Laki-laki
berusia senja itu terus menangis, mendengar ocehan menantunya yang terus
menusuk ke dalam hatinya. Kata-kata yang diucapkan oleh menantunya itu begitu
memilukan hatinya. Ia terus menangis.
Sementara
laki-laki tua renta itu menangis, wanita yang sedari tadi sibuk dengan
amarahnya membalut semua pakaian mertuanya dengan sehelai kain kemudian melemparkannya
ke hadapan laki-laki paruh baya di hadapannya.
“Pergi
dari sini, dan silahkan cari tempat tinggal lain. Bapak bisa tinggal di rumah
anak Bapak yang lain. Mala tidak ingin melihat Bapak di rumah ini lagi.”
Mendengar
ucapan menantunya, sang kakek hanya bisa diam sambil menyeka air matanya yang
tak kunjung berhenti. Anak laki-laki sang kakek tidak mampu berbuat apa-apa.
Dia hanya melihat istrinya yang kerasukan memarahi ayahnya yang sudah renta,
dan itu sudah menjadi kejadian biasa di hadapannya. Ia sudah tidak tahu harus
berbuat apa lagi untuk menghentikan amarah istrinya yang kerap kali meledak
hanya karena masalah-masalah sepele. Ia terus menghujami sang kakek dengan
sumpah serapahnya, kemudian mengusirnya pergi dari istana megahnya.
“Pergi,
dan jangan kembali.”
Sang
kakek melangkahkan kakinya keluar dari istana milik putranya. Dia diusir dari
rumah anaknya sendiri. Anaknya hanya melihat kepergian sang ayah tanpa ada niat
menghalangi kepergian sang ayah.
Sebuah
taxi membawa sang kakek ke rumah putranya yang lain. Selama perjalanan menuju
rumah putranya yang ada di Lebak Bulus Jakarta Selatan, sang kakek terus
menangis. Dia menangis karena tidak menyangka bahwa anak dan menantunya begitu
tega padanya. Namun beberapa saat kemudian dia menghapus air matanya,
“Tidak
ada gunanya aku menangisi mereka berdua. Saya tidak akan pernah memaafkan
mereka berdua hingga ajal menjemput.”
Begitulah
janji yang diucapkan laki-laki yang berusia senja itu. Entah itu hanya sekadar
emosi sesaat atau memang sebuah janji yang memang akan ia pertahankan.
Taxi
terus menembus jalanan Ibu Kota yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan yang
membuat jalanan Jakarta macet total. Hampir tiga jam lamanya perjalanan dari
Bekasi ke Lebak Bulus dikarenakan macet. Beginilah Jakarta.
Sesampainya
di rumah Bustan, putranya yang paling bungsu, sang kakek langsung memeluk tubuh
anaknya kemudian menangis.
“Ayah…..”
Bustan memeluk sang ayah yang basah kuyup terkena air hujan.
Bustan
langsung mengajak masuk ayahnya, menyiapkan handuk kering guna mengeringkan
tubuh sang ayah yang basah.
Malam
menjelang, Bustan masih belum berani menanyakan apa yang sebenarnya terjadi
pada sang ayah. Dia menunggu ayahnya menceritakan sendiri akan apa yang
sebenarnya terjadi. Bustan masuk ke dalam kamar ayahnya, kemudian melihat sang
ayah sudah terlelap tidur. Bustan tersenyum dan tidak ingin mengganggu lelapnya
tidur sang ayah.
***
Bertahun-tahun
lamanya, Pak Masykur tidak pernah menceritakan sakit hatinya yang dalam kepada
siapa pun. Putra bungsunya pun tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi
antara ayahnya dan sang kakak. Hingga di tahun ke tujuh sejak sang ayah tinggal
bersamanya, kakaknya datang ke rumahnya sambil menangis.
“Bustan,
dimana ayah?” Tanya Arya pada adiknya.
“Ayah di
kamar atas, Kak.”
Arya
langsung berlari menuju kamar atas, kemudian menemui ayahnya yang sedang duduk
di dekat jendela, menatap langit tak berbintang, menikmati semilir angin yang
masuk melalui celah-celah kamarnya.
“Ayah…
maafkan Arya.” Arya langsung menyentuh kaki sang ayah sambil menangis.
Namun
luka itu ternyata masih belum sembuh oleh waktu yang lama, luka itu masih
berdarah dan tak kunjung mengering dan sembuh. Pak Masykur sama sekali tidak
menggubris apa yang dilakukan oleh putranya. Tak sepatah kata pun yang keluar
dari mulutnya.
Arya
terus meminta maaf kepada ayahnya dan memintanya untuk datang ke rumahnya untuk
memaafkan istrinya yang sekarang sedang sekarat. Istrinya sedang menderita
sakit yang begitu parah. Mala sedang terbaring lemah di rumah. Ia terbaring tak
berdaya dengan perut yang semakin membesar. Sudah sekian banyak proses
pengobatan yang dilakukan Arya demi kesembuhan istrinya, namun tak kunjung
membaik. Bahkan, perut sang istri terus membesar dan membuat siapa pun yang
melihatnya akan merasa iba. Tapi tidak dengan Pak Masykur.
Pak
Masykur masih dengan sakit hatinya. Arya masih dengan usahanya meminta maaf
sang ayah dan Bustan terus membujuk ayahnya agar mau memaafkan kakak dan Mala
istrinya.
“Yah,
maafkanlah mereka atas apa yang pernah mereka lakukan pada Ayah. Kasihan Kak
Arya dan Kak Mala. Sekarang Kak Mala sedang menderita. Kita tidak tahu berapa
lama dia akan mampu bertahan. Jangan sampai dia pergi meninggalkan kesalahan
yang belum sempat ia perbaiki. Maafkanlah mereka, Yah.”
Pak
Masykur tetap dengan diamnya. Dia hanya dengan diamnya tiap kali Bustan
memintanya untuk datang dan memaafkan kakaknya.
***
Mala
terus meringis kesakitan, sanak saudara banyak yang datang menjenguk. Perut
Mala semakin membesar seperti akan pecah. Perut itu terus menyiksanya. Sakit
yang kadang membuatnya pingsan. Mala, ia menderita. Ia hidup segan mati pun tak
mau. Begitulah keadaannya.
Arya
hanya bisa pasrah dengan apa yang dialami oleh istrinya. Ia sudah melakukan berbagai
macam usaha untuk mengobati istrinya, namun Tuhan masih belum menghendaki
kesembuhan bagi sang istri.
Sanak
saudara yang datang berkunjung memberikan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
demi kesembuhan Mala. Ada yang duduk mengelilingi Mala, membacakan yaasin, ada
juga yang menuntun Mala mengucapkan kalimat “Laailaahaillallah
Muhammadurrasuulullah” berulang kali. Mereka berharap dengan kalimat tauhid
itulah Mala menghembuskan nafas terakhirnya. Mereka menuntun Mala mengucapkan
kalimat tauhid secara bergantian.
Beberapa
saat menjelang ajal memanggilnya, tiba-tiba Pak Masykur datang di hadapan Mala.
Pak Masykur datang dengan air mata di kedua bola matanya yang sudah memerah
karena menangis. Arya langsung memeluk sang ayah dan memintanya untuk memaafkan
istrinya. Pak Masykur pun duduk di samping Mala, kemudian menjabat tangan
menantunya yang dulu pernah mengusirnya, pernah membuat luka yang begitu dalam
dan sekarang sedang berjuang menahan sakit yang dideritanya.
“Jika
memang sudah waktunya, pergilah. Ayah sudah memaafkanmu.” Bisik Pak Masykur di
telinga menantunya.
Tangis
sanak saudara terdengar memecah kesunyian sesaat dan Mala pun menutup kedua
matanya untuk terakhir kalinya. Ia telah pergi meninggalkan sanak saudaranya, meninggalkan
Arya, suaminya. Meninggalkan dunia yang pernah menjadi persinggahan sementara
baginya.
Hujan tiba-tiba membasahi semesta, menemani air mata duka orang-orang yang menangisi
kepergian seorang anak manusia. Kematian memang misteri, tidak ada satu pun
orang yang bisa mengetahui kapan kematian itu akan datang. Dan jika kematian
itu datang, tidak ada satu pun yang bisa menunda-nunda kedatangannya.
“Berkerjalah
seakan-akan engkau hidup selamanya dan beribadahlah seakan-akan engkau akan
mati esok hari.”
Subhanallah... saya benar-benar tersentuh membaca cerita ini sampai2 air mata saya menetes.
ReplyDeleteijin copas ya mas... biar pembaca di blog saya ikut membaca juga :'(
silahkan. semoga bermanfaat ya. :)
Deleteterimakasih mas arian
Deletesama-sama. semga bermanfaat
Delete