Aku
menatap lekat-lekat wajah adik-adikku, delapan orang laki-laki dan satu orang
perempuan. Wajah-wajah itu adalah bagian dari kehidupanku saat ini. Kami sedang
menunggu ibu yang sedang menyiapkan sesuatu untuk kami. Ahh ibu, apa lagi
kejutan yang akan ia berikan kepada kami, anak-anaknya? Tak pernah berhenti ibu
memberi kami kejutan-kejutan yang semakin membuat kami sangat menyayangi ibu.
Ibu, dialah malaikat yang dikirim Tuhan untuk membesarkanku dan sembilan
adik-adikku. Ibu berjuang sendiri, membesarkan kami seorang diri, tanpa pernah
mengeluh. Bagi ibu, mengeluh hanyalah milik orang-orang yang lemah.
“Kalian
harus menjadi orang yang tangguh, harus siap dengan kondisi terburuk sekali pun
dalam hidup. Kalian harus percaya, bahwa dalam setiap kesungguhan, selalu akan ada
hasil.”
Begitulah
pesan yang selalu kami dengar dari sosok ibu yang merupakan mentari hidup kami.
Ayah sudah pergi meninggalkan kami sejak empat tahun yang lalu. Ibu sudah
berjanji pada ayah, bahwa ibu tidak akan menangisi kepergian ayah. Ibu sudah
berjanji pada ayah, bahwa ibu akan mendidik kami sebaik-baik mungkin. Dan ibu
menepati janji yang telah diucapkannya pada mendiang ayah.
“Malam
ini, ibu akan membicarakan tentang nasib kalian masing-masing. Kalian sudah
besar, dan kalian sudah berhak untuk memutuskan kemana langkah kalian
selanjutnya. Selagi itu baik, ibu akan mendukung kalian sepenuhnya.” Ibu
memulai perbincangan malam ini. Kami semua mendengarkan dengan baik kata-kata
yang keluar dari mulut ibu, kami sangat menghormati ibu.
“Untuk
anak ibu yang laki-laki, kalian ibu persilahkan pergi merantau kemana pun
kalian mau, akan tetapi khusus untuk anak ibu yang perempuan, Anita dan Rara,
kalian berdua harus menemani ibu di rumah. Biarkan delapan pendekar yang selalu
menjaga keluarga ini pergi memulai langkah mereka sendiri-sendiri.” Ibu menarik
nafas panjang, kemudian menatap wajah kami satu persatu.
Aku
adalah anak paling tua, Anita, itulah nama yang ibu berikan padaku, sedangkan
Rara adalah adikku yang paling kecil, kami sepuluh bersaudara, hanya aku dan
Rara yang perempuan, sedangkan yang lainnya adalah laki-laki; Alfian, Anggara,
Ardi, Amran, Alfa, Adrian, Antonio, dan Amri.
Ibu
pernah memberitahuku mengapa semua anak laki-lakinya diberi nama dengan awalan huruf
A, biar mudah mengingatnya, ucap ibu. Namun menurutku justru dengan awalan
huruf yang sama, aku sering salah dalam memanggil nama-nama mereka.
Delapan
orang adik-adikku akhirnya sudah membuat keputusan masing-masing, tujuh orang
di antara mereka sepakat akan pergi ke pulau Sumatera; Palembang, Riau, Aceh,
Bengkulu, Medan, Padang, dan Lampung. Sedangkan Amri, ia berbeda sendiri dengan
kakak-kakaknya, ia memilih untuk pergi ke pulau Kalimantan. Ibu sama sekali
tidak melarang semua keinginan adik-adikku. Ibu sudah berjanji akan mendukung
kami selagi tujuan itu baik. Sedangkan aku dan Rara, akan menemani ibu di pulau
Jawa.
Hari
ini, sanak saudara berkumpul di rumah, mereka akan melepas kepergian delapan
orang adikku yang akan pergi merantau ke pulau seberang. Ibu sama sekali tidak
menangisi kepergian anak-anaknya, ibu hanya memeluk satu persatu anak-anaknya
yang akan pergi, kemudian mencium kening mereka masing-masing dan tak lupa
memberi nasehat;
“Jangan
lupa shalat, Nak.” Hanya itu pesan ibu.
Aku
melepas kepergian adik-adikku dengan air mata, berharap Tuhan akan kembali
mempertemukan kami di lain kesempatan. Rara berlari ke arahku, kemudian
menangis.
“Kak,
aku pasti akan merindukan mereka,” ujarnya sambil terisak.
Hari
berganti hari, bulan berganti, dan tahun pun berganti. Sudah lama aku tidak
mendapat kabar dari delapan orang adik-adikku, apa kabar mereka, Tuhan? Mengapa
hingga lima tahun kepergian mereka, tidak ada satu surat pun yang sampai ke
rumah, sebagai tanda bahwa mereka baik-baik adanya. Aku sudah menikah dengan
laki-laki pilihan hatiku. Rara baru masuk kuliah dan sedang sibuk dengan
berbagai macam tugas kuliah. Aku merawat ibu yang sudah semakin ringkih saja.
Setelah
menanti sekian lama, satu persatu adik-adikku mengirimi kami surat, mereka
semua baik-baik saja. Namun ada satu yang membuatku sedih, Amri, adik
laki-lakiku yang paling kecil sama sekali tidak pernah memberi kabar. Dia
merantau seorang diri di Kalimantan. Tuhan, beri Amri kekuatan menjalani hidup
yang sudah Engkau takdirkan untuknya.
Tahun
berganti, namun Amri tidak pernah memberi kabar tentang keberadaannya. Ibu
sudah semakin ringkih, ibu selalu menyebut nama Amri, namun Amri tak kunjung
datang. Aku dan adik-adikku sudah berusaha untuk mencari keberadaan Amri, namun
tidak pernah membuahkan hasil. Hingga kini, kami tidak tahu dimana Amri, apakah
dia masih hidup? Astaghfirullah, aku langsung menepis pemikiran tentang itu.
Aku terus berdoa semoga Tuhan memberi keselamatan padanya.
Sepuluh
tahun berlalu, kini ibu sudah tidak ada lagi di sampingku, ibu sudah kembali ke
sisi Tuhan, dan kami masih belum tahu dimana Amri berada. Aku dan adik-adikku
masih tetap yakin, bahwa Amri masih hidup. Meski adik-adikku sudah memiliki
keluarga masing-masing di Sumatera, namun kami masih sering menjalin
komunikasi, berbagi kabar, dan terus berusaha mencari Amri. Doa-doa terus kami
panjatkan pada Allah swt,.
Dua
puluh tahun berlalu, di hari raya idul fitri, semua adik-adikku kembali ke
pulau jawa, kami sengaja mengatur untuk merayakan hari raya idul fitri
bersama-sama. Dan tahun ini, hari raya idul fitri dirayakan di rumahku, tahun
lalu di rumah Alfian di Aceh. Kami sudah terbiasa merayakan hari raya idul
fitri meski tanpa kehadiran Amri. Di hari raya kali ini, kami memutuskan untuk
berhenti mencari Amri. Sudah dua puluh tahun lamanya, dan Amri sama sekali
tidak pernah memberi kabar. Kami juga tidak tahu dimana dia berada.
Tiga
puluh tahun berlalu, aku sudah tidak lagi memikirkan keberadaan Amri, tiba-tiba
aku mendengar seseorang mengetuk pintu rumah, aku berjalan tertatih menuju
pintu, anak-anakku sedang pergi, hanya aku sendiri di rumah. Laki-laki dengan
seragam layaknya tukang pos sudah berdiri di depan pintu, dia datang
menghantarkan selembar surat. Ku amati baik-baik surat yang sekarang ada di
tanganku, ku buka perlahan dan mulai ku baca isi surat itu,
“Maaf,
saya hanya ingin tahu siapa pemilik alamat ini? Saya menemukan alamat ini di
dalam sebuah tas yang sudah usang di dalam gudang. Nama saya Amri, saya tinggal
di Kalimantan. Maaf bila kedatangan surat ini mengganggu, saya hanya ingin tahu
siapa pemilik alamat ini, dan ada hubungan apa dengan saya?”
Aku
menangis membaca surat yang sekarang ada di hadapanku, mungkinkah dia adalah
Amri, adikku yang sudah tiga puluh tahun menghilang tanpa kabar? Hatiku
berharap bahwa dia adalah Amri, adikku yang selama ini kurindukan.
Aku
langsung menghubungi seluruh adik-adikku, memberitahu mereka tentang surat yang
baru saja kubaca. Kami kemudian membuat sebuah kesepakatan, bahwa satu di
antara kami harus pergi ke Kalimantan dan mencari tahu alamat pengirim yang
tertulis di surat. Kami mengumpulkan uang secukupnya, dan memutuskan bahwa Alfa
yang akan pergi ke Kalimantan untuk menemui Amri.
Perjalanan
Alfa pun dimulai, ia pergi ke Kalimantan dan menemui Amri. Tidak begitu sulit
menemukan alamat Amri, namun air mata akhirnya tumpah saat mendengar berbagai
macam cerita dari orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Amri.
“Dulu,
Amri adalah orang yang sangat sukses, namun di tengah perjalanan karirnya, dia
menikah dengan seorang perempuan yang tidak diketahui asal-usulnya. Setelah menikah,
Amri tiba-tiba hilang ingatan. Dia sama sekali tidak tahu siapa dirinya, dimana
keluarga besarnya, dari mana dia berasal dan lain-lain. Ada yang mengatakan
Amri terkena guna-guna. Beberapa tahun kemudian, bisnis yang dijalani Amri
mengalami kerugian yang cukup besar, hingga membuatnya harus menjual semua aset
yang ada. Amri jatuh miskin. Saat Amri jatuh miskin, istrinya memilih untuk
pergi berkerja di luar negeri. Setelah beberapa tahun di luar Negeri, istrinya
kembali dengan membawa kekayaan yang berlimpah. Amri semakin goyah, dia semakin
tidak mengenal siapa dirinya, kemudian dianggap pembantu oleh istrinya
sendiri.”
Begitulah
cerita yang Alfa dengar dari tetangga yang ada di dekat rumah Amri. Alfa sudah
bertekad, bahwa dia akan kembali dengan membawa Amri, bagaimana pun caranya.
Setelah melalui berbagai macam proses, Alfa akhirnya bisa membawa kembali Amri,
dan mereka berdua terbang kembali ke pulau Jawa.
Amri
sudah kembali, Kami menyambut kedatangannya dengan bahagia. Perlu waktu baginya
untuk kembali mengingat akan keluarga besarnya yang selama ini merindukannya.
Amri sudah kembali, meski dengan sepotong ingatan yang tak lagi utuh. Dan kini,
Amri berada di sampingku, menemani hari tuaku. Amri, akhirnya engkau kembali,
adikku.
Comments
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Komentarnya Gan