Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2011

Satu mimpi yang terwujud

Begitu bahagia rasanya bisa kembali bertemu kalian, makan bareng, dan berbagi cerita tentang kegiatan kita masing-masing. kembali mengenang kebersamaan kita empat tahun lamanya di Kampus. Kembali tertawa saat saya mengingatkan kalian sebait kalimat favorit waktu kuliah : 'Ini makalah atau bungkus gorengan?  Dan langsung diikuti gelak tawa oleh teman-teman seruangan. Iya, kalimat itu sering jadi andalan saat yang presentasi makalah tidak memuaskan, atau makalah yang dibuat asal-asalan. Meski diucapkan dengan nada bercanda, ternyata kalimat itu bisa memotivasi teman-teman lain untuk bisa membuat makalah dengan baik dan bisa mempresentasikannya dengan baik. Kita kembali tersenyum saat mengingat Ujian Skripsi yang membuat jantung berdetak kencang tidak menentu. dan saat keluar dari ruang sidang, air mata menetes tanpa permisi sebagai ungkapan kebahagiaan. Dan semoga kebersamaan kita akan ada dilain kesempatan. Dan satu mimpiku sudah terwujud, yaitu   "Bertemu dengan kalian la

Memaafkan

Tidak pelak lagi, manusia tidak bisa hidup menyendiri jauh dari masyarakat. Ia adalah makhluk yang saling bergantung dan yang kebutuhannya tidak mengenal batas. Kenyataannya manusia bergantung secara sosial; hal ini sepenuhnya sesuai dengan watak dan berbagai kebutuhannya, dan menjadikannya uuntuk hidup di bawah semangat untuk kerja sama atau gotong royong. Kehidupan sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan watak manusia, tidak hanya pada hal-hal materi, akan tetapi lebih dari itu, hubungan tersebut akan membentuk kesatuan jiwa, dan jika kesatuan jiwa sudah ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka dipastikan kehidupan dalam bermasyarakat akan merasakan keindahan dan ketentraman. Salah satu kewajiban kita dalam berhubungan dengan orang lain adalah mampu untuk memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Tidak ada manusia yang sempurna, semuanya pasti pernah berbuat salah. Jalan terbaik menuju hidup yang dipenuhi kedamaian adalah benar-benar hidup dengan damai be

Ajari anak shalat sedini mungkin

Tadi siang, saya mengirimkan pesan singkat kepada murid-murid kelas yang saya ampu. “Salam, sudahkah hari ini Ananda membaca Al qur’an?, jangan lewatkan hari tanpa membaca Al qur’an sebagai wujud syukur atas ni’mat dari Allah swt.” Saya memang rutin berkomunikasi dengan anak-anak via sms, chatting, dan juga telphone. Tujuannya adalah agar mereka merasa bahwa ada yang peduli dengan mereka, karena memang tidak semua orang tua peduli dengan apa yang dilakukan anak-anak di rumah. seperti Shalat mereka, tidak semua bisa mengontrol karena sibuk bekerja, setidaknya dengan tetap melakukan komunikasi, saya sudah berusaha untuk selalu mengingatkan mereka agar “ segera shalat jika sudah masuk waktunya ”, “ jangan lupa untuk membaca Al qur’an tiap ba’da Maghrib ” dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan sekolah, seperti “ jangan lupa untuk membawa buku penghubung ke sekola h”, “ belajar yang rajin karena sebentar lagi ujian kompetensi ”dan lain-lain. Dari awal yang paling saya

Di Bawah Lindungan Ka'bah

Pagi tadi, saya sempatkan mendownload film yang sebenarnya sudah lama pengen saya tonton. Setelah membaca novelnya, rasanya kurang afdhol kalo saya tidak menonton filmnya. Novel yang saya maksud adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya “Buya Hamka” . Saya termasuk pengagum sosok Buya Hamka, oleh karena itu, saya ingin tahu bagaimana jadinya novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” bila di filmkan. Dan inilah pendapat saya setelah menonton filmnya : Dari segi sinematografis film ini bagus, film ini juga berhasil menggambarkan Padang pada tahun 1920an. Akan tetapi entah kenapa saya sama sekali tidak tersentuh dengan film ini, saya tidak mengatakan film ini jelek, toh semua orang mempunyai penilaian tersendiri terhadap karya orang lain, dan saya menghargai karya ini dengan menonton meski dengan mendownload gratisan #plak . Pada saat membaca novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, saya bisa sangat tersentuh dan meneteskan air mata, akan tetapi pada saat nonton filmnya barusan, entah me

Ketetapan Hati (Ending)

Memang tidak mudah membuat keputusan dalam keadaan dilema seperti ini, setiap keputusan yang akan aku ambil pasti akan ada yang tersakiti, seandainya saja aku menerima perjodohan ini, berarti Anita lah yang akan tersakiti. Jika aku menolak perjodohan ini, bukan hanya orang tuaku yang kecewa, namun keluarga Pak Kiyai Faiz pun akan kecewa, lebih-lebih Zahra, aku yakin dia akan kecewa dan aku tahu bagaimana sakitnya saat cinta kita bertepuk sebelah tangan, saat dimana cinta kita tidak mampu untuk menaklukkan hati sang pujaan, saat dimana hati kita tidak mampu untuk berlabuh ke tepi hati orang yang kita cintai. Seminggu berlalu, rasanya aku sudah semakin yakin dengan keputusan yang akan aku ambil. Aku pergi ke Sekretariat Pesantren dan mencoba untuk menghubungi Ummi. "Assalamu'alaikum Ummi, Ini Ega" "Wa'alaikum Salam, ada apa Nak ? "Ummi, bagaimana kabar keluarga di rumah ?" "Alhamdulillah, semua sehat, Abimu sedang pergi ke kebun untuk

Umurnya Bukanlah halangan

Pagi ini saya terkagum-kagum dengan sosok itu, umurnya sudah tidak lagi muda, diusianya yang sudah lebih dari lima puluh tahun, dia masih terus berjuang melawan dinginnya malam, kadang bertemankan rintik-rintik hujan, dan semua itu ia lakukan demi menggapai ridho-Nya dengan mempelajari Kalam-Nya. Setiap pagi menjelang, dia menempuh perjalanan satu jam lamanya menuju Masjid untuk mengikuti Tahsin Al Qur'an. Setiap hari dia berangkat dari rumahnya jam 3 pagi agar bisa mengikuti Tahsin Al Qur'an setiap ba'da shubuh di Masjid. Karena memang tidak semua masjid mengadakan Tahsin Al Qur'an. Dia rela mengendarai sepada motor butut miliknya, bahkan pernah dia terjatuh karena tidak melihat jalanan yang berlobang. Oh Tuhan, sungguh mulia niatnya. Semoga dia diberi keberkahan. Kalo dia yang sudah dimakan usia saja masih semangat untuk terus belajar membaca Al Qur'an, bagaimana dengan kita yang masih muda? Saat saya berbincang dengannya, dia mengucapkan kalimat yang menjadi renu

Ketetapan Hati

Malam semakin larut, sinar rembulan dan bintang menghiasi langit tempatku menuntut ilmu, aku duduk di bagian belakang asrama yang kami beri nama “Shofa”.  Seiring waktu yang berjalan, aku mulai membuka lembaran memori yang aku punya, aku keluarkan masing-masing kenangan dan juga fase-fase yang dulu pernah aku lewati hingga berada di titik ini. Aku membutuhkan seseorang yang mengerti. Aku membutuhkan jawaban atas puzzle yang menyesatkan ini. Aku akan mencari jawaban atas kegundahanku ini, bagaimana pun itu caranya. Entah sudah berapa lama aku duduk disini, terus mabuk dengan kegundahan yang tak urung usai, sesekali kupandangi bintang yang sedari tadi bersinar terang, dalam hati aku bergumam, mungkinkah kegundahanku berganti dengan ketenangan setenang saat aku duduk menatap indah sinar bintang? Aku masih tak habis pikir dengan apa yang kini aku hadapi. Aku tak pernah menyangka akan menjadi seperti ini. Berada dalam kondisi yang tak sepenuhnya aku harapkan seperti ini. Mengapa harus

Semua butuh proses

Perlahan namun pasti engkau akan bisa. engkau hanya perlu terus mencoba dan percaya. Entah sudah berapa kali barisan-barisan kalimat yang tertulis di word ini aku hapus, sedari tadi aku mencoba menulis, namun yang ada hanya berhenti setelah beberapa kalimat tersusun rapi. Setiap kalimat yang tertulis berakhir dengan ditekannya “Backspace” yang ada di   keyboard laptopku. Entah sudah berapa kali aku seperti ini, tiap kali ingin menulis , tiap kali aku mencoba untuk bercerita dengan rangkaian kata, tiap kali pula aku berhenti di kalimat-kalimat awal dan tidak pernah dilanjutkan, tulisan-tulisan pembuka itu hanya tersimpan rapi di folder-dolder yang kuberi nama “Tulisan Arian”, “Curhat”, “Belajar Nulis”. Jarum jam di depanku sudah menunjukkan pukul 09.45 menjelang siang, padahal aku duduk di depan laptop dan mencoba untuk menulis sejak pukul 08.15. aku duduk di pojok perpustakaan sementara murid-murid sedang sibuk membaca buku, ada juga yang masih ujian praktek susulan. Sesekali kuali

Juna

IBU Kereta api Bromo jurusan Purwokerto-Jakarta baru saja berlalu dari hadapanku, aku masih memandang ke arah Kereta Api dengan penuh perasaan sedih melepas kepergiaan putra semata wayangku. Juna, dia adalah lentera hidupku, dia yang selama ini selalu menguatkanku dikala aku sedang terpuruk, dia yang selama ini membantuku mengumpulkan kayu bakar untuk dijual ke tetangga, dia juga yang kalo pagi menjelang menjadi imam sholatku. Juna, dia adalah mutiara hati yang telah Allah berikan kepadaku, diumurku yang sudah memasuki kepala lima, aku bahagia hidup berdua dengannya setelah Reza suamiku pergi meninggalkan kami berdua. Kereta api semakin jauh dan tak terlihat lagi dari pandangan mataku yang sudah mulai rabun ini, aku beranjak meninggalkan Stasiun  Purwokerto bertemankan dingin dan rintik-rintik hujan, aku mengenakan jaket usam peninggalan ayah Juna guna membuat badanku hangat. “Junanya sudah berangkat Bu Yasmin?” Terdengar seseorang menyebut namaku, ak

Segala Tentang Kutukan 11

Beberapa jam yang lalu, teman saya Weirdaft memerintahkan saya (lebih tepatnya memaksa), eh nggak dipaksa kok, gue aja yang mau dengan baik hati ngejawab sebelas pertanyaan darinya.  Pertanyaan kak Wirda : Teman ideal menurut kamu, yang seperti apa? Jujur, sampai hari ini saya belum merasa punya teman akrab seperti di film 3 Idiots atau film yang lainnya (nyambung nggak sih ni jawaban ama pertanyaan , biarin deh). Dan sosok teman ideal menurut saya adalah orang yang benar-benar apa adanya dalam berteman, tidak dibuat-buat, intinya dia mau berteman bukan karena kasihan karena saya tidak punya sahabat super akrab (kalo yang akrab banyak). Ok next. Lebih suka baca buku cetakan atau e-book ?  Jelas saya lebih suka buku cetakan dari pada e-book, secara mata saya sudah rusak alias rabun alias minnya sudah tinggi boss, yang ada mata saya tambah hancur ntar kalo baca e-book terus-menerus. Dan lucunya, waktu kuliah saya paling anti baca buku yang baru saya beli, setiap k

Jubah Cinta

“Negara kita ini semakin hari semakin nggak jelas ya Zam, setiap hari ada aja berita kriminal, korupsi, banjir, gue muak ngeliat tv yang ada di rumah, mendingan gue kasihkan ke tetangga sebelah aja, itung-itung amal. Tadi pagi aja, baru juga ngidupin tv, udah muncul berita pencabulan, rampok, padahal nonton tv kan bagus untuk ngupdate informasi, tapi kalo yang ditayangin itu berita korupsi, pencabulan, rampok, yang ada gue malah pengen muntah tau nggak” “Zam, hey, Azzam lo dengerin gue ngomong nggak sih ?” “Azzam, Azzam, wuy Azzam lo kenapa sih , bukannya dengerin teman ngomong malah ngelamun.” “Hah ? emang dari tadi lo ngomong ya Vin?” “Nggak, dari tadi gue makan rujak, puas lo.” “Sorry, gue kok tiba-tiba inget nyokap di kampung. Udah seminggu gue nggak ada ngubungin, maklum akhir bulan, duit udah nipis, kalo ni duit gue pakai untuk beli pulsa, yang ada gue nggak makan ntar.” “Lo ngomong dong dari kemarin kalo pengen nelpon nyokap, kan lo bisa pake handphone gue.” “Gue nggak enak lah