Bangunan itu berwarna putih bersih, terdiri dari lima lantai. Aku
berdiri di pintu gerbang, melihat ke sekeliling bangunan, memberanikan diri
untuk menyapa siapa saja yang lewat di pintu gerbang. Menyapa mereka dengan
sebuah senyuman. Setelah sempat bertanya dengan beberapa mahasiswa, aku menuju
bagian informasi dan menanyakan kamar nomor berapa yang akan jadi tempat
tinggalku selama di sini. Asrama, bangunan lima tingkat itu adalah asrama yang
akan menjadi tempat tinggalku selama menuntut ilmu di sini.
Jakarta adalah kota pertama yang kukunjungi, selama ini aku hanya
tinggal di sebuah desa terpencil di pulau Sumatera, desa yang berdekatan dengan
perbatasan antara Bengkulu dan Lampung. Sebelumnya aku belum pernah bepergian
ke kota lain.
*
Delapan tahun yang lalu, aku adalah anak kecil yang bercita-cita
ingin menjadi seorang dokter, akan tetapi cita-cita itu langsung berubah
setelah melihat Paman yang mengenakan seragam tentara.
“Pak, ari mau jadi seperti Paman” ucapku pada Ayah.
Ayah hanya tersenyum mendengar ucapanku. Dia menatap wajah polosku,
kemudian menggendongku dari sawah sampai ke rumah.
Ternyata perubahan cita-cita itu tidak berhenti sampai di situ saja.
Suatu ketika, Bapak mengajakku melihat lomba mengaji di kampung sebelah. Seorang
anak kecil melantunkan ayat demi ayat dengan merdu, dan membuat ari kecil
menitikkan air mata. Entahlah, waktu itu aku begitu tersentuh dengan lantunan
ayat demi ayat yang dibacakan oleh anak kecil itu. Sejak itu, aku bilang ke
Ayah,
“Ari mau jadi anak yang pandai baca Al-Qur’an”
Ayah memberiku kesempatan belajar membaca Al-Qur’an di salah satu
langgar yang ada di desa sebelah. Setiap sore Ayah mengantarkanku untuk belajar
mengaji.
Cita-cita itu kemudian berkembang, dari ingin bisa membaca
Al-Qur’an, berkembang menjadi ingin bisa membaca dan hapal Al-Qur’an. Demi
mewujudkan cita-citaku, Ayah menjadikanku seorang santri di salah satu
Pesantren. Pagi aku sekolah di Sekolah Negeri, sore harinya menjadi santri di
Pesantren.
*
Umur dua belas tahun adalah masa dimana Ayah memberikanku sebuah
hadiah yang sampai hari ini masih kuingat, meski sekarang hadiah itu sudah
tidak bisa kupakai lagi, sudah lusuh, sudah tidak bisa kubawa kemana pun aku
pergi. Ayah memberikanku sebuah Al-Qur’an. Itu adalah Al-Qur’an pertama yang
menjadi milikku sendiri, sekaligus pemberian terindah kala itu.
“Karena kamu sudah selesai iqra 6, maka Ayah belikan
Al-Qur’an ini sebagai hadiah.” Ucap Ayah sambil memelukku.
Ayah, dia tidak banyak bicara, dia mencintai kami anak-anaknya
dengan cara membangunkan kami yang sedang tidur lelap kala adzan subuh
berkumandang, dia menyayangi kami dengan cara mengajarkan kami bagaimana cara
shalat, dia menyayangi kami dengan cara bekerja seharian di kebun demi kami
sekeluarga, dia menyayangi kami dengan cara mengantarkan kami ke sekolah dengan
sepeda ontel miliknya. Serta masih banyak lagi perlakuan sederhana yang dia lakukan sebagai wujud dari kasih sayangnya kepada kami. Aku bahagia memiliki
seorang Ayah sepertinya. Dia adalah Ayah terbaik di dunia ini, dia adalah
pahlawan bagiku.
Aku masih ingat dengan baik kekhawatiran Ayah waktu tahu kakiku
terluka. Padahal lukanya tidak seberapa, hanya tergores sedikit. Waktu itu, aku
merengek untuk diajak ke sawah, aku ingin ikut panen padi. Kemudian aku
terjatuh, kakiku terkena batu yang ada di pinggir sawah. Ayah berlari
menghampiriku, saat mendengar aku menangis tersedu-sedu. Terlihat jelas raut
wajahnya yang begitu panik melihatku menangis, melihat aliran darah segar yang
keluar dari lututku. Meski panik, Ayah mencoba untuk menenangkanku.
Ah, sungguh banyak kenangan antara aku dan Ayah.
*
Aku sedang mengikuti proses pembelajaran di kampus, Kak Widya
mengirim pesan singkat,
“Ari, segera pulang, kami sekeluarga sudah kangen”
Dahiku berkerut, bukannya baru tiga bulan lamanya aku meninggalkan
kampung halaman? Pasti kakak hanya becanda jawabku singkat.
“Ayah memintamu untuk segera pulang”
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang ketika membaca pesan
singkat dari Kak Widya. Ada apa dengan Ayah?
Langit Jakarta tertutup oleh mendung tebal, kilatan petir menghiasi
langit yang mulai gelap. Hujan pun turun secara perlahan membasahi bumi. Aku
sedang menunggu bus yang akan membawaku ke Ayah. Ada rasa khawatir yang cukup
hebat bergejolak di dada. Sebuah rasa yang aku sendiri tidak bisa
mengungkapkannya melalui untaian kata-kata. Wajah Ayah langsung menjadi bayang-bayang
yang memenuhi benakku.
“Ayah, aku kembali”
*
Ayah sedang tidur, dia tidur berselimutkan kain berwarna putih, dia
sedang dirawat di rumah sakit daerah. Aku menjabat kedua tangan Ibu, kemudian
mencium keningnya.
“Ayah sedang istirahat” ucap Ibu.
Ayah sedang berjuang melawan penyakit yang dia derita, aku tidak
pernah tahu bahwa pahlawanku selama ini sedang berjuang melawan penyakit yang
ada di tubuhnya. Dia selalu tersenyum melihat kami anak-anaknya, tidak pernah
dia menampakkan wajah kesedihan. Entahlah, mungkin itu juga salah satu caranya
menunjukkan rasa sayangnya. Dia tidak ingin kami melihatnya sedang sedih.
“Ayah, aku menyayangimu” aku mengucapkan kalimat itu sambil mencium
rambutnya yang beruban.
Aku dan Kak Deni duduk di depan kamar Ayah, kami berdua tidur
secara bergantian hingga subuh menjelang. Suara adzan subuh berkumandang merdu
menghiasi malam yang gelap. Aku terbangun dari lelap tidur, kulihat Kak Deni
sedang berada di dekat Ayah, dia mencium keningnya, kemudian membantu Ayah
duduk.
“Ayah, haus” suara pelan Ayah bisa kudengar dengan baik.
Aku menghampiri Ayah, Kak Deni mengambilkan segelas air putih.
“Ari, kamu shalat subuh dulu, biar Kakak yang menjaga Ayah.” Kak
Deni menyuruhku untuk shalat lebih dulu.
Aku pergi meninggalkan Kak Deni dan Ayah menuju ke mushola yang ada
di rumah sakit. Dalam doa, aku bermunajat kepada-Nya agar memberikan yang
terbaik bagi Ayah.
Ya Allah,
Berilah dia
tetap hidup jika memang hidup itu lebih baik baginya,
dan cabutlah
nyawanya, jika memang mati itu lebih baik baginya .
Aku percaya
dengan segala kehendak-Mu.
Setelah shalat,
kulihat Kak Deni berdiri di depan pintu sambil menangis. Entah apa yang
terjadi, aku mempercepat langkahku.
“Kak, Ayah
nggak apa-apa kan?” tanyaku.
Kak Deni
menatapku, memegang pundakku, lalu memelukku.
“Ayah, sudah
tiada ri” ucapnya sambil terisak.
Kulepaskan
pelukannya, aku berlari memeluk Ayah. Ayah sudah menutup mata, Aku duduk disamping Ayah sambil memegang kedua
tangannya.
Ayah, ini sudah
ketentuan yang Maha Kuasa. Ayah tidak perlu khawatir dengan Ibu, kami akan
menjaganya dengan baik sebagaimana Ayah menjaga kami dengan penuh kasih sayang.
Ayah juga tidak perlu khawatir dengan kuliahku, Insyaallah Dia akan memberikan
jalan agar aku bisa kembali belajar dan menggapai semua mimpi yang pernah kita
rajut bersama dulu.
Ayah,
Pergilah, kami rela
melepasmu.
semoga Allah memberi tempat terindah untuk ayahnda :)
ReplyDeletetulisan ini hanya fiksi belaka :)
Deleteayah??
ReplyDeleteaku sudah lupa bagaimana mengeja kata itu
hhahahaaa,,
shelltam.blogspot.com
semoga masih ingat dengan kasih sayang yang telah Ayahmu berikan ya :)
Delete