Tadi pagi,
habis subuh, saya mendapat pesan singkat dari sahabat saya di Switzerland via
WhatsApp. Sudah 9 bulan saya tidak mendengar kabar darinya, dia tiba-tiba
menghilang begitu saja, tidak pernah menghubungi baik melalui Skype, Facebook, maupun
WhatsApp. Saya beranggapan mungkin dia sedang sibuk. Pernah beberapa kali saya
coba hubungi, tapi tidak bisa. Terakhir kali dia menghubungi saya 9 bulan yang
lalu, dia bercerita tentang rencananya memanjangkan jenggotnya.
“Salam,
Akhi, I’m sorry, I never responded your messages, chats, or calls. I was in
jail for 8 months. I had internet connection only twice a week. I’m sorry. All my
chats, messages, and calls were controlled by the police. I was in jail because
somebody in the bus said to me in german language, “Fuck you immigrant, go back
to your homeplace.” This person said this to me because of my beard and I told
him that he should shut up. He stand up and walked really near to me and pushed
me against the bus window. I hit him, I was out of control, I bet him really
up. I just tried to protect my self. I’m free now. It’s late here, Akhi, I have
to sleep. Can I call you tomorrow in viber?”
“sure, I think
skype is better, Akhi.”
“Okay, see
you tomorrow.”
Setelah membaca
pesannya, saya kemudian merenung. Kadang, kita merasa bahwa kita adalah orang
paling keren sedunia, sedangkan yang lain hanyalah gumpalan debu yang
beterbangan tiada arti dan hanya menjadi perusak suasana. Ketika melihat orang
lain berbeda dengan kita, kita kadang langsung nge-judge mereka dengan
ucapan-ucapan yang tidak enak didengar, atau setidaknya ngedumel di dalam hati,
“Ih, itu orang aneh banget, sumpah.” Tidak usah jauh-jauh membayangkan hidup
sebagai muslim di Negara lain, cukup lihat bagaimana sikap orang-orang di
sekeliling kita dalam menghadapi sebuah perbedaan.
Saya tipe
orang yang rada cuek, selagi orang tidak mengganggu saya, saya lebih banyak
memilih diam, namun ketika orang lain sudah mengganggu kenyamanan saya, kadang
saya juga tersulut emosi, meski lebih banyak menghindar dan berusaha membuat
suasana seaman mungkin alias baik-baik saja alias menghadapinya dengan kepala
dingin dan itu tidak mudah, Jendral.
Dulu,
ketika pertama kali memakai jubbah, saya sering dipandang sedemikian aneh oleh
masyarakat sekitar, terutama masyarakat desa yang memang notabene tidak terlalu
paham juga tentang jubbah, setahu mereka, saya berbeda dan dianggap aliran
SESAT. Separah itu. Dijelasin panjang lebar kali tinggi, juga tetap saja mereka
nggak peduli, dan akhirnya saya memilih untuk bersikap biasa saja, menjelaskan ketika
memang dirasa perlu untuk dijelaskan. Saya suka jubbah, hanya semata karena
merasa nyaman, bukan karena saya ikut aliran tertentu, sesederhana itu. Tapi ya
itu tadi, apa yang saya anggap sederhana, simple, dan nyaman, bisa jadi
merupakan hal yang menarik untuk dikomentarin, dijelek-jelekkan, dan lain
sebagainya. Apa saya menyerah? Nggak, sama sekali tidak, bahkan sekarang sudah
banyak yang suka pakai jubbah ke masjid. Padahal saya nggak pernah itu nyuruh
mereka.
Dulu,
ketika semua orangtua di kampung memilih sekolah-sekolah Negeri Favorit untuk
sekolah anak-anaknya, Bapak dan Ibu saya memilih memasukkan saya ke Pondok
Pesantren di Ibu Kota Propinsi, kemudian semua orang ngomongin, mulai dari yang
setuju, biasa saja, sampai pada ngeledekin ortu saya karena memasukkan anaknya
ke Pesantren yang saat itu dinilai sebagai sekolah yang hanya diperuntukkan bagi
orang-orang kolot yang kemana-mana kerjaannya sarungan. Bukan sekali dua kali saya
harus mendengar cemooh warga, karena saya belajar di Pesantren. Iya,
sesederhana itu, hanya karena saya belajar di Pesantren, mempelajari Agama,
keluarga saya dicemooh. Tapi itu dulu, sekarang semua berbalik arah, yang dulu
mencemooh, kini malah berusaha memasukkan anak-anak mereka ke pesantren, atau
sekolah-sekolah yang basic Agamanya mencukupi.
Dulu,
ketika banyak pemuda-pemudi desa yang menikah setelah lulus SMA, dan saya
memilih untuk melanjutkan Study ke Jakarta, lagi-lagi saya dicemooh. Terutama
orangtua yang dikenal sebagai orang yang tidak berkecukupan, dianggap gegabah,
sok kaya, karena menyekolahkan anaknya ke jenjang Perguruan Tinggi, seolah itu
adalah aib besar bagi keluarga saya. Saat kelulusan saya di Perguruan Tinggi,
baru kemudian mengerti bahwa pentingnya pendidikan dan saya bersyukur, orangtua
saya memahami betul masalah ini, meski keduanya tidak lulus sekolah dasar. Saya
jadi Sarjana Pertama di Keluarga besar Ayah dan Ibu, kemudian disusul oleh yang
lainnya.
Perbedaan-perbedaan
ini sebenarnya bisa menjadi masalah ketika kita tidak bisa menyikapinya dengan
bijak. Semakin belajar, semakin saya mengerti bagaimana menyikapi sebuah
perbedaan dalam sebuah masyarakat, berusaha lebih terbuka, berusaha mendengar,
berusaha membuka mata atas semua perbedaan itu, berusaha mengerti bahwa kadar
pengetahuan seseorang tidak sama satu sama lain, boleh jadi orang memberi
komentar tidak baik karena ketidaktahuannya akan hal itu, boleh jadi karena dia
memiliki pemahaman yang berbeda akan sesuatu, dan itulah yang seharusnya
dimengerti, dipahami, dan dihadapi dengan bijaksana. Karena tidak akan pernah
ada yang namanya semua orang memiliki pemikiran yang 100% sama dengan kita,
akan selalu ada perbedaan. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita harus
menyikapi sebuah perbedaan itu, apakah dengan emosi, atau menyelesaikannya
dengan cara yang baik, pilihan ada pada diri kita.
Kehidupan
seorang Muslim di negeri ini saya rasa lebih nyaman, ketimbang di Negara-negara
lain. Meski tidak semuanya bisa hidup berdampingan dengan damai dengan
agama-agama non muslim. Namun bagi saya, saya merasa lebih nyaman menjalankan
ibadah saya di sini, di tanah air ini, ketimbang harus berpindah ke Negara lain.
Saya tidak bisa membayangkan menjadi seorang Muslim di Negara yang bahkan
Masjid menjadi sesuatu yang langka untuk ditemui, saya tidak bisa membayangkan
hidup dengan komunitas muslim yang hanya sedikit, meski sebenarnya tidak semua
Negara memandang menjadi seorang Muslim adalah sesuatu yang aneh.
Kembali ke
sahabat saya di atas, saya tahu persis dia adalah seorang Muslim yang taat, dan
harus menghadapi cara pandang masyarakat sekitar yang sering menganggap mereka
aneh. Saya sempat kaget ketika dia memberitahu saya bahwa dia emosi karena
ucapan seseorang di Bus tersebut, karena itu bukanlah yang pertama kali dia
hadapi, sudah sekian banyak cemoohan yang dia terima, dan dia bisa tetap santai
menghadapi semua itu. Mungkin saja saat itu dia sedang khilaf dan saya
memaklumi itu dan berdoa, semoga semuanya baik-baik saja kedepannya.
Terkadang untuk menentukan pilihan memang harus siap dengan segala konsekuensinya. Semoga tetap kuat yah... tapi yaaa jangan emilosian juga temennya heheh
ReplyDeleteInsha allah semoga tidak terulang lagi :)
Deleteadakalanya saat godaan itu datang, kita sedang berada dalam titik lemah iman, sehingga hilang kontrol emosi. Tapi bukan berarti langsung menjudge seumur hidupnya orang iotu akan bersikap seperti itu. Setiap manusia selalu berpotensi untuk bisa menjadi baik dan juga sebaliknya. Terkadang, orang yang kita kenal baik,setelah bertahun-tahun kemudian, langkahnya malah terlihat berbeda dari sebelumnya. Namun tetap saja tidak usah menghakimi, agar Allah juga menutupi keburukan kita, saat kita silap langkah.
ReplyDeletesemoga kebaikan selalu menyertai kita :)
Delete