Kehidupan di dunia adalah perjalanan panjang menuju
kehidupan kekal nan abadi, yakni akhirat. Laiaknya sebuah perjalanan, maka
perlu adanya persiapan dalam menempuh perjalanan menuju akhirat. Persiapan yang
dimaksud adalah menyiapkan bekal ibadah sebanyak-banyaknya dalam rangka meraih
keridhaan Allah SWT. Dalam mempersiapkan diri, perlu adanya Muhasabah terus
menerus, yakni evaluasi diri, sejauh mana persiapan sudah dipersiapkan.
Muhasabah berasal dari akar kata hasiba-yahsabu-hisab,
yang artinya secara etimologis adalah melakukan perhitungan. Dalam terminologi
syar’i, pengertian muhasabah adalah sebuah upaya evaluasi diri terhadap
kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya.
Muhasabah menjadi perlu sebagai langkah menjadikan diri
lebih baik lagi. Tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini, kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT. Muhasabah diri mengajarkan manusia menjadi hamba yang
lebih baik lagi dari sebelumnya, ia mengambil pelajaran dari apa-apa yang sudah
dilakukan. Muhasabah diri tidak hanya pada hubungan antara hamba dengan Sang
Pencipta, melainkan juga antar sesama manusia. Muhasabah merupakan evaluasi
secara total, adakah amaliah yang dilakukan karena Allah sehingga kebiasaan
menjadi ibadah, ataukah sekedar ibadah kebiasaan yang wujudnya rutinitas?
Apakah amaliah yang dilakukan sudah maksimal? Atau justru sebaliknya.
Begitu juga dengan sesama manusia, perlu adanya evaluasi
diri dalam menjalani kehidupan sosial. Perlu adanya perbaikan dari waktu ke
waktu, sehingga tercipta kehidupan sosial bermasyarakat yang bermartabat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. Ketika semua orang selalu berusaha
untuk mengevaluasi diri dalam rangka menjadi lebih baik lagi, maka disinilah
letak kehidupan sesungguhnya, kehidupan yang selalu berusaha menjadi pribadi-pribadi
yang baik dari waktu ke waktu.
Kehidupan ini hanyalah sementara waktu, detik berganti
menit, hari selalu berganti, tahun pun berganti, hingga nanti semua yang hidup
akan berada pada titik akhir kehidupan, tidak ada lagi kesempatan untuk
evaluasi diri. Maka, sebelum kehidupan ini sampai pada batas akhir, lakukanlah
evaluasi diri, mengkaji bagaimana perjalanan ini sudah dilalui, apakah sudah
dijalan yang telah Allah tentukan? atau malah melenceng jauh dari-Nya?
Allah SWT., berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18 )
Firman Allah di atas merupakan perintah untuk bertakwa
kepada-Nya, yang mencakup pelaksanaan perintah-Nya dan penghindaran dari
larangan-Nya. Selain itu, Allah memerintahkan untuk evaluasi diri, lihatlah
amalan apa yang telah disimpan dan disiapkan untuk bekal hari kiamat. Ayat
inilah yang menjadi dasar utama dalam muhasabah diri. Ini jelas menunjukkan
bahwa Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk selalu mawas diri, merutinkan
intsrospeksi diri, sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
Tidak ada keterangan rinci mengenai tata cara, waktu,
mekanisme dan teknis muhasabah. Namun demikian, keterangan tersebut di atas
menunjukkan bahwa muhasabah merupakan amalan yang diperintahkan kepada setiap
muslim secara sendiri-sendiri. Setiap pribadi bisa muhasabah dirinya sendiri,
mengukur sejauh mana amal perbuatan yang sudah ia lakukan dalam hidupnya.
Kesadaran diri mengevaluasi ulang amal perbuatan di masa
lalu demi memperoleh kualitas hidup lebih baik inilah yang mengilhami Umar bin
Khattab ra. berujar:
“Bermuhasabalah
atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan
timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat.
Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk
menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk
menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan
tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. “
Muhasabah bisa dilakukan sebelum beramal, maupun sesudah
beramal. Ketika muhasabah dilakukan sebelum beramal, maka ini merupakan bagian
dari memastikan bahwa amal perbuatan yang dilakukan murni karena Allah SWT., bukan
karena ingin mendapatkan pujian dari manusia. Begitu juga ketika sudah beramal,
muhasabah dilakukan untuk mengevaluasi bagaimana amal perbuatan yang sudah
dilakukan, apakah sudah baik dan sesuai dengan ketentuan yang Allah tentukan?
atau malah sebaliknya. Disinilah peran penting muhasabah diri sebagai bagian
dari mengukur diri, sebagai kontrol diri agar menjadi lebih baik lagi dari
sebelumnya.
Sedemikian pentingnya evaluasi diri, menjadikan para salafush shalih
banyak berkomentar tentangnya.
Berkata Imam Hasan al-Bashri :
“Sesungguhnya
seorang hamba akan selalu dalam keadaan baik selama dia mempunyai penasehat
dari dirinya sendiri, dan selalu bermuhasabah diri.“
Maimun bin Mahran berujar :
“Seorang
hamba akan menjadi takwa jika muhasabah (evaluasi diri) lebih akrab baginya
daripada kawan akrabnya.”
Ibnul
Qayyim menjelaskan bahwa evaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama: Memulai yang wajib; jika seseorang melihat ada
kekurangan, ia menambahnya. Kedua: Mencermati larangan; jika seseorang tahu
bahwa ia melakukannya, ia menyusulinya dengan taubat, istighfar, dan
kebaikan-kebaikan yang dapat menghapus dosa tersebut. Ketiga: Evaluasi atas
kelalaian, dan ia menyusulinya dengan zikir, menghadap Allah pencipta langit
dan bumi, dan pencipta Arsy yang Mahaagung. Keempat: Evaluasi atas gerak-gerik
anggota badan, pembicaraan lisan, perjalanan kedua kaki, gerak kedua tangan,
pandangan kedua mata, pendengaran kedua telinga, apa yang kuinginkan dengan
ini? Untuk siapa aku melakukan? dan bagaimana aku melakukan?
Maka demikianlah seharusnya seseorang mengevaluasi
dirinya, nafas demi nafas dan juga kemaksiatan yang terkandung dalam hati di
setiap waktu. Seorang mukmin dianjurkan menuju kesempurnaan dan menggapai
derajat tinggi, maka ia harus mencermati aktivitasnya, ia mengawasi niat dan
kehendaknya, amal dan aktivitasnya. Ia tidak basa-basi atau sungkan terhadap
dirinya sendiri, terlebih menganggap dirinya suci dengan beranggapan apa yang
dilakukannya sudah cukup.
Jadi kita ngak boleh mengikuti hawa nafsu yaaa kak !!!
ReplyDeleteho'oh, kakak :p
DeleteKadang muhasabah, kadan congkak, kadang males males an, kadang Rajin pula. Rajin nyiyir maksudnya, hehehe
ReplyDeleteAndaikata kita semua sering muhasabah, kehidupan lebih menenangkan *keplaksetan yang selalu menggoda
Nice writing :)
trmksh
Delete