Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2012

Ketika Maaf Menjadi Akhir

Laki-laki berusia senja itu terus menangis, mendengar ocehan menantunya yang terus menusuk ke dalam hatinya. Kata-kata yang diucapkan oleh menantunya itu begitu memilukan hatinya. Ia terus menangis. Sementara laki-laki tua renta itu menangis, wanita yang sedari tadi sibuk dengan amarahnya membalut semua pakaian mertuanya dengan sehelai kain kemudian melemparkannya ke hadapan laki-laki paruh baya di hadapannya. “Pergi dari sini, dan silahkan cari tempat tinggal lain. Bapak bisa tinggal di rumah anak Bapak yang lain. Mala tidak ingin melihat Bapak di rumah ini lagi.” Mendengar ucapan menantunya, sang kakek hanya bisa diam sambil menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti. Anak laki-laki sang kakek tidak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya melihat istrinya yang kerasukan memarahi ayahnya yang sudah renta, dan itu sudah menjadi kejadian biasa di hadapannya. Ia sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghentikan amarah istrinya yang kerap kali meledak hanya karena masalah-

Senjaku Yang Hilang

“Nak, kamu mau kan menemui ayahmu?” Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Ibu, aku masih enggan untuk memberikan maaf pada laki-laki yang dulu pernah kupanggil “Ayah”. Aku sudah pernah berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan pernah mau menerima kehadirannya kembali dalam hidupku setelah apa yang dia lakukan pada Ibu. Aku tidak pernah berharap dia kembali dalam kehidupanku. Aku bahkan tidak pernah ingin menyambut kedua tangannya yang sudah dipenuhi garis-garis kehidupan. Dia sudah tua renta dan aku berharap dia segera pergi meninggalkan dunia ini, agar aku tidak lagi bertemu dengannya. “Tara….” Aku tersentak dari lamunan kebencianku, kemudian melihat Ibu yang tersenyum menahan sakit yang ia derita. “Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” Aku hanya menggelengkan kepalaku tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Aku tidak ingin jika Ibu tahu tentang apa yang sedang ada dalam benakku. Karena aku tahu Ibu tidak akan pernah suka jika kebencian ini terus bersarang dalam hatiku. I

Jilbab Pertama Najah

Hidayah adalah bentuk kasih Tuhan pada hambaNya Ia bisa memberikan hidayah itu kepada siapa saja yang Ia kehendaki Dan aku bersyukur kepadaNya atas hidayah yang ia berikan padaku Sudah lama aku tidak melihat kotak itu, sebuah kotak kayu yang sengaja kubuat untuk menyimpan barang-barang yang mempunyai sejarah masing-masing. Dan hari ini, kotak itu berada di hadapanku, sudah berdebu karena sudah lama tidak pernah kusentuh. Selama ini, kotak itu sempat terlupakan dan tersimpan di gudang, di kamar bagian belakang. Kubersihkan debu-debu yang menghiasi permukaannya, kemudian kulihat ukiran namaku di bagian atasnya “ Najah Amali”. Nama yang diberikan oleh almarhum Ayahanda tercinta yang sudah terlebih dahulu kembali ke sisiNya.  Kubuka, kemudian kusentuh satu persatu benda-benda yang ada di dalamnya, ada foto-foto waktu aku masih sekolah dasar, ada mainan yang terbuat dari kain bekas yang diberikan Ibu sebagai hadiah saat aku berhasil juara kelas, kemudian tanganku menyentuh

Tentang Hidayah

Mudik kali ini Tuhan kembali memberi saya sebuah kejutan yang telah lama saya nanti. Saat mudik ke Bengkulu, saya melihat “Ibu” menyambut kedatanganku dengan “Hijab” yang menutupi auratnya. Alhamdulillah, Allah sudah memberikan hidayah-Nya pada Ibu untuk memakai “Hijab” yang memang sudah diwajibkan Allah dalam syariatNya. Dulu Ibu memang belum memakai hijab, biasanya hanya pada acara-acara tertentu beliau memakainya. Dan kali ini Ibu sudah mendapatkan hidayahNya. Alhamdulillah. Berbicara tentang hidayah, kita tidak mempunyai kuasa kepada siapa hidayah itu mau kita berikan. Karena sesungguhnya Tuhan lah yang memberikan hidayah kepada hambaNya. Barang siapa yang sudah diberi hidayah oleh Allah, maka tidak ada siapa pun yang bisa menghalangi semua itu. Bahkan kepada orang terdekat kita sekalipun, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Yang perlu kita lakukan adalah menasehati mereka tentang kebenaran dengan penuh kesabaran dan tentunya dengan cara yang bijak. Selebihnya adalah ur

Tentang Kehilangan

12 Agustus 2012 Hari ini saya berkunjung ke rumah teman-teman zaman masih di Pondok dulu. Teman-teman yang dulu menjadi bagian dari perjalanan saya mencari ilmu. Dari beberapa teman yang saya kunjungi, ada seorang teman yang sudah kembali ke sisi Tuhan. Ia kembali lebih dahulu meninggalkan kami, dan saya tidak bisa bertemu kembali dengannya. Saya hanya bisa menatap pusarannya yang masih berupa gundukan tanah yang sudah gersang karena sudah lama tidak disiram dengan air. Saya sudah mewanti-wanti apa yang akan terjadi saat saya sampai ke rumah orang tua yang yang ia tinggalkan. Almarhum adalah anak tunggal. Dia merupakan satu-satunya harapan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya pun menunggu waktu yang tidak sebentar hingga akhirnya Tuhan menganugerahi mereka keturunan, meski sekarang amanah itu sudah kembali pada Tuhan. Saat turun dari motor, saat memasuki pintu gerbang rumahnya, ibunya langsung menangis saat melihat saya. Dia langsung memeluk saya, kemudian air matanya