat melihat kehidupan Ayah
Almarhum yang semakin jauh dari Tuhan. Saat saya Tanya,
“Ibu
bilang bapak tidak pernah shalawat tharawih, mengapa tidak shalat tharawih,
Pak?”
Dia
menjawab sambil menyeka air matanya,
“Dulu,
saya begitu rajin beribadah padaNya, namun Dia masih mengambil putra semata
wayang saya, yang merupakan satu-satunya harapan saya.”
Saya
terdiam mendengar jawaban itu. Beberapa saat kemudian mulut saya berucap dengan
pelan agar sang bapak tidak merasa tersinggung.
“Musibah
seharusnya tidak membuat kita kehilangan Tuhan dari hati kita. Tuhan harus
selalu ada dalam kehidupan kita, karena kita tidak pernah mengerti dengan
rencanaNya. Pasti ada hikmah di balik semua ini.”
Ucapan
di atas kuakhiri dengan sebuah senyuman, kemudian saya memeluk sang bapak,
“Dia
anak yang baik, yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakannya.” Aku
membisikkannya.
Kami
berpelukan, dan sang bapak kembali menangis.
***
Sahabatku,
kehilangan bukanlah sebuah akhir dari kehidupan kita. Percayalah Tuhan tidak
pernah tidur, Dia selalu mengetahui semua yang terbesit dalam benak kita.
Percayalah, bahwa di balik semua musibah yang Ia berikan ada sebuah hikmah yang
bisa kita ambil pelajari. Ibarat sekolah, ujian semester adalah sebuah proses
yang akan membawa kita ke tingkat selanjutnya jika kita bisa lulus dari ujian
dengan baik.
Anak
adalah titipan dari Tuhan, dan yang namanya “Titipan” pasti akan diambil
kembali olehNya. Dan kita harus siap dengan itu, jika memang waktunya sudah
datang. Saat kehilangan orang yang kita sayangi bukan berarti kita tidak
diperbolehkan “menangis”, silahkan menangis. Yang tidak diperbolehkan adalah
“meratapi” kepergiannya secara berlebihan hingga membuat kita tidak
mengikhlaskan semua yang dikehendaki oleh Tuhan.
Percayalah,
Tuhan memilik rencana yang indah bagi tiap makhlukNya. Kita hanya perlu
memercayai Tuhan, kemudian biarkan Tuhan memperlihatkan kepada kita betapa Dia
mengasihi kita semua dengan cara yang kadang tidak kita mengerti.
kehilangan..., seperti ada lubang di hati. Tapi tak boleh larut berlama-lama meratapi kehilangan, karena sejatinya hidup adalah ujian. Pernah bertemu guru SMP di angkot. Saat saya sapa dan salam tangannya, dia memeluk saya, semabri menangis. Ternyata...,anaknya baru meninggal. Saya sendiri merasakan kehilangan pertama, saat nenek wafat thn 93 lalu. duh jadi curcol. suka dengan tulisan-tulisan di blog ini. mencerahkan :)
ReplyDeletesemoga bermanfaat, ya :)
Delete